![]() | ||
Oleh: Yani Suryani
Gulungan besar ombak besar seakan hendak mengejarnya ke mana pun Fatma berlari. Ia terus berteriak memanggil Amak dan Abah sambil bertakbir. Nafasnya tersengal di sela tangis.
"Canım, i'm here," sepasang tangan kekar menggoyang-goyang bahunya.
Netra perempuan mungil itu sedikit membuka. Perlahan sebentuk wajah bermata hazel memandangi Fatma penuh khawatir.
"Ah, rupanya aku bermimpi lagi," gumam perempuan berdarah Aceh itu lirih.
"Bu suyu içelim, Canım." Derya mengasongkan segelas air dingin sembari mengecup dahi istrinya.
"Teşekkür ederim," Fatma melengkungkan sedikit bibirnya ke atas.
Derya pun turut tersenyum. "Sama-sama, sayangku."
Fatma memandangi Derya yang terlihat sedikit kerepotan atas kejadian ini. Diam-diam Fatma menikmati wajah tampan suaminya yang terlihat cemas.
Dua tahun pertama di negeri asing, Fatma masih sering mengigau ketakutan. Menumpah air mata teringat yang telah tiada.
***
Dua dekade sudah berlalu sejak musibah besar itu menghancurkan segala mimpi indah. Menyisakan kenangan pahit.
Tsunami meluluh lantakkan serambi Mekah. Fatma kehilangan kedua orang tua dan dua saudara lelakinya. Juga banyak jiwa terkasih lainnya. Dirinya mengambang pada puing kayu di lautan luas. Terombang-ambing selama beberapa hari. Atas izin Allah, Fatma selamat melalui perantara para relawan kemanusiaan Turki yang ikut berjibaku membantu pemulihan Aceh.
Diantara relawan itu, Derya yang berhati sangat lembut menemukan getar-getar syahdu saat bersirobok dengan mata Fatma yang hampa.
Cinta? Entahlah. Baginya saat itu, terpenting bisa pergi dari kelam dunia untuk membuka lembaran baru.
Kesungguhan Derya untuk mempersunting, ia terima dengan dengan selaksa syukur. Dirinya lalu terbang jauh bersama sang imam ke negeri di mana -dalam buku milik Abah- Al Fatih memenangi pertempuran dahsyat di usia belia.
Meski dukanya tak terperi. Ajaibnya, Fatma langsung jatuh hati pada Bosphorus saat pertama menatapnya. Meski hamparan banyu itu mengingatkan pada rejam luka di tanah kelahiran. Meski sendi-sendi tubuhnya tetiba terasa lemas lunglai. Senyum perempuan berhijab itu terlukis lebar. Menasbih pujian pada Pemilik semesta.
"Masyaallah indahnya," pekik Fatma takjub, melihat keindahan selat yang menghubungkan laut Marmara dan laut Hitam.
"Yes. Maşallah ne güzel," tiru Derya dalam bahasa Turki. Ia Memeluk tubuh istrinya yang terlihat agak menggigil. Rasa trauma masih meliputi diri Fatma.
Hidup adalah perpindahan takdir yang ajaib. Allah beri ujian dahsyat. Lalu Allah berkahi hidupnya dengan warna-warni bahagia.
Tak sedikitpun terpikir oleh Fatma akan menetap di Istanbul. Abah dulu seringkali berkisah bahwa Aceh dan Turki seperti saudara kandung. Cerita epik turun temurun di tanah rencong yang tak terbantahkan. Ikatan kuat saudara seiman tiada lekang oleh waktu.
***
Luka dalam itu memang masih membekas. Tak kan pernah bisa benar-benar hilang. Namun Fatma menyulamnya dengan gemintang kesyukuran.
Suami yang sangat baik serta sepasang kembar bidadari yang beranjak remaja, Ayla dan Zeynep. Anugerah luar biasa dari Sang Pencipta untuknya.
Kini ia telah sepenuh cinta pada Derya serta negeri kebanggaan Abah ini.
***
'Abah, Amak, Abang. Maaf belum bisa menjenguk. Rindu tetap kukirim setiap hari dalam untai doa. Semoga kalian bahagia dalam istana penuh cahaya. Allah azza wa Jalla sebaik-baik Penjaga.' Bisik Fatma di selepas sujud panjangnya.
[Yogyakarta, 23 Agustus 2022]
***
*Foto Bosphorus Strait. Sumber Asma Florita.
0 Komentar