Beberapa bulan ke depan kita akan
kembali menghadapi pemilihan umum (Pemilu) yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di
seluruh wilayah Indonesia, momentum ini juga akan kembali menghadirkan dinamika
sosial politik di tengah masyarakat sebagaimana yang biasa terjadi pada masa
pemilu seperti strategi dan manuver politik hingga ketegangan. Dibutuhkan peran
seluruh elemen masyarakat mulai dari tokoh, elit maupun masyarakat biasa untuk
menyikapi situasi secara dewasa agar pemilu yang merupakan hajatan rakyat tetap
semarak dan berkualitas tanpa menimbulkan kegaduhan sosial atau hal negatif
lainnya. Dalam kontek ini, penulis ingin mengulas tentang “primordialisme”
dalam mempengaruhi kontestasi politik pada tipologi masyarakat yang majemuk,
apakah terdapat kaitannya pada proses pemilu atau bahkan merupakan bagian dari
strategi politik untuk pemenangan, serta seberapa besar ancaman dan
tantangannya terhadap masa depan demokrasi, bangsa dan negara.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Primordialisme
sangat berperan dalam membentuk sikap primordial seseorang, yaitu sikap yang
menganggap bahwa segala sesuatu yang berasal dari kelompoknya (suku bangsa atau
agama) merupakan satu-satunya yang terbaik dan terbenar, yang lain nomor dua
(Sonny Soeharso, 2019). Sikap primordial dapat menumbuhkan rasa kesatuan
psikologis dan keterikatan emosional individu dengan latar belakang kesamaan
identitas, solidaritas ini tidak hanya berkembang dalam koridor budaya dan
agama belaka, namun dapat merambah dalam bentuk relasi yang menjadi pemicu di
berbagai aspek lain seperti solidaritas sosial, ekonomi hingga politik. Seperti
contoh, pemilik bisnis akan lebih cenderung merekrut karyawan atau menempatkan
orang kepercayaan atas dasar kesamaan identitas dengan dalih dekat secara
emosional, perasaan senasib sepenanggungan atau memudahkan dalam komunikasi,
walaupun dalam bisnis fenomena ini bersifat lebih dinamis/fleksibel dari bidang
lain, hanya saja tetap berpotensi adanya kecenderungan.
Demikian pula di bidang politik,
simbol identitas juga memiliki porsi tersendiri dalam mempengaruhi pilihan politik, terutama bagi pemilih yang
minim referensi dan pengalaman terkait tema-tema besar politik seperti good
governance, demokrasi, ideologi kepartaian, kepemimpinan dan sebagainya. Kajian
politik paling sederhana digunakan adalah memilih atas dasar sentimen identitas
mulai dari etnisitas, hubungan kekerabatan, simbol feodalistik seperti hadirnya
bangsawan lokal maupun pengaktifan adat sebagai norma dan identitas diri
masyarakat lokal. Pola ini mampu menghadirkan suasana kebatinan yang mengikat
emosional antara pemilih dengan kandidat yang dipilih dengan prinsip senasib
seperjuangan dan harga diri (marwah) golongan/kelompok. Tak urung, semangat primordial dimanfaatkan atau dikonversi menjadi bagian
strategi politik untuk memenangkan kontestasi perebutan kekuasaan. Politik
primordial berpotensi menguat, laris dan berkembang terutama di daerah dengan
latar belakang sosiologi terdapat dua atau lebih golongan/etnis yang sama-sama
merasa dominan atau berhak atas wilayah tersebut, baik itu klaim sebagai
pribumi, klaim jasa dalam sejarah, tak luput pula sama-sama mendominasi
kekuatan ekonomi.
Menurut Mohtar Haboddin dalam
bukunya yang berjudul “Politik Primordialisme dalam Pemilu Indonesia” faktor
yang mempengaruhi politik primordial tidak bisa dilepaskan dengan pertama,
politik desentralisasi. Praktik politik desentralisasi telah mengubah lokus
kajian bagi sebagian peminat politik dan pemerintah untuk lebih mendalami
kembali hadirnya fenomena etnisitas, kedaerahan, kesultanan dan adat dalam
panggung politik. Kedua, pemanfaatan simbol-simbol primordialisme justru
menguat seiring dengan proses liberalisasi politik yang ditandai kehadiran
sistem politik multipartai dan implementasi sistem pemilihan langsung dengan
mengedepankan suara terbanyak dalam pemilu. Dalam buku tersebut Mohtar Haboddin
juga menyebutkan dengan mengentalnya semangat primordialisme dalam politik
merupakan gambaran riil dunia perpolitikan masih tergolong “primitif dan
tradisional”. Disebutkan demikian karena aktor politik sibuk mengaktifkan
sentimen-sentimen primordial tinimbang konsen mengedukasi masyarakat pada
isu/tema yang menjadi fungsi dari pembangunan politik seperti aspek sosial
ekonomi, pendidikan, lingkungan dan lain sebagainya.
Ancaman dan Tantangan
Dalam demokrasi praktik
primordialisme politik secara eksplisit dilarang untuk dimanfaatkan sebagai
intrik politik demi meraih kekuasaan, prakteknya diperkuat dengan kampanye yang
selalu digalakkan KPU dan Bawaslu dalam bentuk aturan pelarangan menggunakan
politik identitas dan isu SARA pada proses pemilu. Meskipun faktanya entah
sengaja atau tidak politik primordial sulit dihilangkan secara total, contohnya
penggunaan accessories, simbol-simbol adat hingga ajakan memilih atas dasar
identitas, walau tidak vulgar di ruang publik. Hal tersebut bertentangan dengan
ruh demokrasi yang hakikatnya merupakan pertarungan ide dan gagasan dalam
mengurai serta mengatasi masalah pembangunan. Analoginya, Mereka yang berhak
berkuasa dalam demokrasi adalah mereka yang memiliki prestasi dan pemikiran
brilian, bukan mereka yang berasal dari strata maupun etnisitas tertentu.
Menguatnya semangat primordial di benak masyarakat kemudian diimplementasikan
sebagai sikap politik secara otomatis mengabaikan nalar/logika terhadap visi misi
(problem solving) yang ditawarkan para kontestan politik.
Selanjutnya,
ekspresi dari politik primordialisme yaitu munculnya politik kekerabatan atau
dinasti politik dalam mengisi jabatan publik, disebut demikian karena politik
kekerabatan melakukan praktek pendistribusian kekuasaan diantara para anggota
keluarga sedarah. Politik kekerabatan juga menjadi pemicu lahirnya perilaku
nepotisme dan kolusi dalam pengisian jabatan legislatif maupun birokrasi,
setelah menguasai politik bukan tidak mungkin fase berikutnya mencengkram
sektor ekonomi karena adanya kemudahan akses. Akhirnya tercipta imperium
politik dalam pemerintahan dan demokrasi menjadi ruang eksklusif yang hanya
bisa diakses oleh golongan/kelompok tertentu. Jika semakin dipertajam, politik
primordial berpotensi mengancam stabilitas keamanan, dapat menyebabkan konflik
horizontal ditengah masyarakat yang berujung pada rusaknya keutuhan bangsa.
Tantangan ke depan adalah bagaimana
mengurangi frekuensi politik primordial dengan mengkampanyekan politik gagasan
yang edukatif atas isu-isu politik terkini yang menjadi masalah kehidupan
sosial masyarakat. Dan mengorkestrasi volume politik primordial agar tetap
berdampak positif untuk kemajuan bersama dan eksistensi bangsa, jangan sampai
semangat primordial digunakan untuk memecah belah sesama anak bangsa. Kita akui
semangat primordial berperan penting dalam mempertahankan eksistensi budaya
lokal namun tetap satu tujuan untuk memperkokoh bangunan kebangsaan dalam wadah
politik NKRI, demi menjaga kedaulatan bangsa dan ketahanan nasional. Karena
tantangan di era globalisasi ini, bagaimana menjaga kedaulatan bangsa dari
perebutan kepentingan-kepentingan negara asing yang ingin menancapkan hegemoni
politiknya dengan memanfaatkan lemahnya identitas dan persatuan nasional
melalui politik adu domba dan lain-lain.
Perlunya Menciptakan Kebanggaan Sebagai Bangsa
Kebanggaan
sebagai bangsa dapat tercipta ketika identitas nasional menguat, salah satu
bentuk perwujudannya jika pemimpin yang lahir dari proses politik adalah mereka
yang memiliki jiwa “negarawan” sejati. Dalam arti mampu berdiri diatas semua
golongan masyarakat dan merasakan suasana kebatinan masyarakat kemudian
mengolah rasa tersebut dalam wujud pembangunan yang berkeadilan dan merata.
Wujud yang paling nyata adalah pemenuhan atas hak-hak warga negara di bidang
administrasi sipil, politik, ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Misalnya,
kemudahan memperoleh jaminan kesehatan, kemudahan menyekolahkan anak, kemudahan
dan kelancaran transportasi. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang merata
hingga proses peradilan yang objektif, transparan, adil dilandasi semangat
kebangsaan yang tinggi dapat menimbulkan kebanggaan dan ikatan emosi yang
mendalam terhadap identitas nasional kita.
Penulis: Muhammad Azmi (Relawan Literasi Humas PKS
Kota Pontianak)
0 Komentar