"di Latansa, Aku Belajar, Aku Bahagia!"




(Asrah Arsyad, Kutai Timur)

Akhir tahun, 24 Desember 2024 pukul 00.10 dini hari bis rombongan peserta Latansa Ceria dari Kutai Timur yang kutunggu, akhirnya melintas di simpang Portal Marangkayu. Kurang lebih dua jam di pinggir jalan poros, menikmati deru kendaraan lalu lalang sembari bercerita bersama adik lelakiku menjadi momen istimewa, membuat aktivitas menunggu jauh dari kata membosankan.

“Kata Pak Supir, Mba Ara kecepatan berangkatnya," tulis rekan panitia melalui aplikasi hijau. “Tidak apa-apa, Mba. Kami sengaja. Lebih baik menunggu daripada ditunggu.” jawabku kemudian dia balas sticker lucu penyemangat.

Alhamdulillahirabbil ‘alaamiin. Bisa duduk manis di deretan kursi ke tiga di dalam bis yang sejuk bersama teman-teman membuatku tak henti melafadzkan hamdalah. Ya, aku bersyukur kali ini ditakdirkan Allah untuk jadi peserta LATANSA CERIA 2024. Ini kali ke sekian aku mendaftar untuk ikut, qadarullah sebelumnya ada saja halangan sehingga batal berangkat.

Untuk mendukung rencana keberangkatan ini, sehari sebelumnya aku diantar suami ke rumah orang tua di Tanjung Batu, Desa Semangko, Kecamatan Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara. Masa libur sekolah tidak berlaku untuk suami. Beliau tetap harus bekerja. Jadi, menitipkan tiga anak kami ke rumah neneknya adalah pilihan. Untuk itulah aku menunggu bis rombongan dari Sangatta melintas di portal Marangkayu.

Sepanjang perjalanan mataku sulit terpejam. Berbeda dengan teman-teman yang telah melewati 3 jam di dalam bis. Wajar saja. Mereka tentu lebih lelah sehingga mudah terlelap. Mereka sudah di jalan saat aku masih disibukkan dengan celoteh riang si bungsu. Lelaki kecilku yang masih 3,5 tahun itu mencecarku dengan pesan agar belajarnya jangan lama-lama. Aku memang izin pergi untuk belajar agar anak-anak lebih ridha ditinggal sementara.

Sekitar pukul 04.15 bis kami tiba di rest area. Panitia menginformasikan bahwa kita akan melanjutkan perjalanan ke Pantai Samboja setelah salat Subuh. Cukup panjang waktu untuk beristirahat. Aku dan beberapa teman memutuskan untuk sekalian mengganti baju kami agar paginya bisa langsung mengikuti kegiatan.

Pakaian nuansa warna orange menyegarkan pemandangan rest area subuh itu. Dua bis peserta dari Kutai Timur bertemu dengan rombongan peserta dari daerah lain membuat kita terlihat seperti jamaah yang akan berangkat umrah. Ramai dengan seragam warna senada. MasyaAllah. Lintasan pikiran yang insyaAllah menjadi doa kebaikan untuk semua.

Suasana bis di pagi hari jauh lebih bersemangat. Beberapa rekan mengalunkan kalimat Talbiyah. Labbaik Allahumma labbaik. Ternyata kami memikirkan satu hal yang sama. Perjalanan ini seperti tengah mengantar kami menuju Baitullah. Riuh suara teman-teman bercerita mengenang pengalaman ibadah umroh mereka. Beberapa yang lain sibuk mengabadikan momen dengan kamera HP.

Keriuhan terhenti ketika dari kaca bis terlihat banjir menggenangi jalan yang akan kami lalui. Di arah berlawanan sebuah truk sepertinya menunggu bis kami bergerak duluan. Sementara supir bis kami masih maju mundur menimbang kedalaman air. Tiba-tiba seorang pria yang mengendarai motor bergerak pelan membelah air. Semakin maju, motornya semakin melambat. Di pertengahan jalan, motor tak lagi mampu bergerak. Knalpot terendam. Beliau turun lalu mendorong motornya hingga ke ujung jalan. Aksi heroik pengendara motor membuat supir bis kami optimis bahwa banjir tersebut bisa dilalui.

Tidak sampai satu jam, deretan pohon cemara yang menjulang tinggi seakan berbaris rapi menyambut kedatangan kami di Pantai Tanah Merah Tanjung Harapan Samboja. Hamparan pasir putih dan tenda-tenda yang berjejer mengusir semua lelah dan kantuk yang menggelayut. Ramai suara bersahut-sahutan memberi instruksi pada teman sekelompok untuk mengangkut barang pribadi dan kelompok dari bis.

Aku tergabung di kelompok 1 bersama 8 teman lainnya yang akhirnya ditakdirkan Allah hadir di pantai yang indah ini. Kami sepakat memilih nama Rasuna Said, seorang pahlawan wanita dari Sumatera Barat, sebagai nama kelompok. Setelah memastikan semua barang lengkap, kami pun membagi tugas. Ada yang melakukan registrasi, menjaga barang, mengambil nasi kotak untuk sarapan, dan mencari lokasi pendirian tenda.

Aku dan teman-teman mengangkut barang terakhir kami dari tempat pemberhentian bis. Mataku terus menatap sekitar. Aku takjub. Sepanjang mata memandang semua orang sibuk bergerak. melihat hilir mudik para perempuan-perempuan kuat yang berjibaku mengangkat perlengkapan kelompok ke lokasi pendirian tenda. Mungkin sekitar 100 meter jaraknya di medan jalan yang lurus. Ransel dipunggung, kompor portable di tangan kanan, ember berisi bahan makanan di tangan kiri. Di belakangnya dua orang ibu paruh baya berbagi beban mengangkut tenda berukuran besar. Topi rimba berwarna hitam menghiasi kepala mereka. Sesekali keduanya sepakat berhenti untuk mengusap peluh di dahi. Rekannya sigap membantu menyisipkan anak rambut yang terjuntai di kening kawannya. MasyaAllah. Indahnya ukhuwah terpampang nyata.

Alhamdulillah tidak butuh waktu lama, dua tenda kami sudah berdiri. Sayangnya lokasi yang kami pilih adalah tempat aliran air. Panitia meminta kami menggeser tenda untuk keamanan dan kenyamanan bersama. Tentu kami mengikuti instruksi itu. Akhirnya tenda kami bergeser dengan posisi terpisah.

Setelah tenda siap, kami pun menata barang-barang. Terjadi sedikit keriuhan saat semua barang sudah diangkat dan aku tidak menemukan ransel coklat berisi pakaian gantiku. Teman-teman membantu mencari, tapi nihil. Bu Rina berinisiatif mengajakku bertanya ke tenda-tenda terdekat, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan si ransel coklat. Teman-teman silih berganti bertanya, apa ada kemungkinan aku meninggalkannya di bis? Dengan yakin aku menjawab tidak. Aku ingat betul, di kloter terakhir mengangkat barang tadi, aku memanggul ransel itu dipunggungku. Tas selempang coklat berisi dompet, kartu identitas dan HP tidak pernah kuletakkan, dan tangan kanan kiriku bergantian mengangkat tas tenda ukuran sedang.

Saat drama perpindahan posisi tenda tadi, ranselku itu memang terpisah dari barang lain. Aku ingat meletakkannya di dekat pohon samping tenda kami. Karena aku baru saja memindahkan tas kecil berisi KTP dll ke tas selempangku. Aku berprasangka baik, kemungkinan ada peserta lain yang mengira ransel itu milik anggota kelompoknya lalu ia bawakan. Waktu terus berjalan dan kegiatan lain menunggu. Akhirnya aku memutuskan pencarian dihentikan sementara waktu.

Sejak itu, setiap bertemu dengan rombongan dari Sangatta, teman-teman selalu bertanya kabar si ransel coklat. Padahal aku sendiri nyaris lupa hehehe. Siangnya, kami melaporkan kehilangan tersebut kepada panitia. Panitia mengumumkan jika ada yang menemukan atau mengamankan ransel coklat untuk dapat diserahkan kepada panitia. Aku mencoba mencari gambar ransel itu di googgle, tapi baterai HPku sudah tidak cukup.

“Apakah ada barang berharga di dalamnya?” tanya salah seorang kawan.

“Iya, baju ganti, baju bersih, termasuk barang berharga kan?” jawabku mengulum senyum.

Tentu siapapun akan sepakat bahwa baju ganti itu barang berharga. Terlebih saat kita berada di alam terbuka yang jauh dari pusat kota. Teman-teman telah berbaik hati menawarkan jilbab ganti, rok, maupun kaos kaki. Sebenarnya aku justru khawatir, teman-teman kehabisan stock pakaian bersih jika mereka meminjamkan kepadaku. Menyiapkan pakaian untuk pergi berkemah tentu berbeda dengan bepergian untuk berlibur. Oleh karena itu, di hari kedua setelah pakaian kehujanan kering di badan, barulah aku menerima tawaran jilbab ganti dan kaos kaki.

Sebelumnya, aku sudah menyusuri warung-warung terdekat di area perkemahan. Siapa tahu ada yang menjual barang-barang yang aku butuhkan. Syukur kepada Allah, ada yang menjual sikat gigi, pasta gigi, sabun mandi dan sandal jepit. Satu kesyukuran lainnya, Alhamdulillah ada kaos Army for Kutim pembagian dari DPD Kutai Timur dan kaos Latansa dari panitia untuk 9 orang pendaftar pertama. Jadilah dua baju itu penyelamat untuk mamak beranak tiga yang kehilangan ransel berisi pakaian ganti.

 Temanku bertanya dengan mimik keheranan, “Bagaimana bisa se-santai itu padahal ransel belum ditemukan?”

Mendengar pertanyaannya, gantian aku yang heran. “Jadi, harusnya bagaimana? Kita sudah cari, sudah lapor panitia. Kita sudah usaha. Tinggal berdoa dan tawakkal. Kalau masih rezeki akan kembali. Ya, kan? Kalau kondisiku, ya paling garuk-garuknya agak lama nanti.” tuturku di sela derai tawa kami menertawakan keadaanku.

 “Ransel boleh hilang, kebahagiaan kita jangan ikut hilang,” pungkasku.

Dua hari serasa sebentar saja.

Pengalaman antri menggunakan kamar mandi, antri berwudhu, hidup minimalis di tenda, nikmatnya beribadah di alam terbuka, menyimak materi, menyaksikan pentas seni, dan banyak hal seru lainnya membuatku tak risau perihal ransel.

“Nanti kita cepat-cepat bongkar tenda. Setelah itu kita cari lagi ransel Mba Ara,” tukas bu Rinda penuh semangat.

“Iya. Pas mau pulang kan akan sadar itu bukan tasnya,” sambut teman-teman lainnya.

MasyaAllah. Aku terharu. Luar biasa kepedulian dan semangat tim perburuan ransel coklat ini. Sambil mengangkat barang, mata kami melihat kiri kanan. Berharap melihatnya teronggok tak bertuan. Namun, sampai tiba waktunya penutupan ransel tak kunjung ditemukan.

Perihal ikhlas. Rasanya aku sudah ikhlas sejak awal. Aku hanya harus bertanggung jawab mengganti ransel putra sulungku yang kupinjam itu. Terkait barang lainnya, aku tidak risau memikirkan.

Kami berjalan beriringan menuju tempat upacara penutupan. Ketika menoleh ke tenda panitia, sekelebat pandang kulihat bagian atas ransel coklatku. Aku menggandeng tangan temanku mendekat. MasyaAllah Alhamdulillah benar. Itu ransel yang kami cari.

“Tadi ada peserta yang antar ke sini. Katanya, mereka juga tidak tahu kenapa ada di tenda mereka," kata panitia di tenda tersebut.

Kami saling pandang lalu mengucap terima kasih. Kudekap ransel coklat dan ku tunjukkan ke teman-teman. Alhmadulillah semua lega. Balada pencarian ransel menemukan titik terang.

“Hikmahnya adalah cucian baju kotor Mba Ara sedikit karena baju gantinya utuh,” tukas salah seorang teman disambut tawa semuanya.

Di jalan pulang, aku jadi teringat pesan si bungsu, lelaki kecilku. “Jangan lama-lama belajarnya!”

Ya, aku pamit ikut Latansa untuk belajar. Sepertinya inilah pelajaran yang bunda dapatkan, Nak. Pelajaran tentang indahnya ukhuwah dan tadabbur alam. Pelajaran hidup dalam kesederhanaan. Pelajaran bab kesabaran, kesyukuran, dan keikhlasan dalam nyata bukan hanya kata. Dan, yang terpenting pelajaran untuk tetap belajar berbahagia menjalani takdir yang dituliskan-Nya. Bukankah tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa izin-Nya? Maka dengan sadar kuucapkan Alhamdulillah, di Latansa, aku belajar, aku bahagia.


Posting Komentar

0 Komentar