Merah Putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi
Di Indonesiaku ini….
Bait-bait lagu “Bendera”nya Band Cokelat kembali bergaung di bulan
Agustus, seolah mengingatkan bangsa ini untuk kembali menjalankan ritual pengibaran
bendera menyambut peringatan hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan.
Tiang-tiang Tertinggi
Sudah sewajarnya bendera dikibarkan di pucuk tertinggi sebuah tiang
karena menyambut saat menggembirakan. Jika berkenaan dengan hal yang
menyedihkan seperti berkabung, barulah bendera dikibarkan setengah tiang.
Ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang
diperingati setiap tanggal 17 Agustus jelas merupakan saat yang penuh sukacita.
Oleh karenanya pengibaran bendera dilakukan sepenuh tinggi tiang. Tiang yang
tinggi-tinggi. Sebagai contoh, tiang bendera di halaman Istana Merdeka Jakarta,
tingginya 17 meter. Ini mengikuti tanggal 17.
Di berbagai pelosok negeri ini kita bisa lihat masyarakat
mengibarkan bendera di tiang-tiang yang juga tinggi, meski kebanyakan tidak
mencapai tinggi 17 meter.
Di seputaran kota Jakarta misalnya, banyak masyarakat menggunakan
tiang berbahan bambu yang panjangnya sekitar 3 sampai 4 meter.
Tapi ternyata ada juga anggota masyarakat yang mengibarkan bendera
merah putih ini dengan menggunakan bilah (belahan) bambu, bukan bambu utuh
sebagaimana biasanya. Panjang bilah bambu itu mungkin hanya sekitar satu meter
bahkan bisa jadi kurang, namun tetap bendera bisa dikibarkan di ujung tertinggi
bilah bambu itu.
Menangkap Makna
Fenomena pengibaran bendera merah putih dengan menggunakan bilah
bambu bisa dimaknai beragam,
Pemaknaan secara pesimis bisa mengarahkan kita pada pemikiran bahwa
bangsa dan negara ini telah berada di ambang kebangkrutan. Tidak ada dana untuk
membeli batang bambu utuh yang akan digunakan sebagai tiang bendera, karena
begitu kecilnya penghasilan masyarakat.
Bisa jadi kecilnya penghasilan ini disebabkan oleh pandemi.
Persoalan awal yang lebih banyak menyangkut kesehatan tidak bisa dilokalisir
sehingga berimbas ke berbagai bidang kehidupan masyarakat. Pemasangan bendera
dengan menggunakan bilah bambu hanyalah salah satu contoh nyata.
Pemaknaan si atas bisa jadi benar, namun ada potensi tidak benar
juga. Oleh karenanya baik kiranya kita coba memaknai dengan cara yang kedua,
yaitu cara optimistis.
Penggunaan bilah bambu sebagai tiang bendera yang dilakukan oleh
sebagian warga masyarakat bisa dimaknai sebagai bentuk semangat besar dan
keyakinan diri yang tinggi dalam berbuat, khususnya dalam upaya mensyukuri
kemerdekaan.
Tidak ada kata malu atau ragu dalam menggunakan bilah bambu.
Nilainya secara rupiah mungkin tidak seberapa, namun nilai semangat yang
terkandung di dalamnya sangat tidak ternilai. Ini menunjukkan bahwa warga
masyarakat telah berusaha berbuat sebaik mungkin dalam upaya mengibarkan bendera merah putih. Soal hasilnya tidak seperti yang lain, itu masalah nomor sekian
ratus.
Dalam kata lain, semua warga masyarakat seharusnyalah dianggap
telah menggunakan seluruh kemampuannya untuk menunjukkan rasa syukur atas
kemerdekaan bangsa sekaligus menunjukkan kesiapan berkorban bagi negeri dalam
tingkatan yang tertinggi.
Mau Dibawa Ke Mana…?
Rasa syukur dan kesiapan berkorban itu merupakan modal besar bagi
bangsa ini. Modal ini bisa dipakai untuk membantu bangsa ini menghadapi pandemi
serta upaya memulihkan diri nantinya setelah badai pandemi berlalu.
Akan tetapi bisa juga modal ini dianggap angin lalu atau dianggap
hanya ilusi.
Yang jelas ini merupakan kesempatan bagi para pemimpin bangsa untuk
membawa rakyat dan bangsa ini keluar dari masalah pandemi serta masalah-masalah
yang mengikutinya.
Semoga saja kesempatan ini bisa benar-benar digunakan secara
saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Bekasi, 15Agustus 2021
abi.nurul@gmail.com
0 Komentar