oleh Dr. H. Syamsuddin Arfah, M. Si
Lelaki boleh tampak kuat di luar. Ia bisa berdiri tegak di tengah gemuruh medan perjuangan, memikul tanggung jawab besar di pundaknya. Ia tampak gagah di ruang publik, mengekspresikan keberanian, bahkan tampil meyakinkan dengan suara lantang dan sorotan prestasi. Tapi saat senja tiba, dan dunia tak lagi menyorotinya, ia tetap manusia biasa yang mencari sandaran—sebuah pelukan yang membuatnya merasa utuh, dan kehadiran yang mampu menghidupkan ruhnya kembali.
Dunia yang Terkadang Kejam
Dunia memang tak selalu ramah. Ada kalanya langkah terasa berat bukan karena kurang tenaga, tapi karena banyak mata yang menanti kejatuhan. Ada orang yang sulit melihat kita bahagia, dan justru bersorak saat kita tumbang. Ada wajah-wajah bersandiwara, yang menyapa dengan senyum, tapi menyelipkan duri di balik langkah kita. Di tengah dunia yang penuh kamuflase ini, lelaki tak selalu mampu melawan dengan teriakan. Ia memilih diam. Tapi dalam diamnya, ia mencari tempat pulang. Dan di saat seperti itulah—ketika dunia tak lagi bersahabat, ketika di balik senyum ada sinis, dan di setiap capaian ada cemoohan—lelaki itu hanya punya dua sandaran yang tak pernah menghianatinya: Tuhannya dan Khadijah-nya.
Khadijah: Bukan Sekadar Nama
Khadijah bukan sekadar nama dalam sejarah. Ia adalah ruh ketenangan yang memulihkan. Ia bukan hanya pasangan, tapi pelita. Ia bukan hanya menemani, tapi menguatkan, bahkan di saat semua pintu seakan tertutup. Di tengah kesunyian perjuangan, Khadijah adalah suara lembut yang membisikkan harapan. Seperti Khadijah binti Khuwailid bagi Rasulullah—yang menyambut kegelisahan wahyu pertama dengan dekap hangat dan keyakinan yang kokoh: “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selamanya.”
Ia menjadi rumah bagi keresahan, dan menjadi ladang bagi semangat baru. Ia tidak mencela, tidak menuntut lebih. Ia hadir dengan tenang, menghidupkan kembali yang nyaris mati.
Dan pada saat lelaki mulai down—ketika mentalnya mulai goyah karena banyak yang tidak percaya padanya, saat reputasinya diserang, dan kepercayaan dirinya melemah—Khadijah datang bukan membawa kritik, tetapi selimut. Tapi ini bukan sembarang selimut—ini adalah selimut keyakinan.
Sembari menyelimuti tubuh letih itu, Khadijah berkata dengan mata yang tak beranjak dari matanya:
"Ada aku di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu."
Dengan suara pelan namun pasti, ia lanjutkan:
"Kau adalah lelaki terbaik yang kumiliki. Kelebihanmu tidak semua lelaki punya. Kebaikanmu tak bisa disangkal. Bukan hanya aku yang tetap bersamamu—Tuhanmu pun tak akan pernah meninggalkanmu."
Itulah Khadijah. Ia menyulam semangat dari kepercayaan. Ia tidak menambah beban lelaki, tapi justru meringankannya dengan keyakinan yang tulus.
Cinta yang Tak Pernah Tergantikan
Oleh sebab itu, cinta Rasulullah terhadap Khadijah tidak pernah tergantikan oleh siapapun. Jasad boleh kaku dan menyatu dengan tanah, tapi cinta tetap hidup—abadi dan tercatat dalam sejarah manusia dan langit. Ia bukan sekadar kisah romantik, tapi manifestasi penghargaan terhadap kesetiaan, pengorbanan, dan cinta yang tulus.
Aisyah, istri yang paling dicintai Rasul setelah Khadijah wafat, mengabadikan rasa itu dengan jujur dan indah:
"Aku tidak pernah cemburu kepada siapapun di dunia ini seperti cemburuku kepada Khadijah. Padahal aku tidak pernah bertemu dengannya, karena dia telah tiada. Tapi hampir setiap kebaikan Nabi selalu disebut untuk Khadijah. Bahkan jika beliau menyembelih binatang, beliau berkata: ‘Ini untuk Khadijah’. Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah cinta yang lahir dari perjuangan, bukan hanya dari perasaan.
Lelaki dan Perjuangan yang Diam
Lelaki itu mungkin tak pandai menangis, tak piawai melukiskan lelahnya dengan kata. Ia tidak selalu meminta dimengerti. Tapi di balik diamnya, ia menyimpan letupan perjuangan. Ia ingin tetap menjadi imam yang tegar di keluarganya, walau dunia seakan memaksanya jatuh. Ia ingin tetap terlihat kokoh di mata anak-anaknya, walau hatinya remuk diterpa kenyataan. Ia tak selalu bicara tentang perih, tapi ia butuh tempat untuk menenangkan jiwa—dan tempat ternyaman itu bukanlah istana megah, melainkan rumah kecil yang damai bersama Khadijahnya.
Ia ingin pulang bukan sekadar ke bangunan fisik, tapi kepada hati yang bersedia menerima setiap kelemahan dan tetap memanggilnya "pemimpin."
Untuk Para Khadijah Masa Kini
Jangan risau jika dunia terlalu ramai dengan perempuan yang berlomba memikat pandangan. Jangan khawatir jika banyak yang berusaha menjadi pusat perhatian. Karena bagi lelaki yang sedang berjuang, kehadiranmu tak tergantikan. Senyummu, doamu, dan kesetiaanmu menjadi pondasi langkahnya. Kau bukan sekadar pendamping hidup. Kau adalah penopang perjuangan.
Bukan soal kecantikan yang viral, tapi keteduhan yang menenangkan. Bukan soal banyaknya pujian, tapi tentang setia berdiri di samping—saat dunia memilih menjauh.
Menghidupkan Kembali Khadijah
Dunia keilmuan, dunia perjuangan, dunia laki-laki—semuanya akan terasa lebih utuh jika di dalamnya hadir sosok Khadijah. Perempuan yang bukan hanya cerdas, tapi bijak. Yang bukan hanya mendampingi, tapi menguatkan. Yang bukan hanya mencintai, tapi menghidupkan kembali yang hampir padam.
Maka, bagi lelaki yang sedang meniti jalan berat dan kadang hanya ditemani sunyi… berbahagialah jika kau punya satu “Khadijah” yang tak pernah lelah percaya padamu. Dan bagi para perempuan, jadilah “Khadijah” itu—karena dalam sunyinya perjuangan lelaki, kalian adalah surga kecil yang paling dicari untuk pulang.
Allahu a’lamu bis-shawab
Foto: Aksi Kemanusiaan PKS untuk Gaza Palestina, Kemayoran Jakarta (24/5/2025)
0 Komentar