Rotasi UPA, Bentuk Kedewasaan Berorganisasi



Hari Sabtu, siang menjelang waktu ashar, mendadak perut terasa mules, jantung berdetak di atas normal, keringat dingin, kepala pusing, serta sedikit mual. Aku tak begitu ingat, kapan pertama kalinya hal seperti ini menyerang tubuh. Namun jika merujuk pada gejala awal kemunculannya, tubuh ini bereaksi seperti itu tiap kali kebijakan rotasi anggota Unit Pembinaan Anggota (UPA) kembali diberlakukan. Yang artinya saya harus memulai dari awal beradaptasi dengan anggota keluarga baru.


Ya. Bagi saya UPA bukan sekedar tempat mengkaji ilmu agama, politik dan sosial dalam formasi melingkar, melainkan sebuah keluarga--keluarga yang tiap anggotanya memiliki visi misi sama yang direkatkan oleh iman dan ukhuwah. Namun walau begitu, ibarat membangun hubungan baru, saya seringkali diserang perasaan was-was plus takut.


Takut tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik, khawatir tak mampu mengimbangi keluasan ilmu teman satu UPA, sadar atas minim bakat diri, apalagi ditambah rasa minder akan catatan mutabaah yaumiyah pribadi yang tak sesuai target ideal UPA. O, iya, tolong jangan bertanya tentang kontribusi diri pada dakwah yang kadang masih berhias kata alpa. Ini belum termasuk dinamika perbedaan karakter sesama anggota UPA maupun pembimbing.


Ada kalanya segala keruwetan perasaan mengiring hati pada satu opsi, merenggek pada Murobbi agar tetap utuh satu UPA, no rolling-rolling. Kita udah klop, terlanjur dekat-- Best friend forever, lah, pokoknya, tapi kalau tetap tidak digubris, ambil keputusan ekstrim; "Bubar barisan, jalan!"


Toh, Malaikat Munkar dan Nakir nggak bakal bertanya 'Kenapa berhenti ikut UPA?' Toh, tercatat sebagai anggota UPA nggak serta merta menjaminmu masuk surga. Lagian, ya, Allah menjamin seorang wanita masuk surga melalui pintu manapun yang ia suka asalkan; menjaga salat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, serta taat pada suaminya. Nggak ada, atuh, disebutkan harus memiliki tanda pengenal anggota UPA--Unit Pembinaan Anggota.


Namun disaat yang sama kala pikiran-pikiran tersebut terus menggerayangi otakku, hatiku kembali terusik oleh pertanyaan-pertanyaan baru.


Apakah aku bisa lebih baik, ketika tidak bersama organisasi ini? 


Pada akhirnya, diri harus puas atas pilihan hati yang memilih menetap. Meramu pelan-pelan segala keresahan menjadi nutrisi, seraya menguatkan diri; tak mengapa bila grafik ilmu masih menyentuh kata minimal. Yang penting semangat belajar tak beranjak dari kata maksimal. Tak apa jika yaumiyah belum masuk target ideal. Cukup koreksi lalu usaha lagi dan lagi. Toh, ini demi kebaikan diri sendiri.


Lagi pula organisasi ini tak pernah mengotak-ngotakkan kadernya dalam kubu si paling berkontribusi, si paling berilmu, si paling dermawan, si paling lelet, si paling telmi, dan lain-lain. Ia hanyalah ibarat ibu yang menasehati kita agar saling ta'awun dan berlomba-lomba dalam kebaikan. Dengan harapan Allah ridho lalu mengumpulkan kita semua ke dalam surga-Nya.



Bontang, 29 April 2025

Endang New

Posting Komentar

0 Komentar