Tidak Semua Harus dengan Alasan



Lilian Nema*


Bicara tentang alasan, jadi ingat sebuah ungkapan ‘sak ombo-ombone alas, sik luwih ombo alasanmu’ atau seluas-luasnya hutan, masih lebih luas alasanmu. Artinya, saat kita memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, tentu dengan berbagai alasan. Contoh nih ya, saat kita tau bahwa kita akan terlambat sampai kantor, kemungkinan kita akan menyiapkan beberapa alasan, mulai A sampai Z. Saat dilamar seseorang, kita butuh alasan yang bisa menguatkan keputusan kita, mau menerima atau menolak. Yang masih jomblo, bayangin aja dulu ya, hehe... Termasuk saat memilih untuk berafiliasi ke partai politik, tentu ada alasannya juga dong. Itu mungkin berlaku pada sebagian orang, tapi tidak pada sebagian yang lain, termasuk aku. Kok bisa? Entah, karena aku tak tau alasannya. Seperti aku pun tak tau, kenapa aku mencintaimu, eeaaaa…


Saat kecil, bapakku yang seorang pegawai negeri sipil, diwajibkan menjadi anggota sekaligus tim sukses sebuah partai politik. Saat itu, cuma ada tiga partai di Indonesia. Dan yang mewajibkan itu, adalah partai yang berkuasa di negeri ini lebih dari tiga dekade. Setiap pesta rakyat lima tahunan, aku selalu senang bisa ikut konvoi keliling desa dan kecamatan, sambil memakai jas kuning milik bapak, warna khas partai tersebut. Seingatku bukan karena senang dengan partainya. Toh, aku juga belum ngeh dengan yang namanya partai. Gembiranya lebih karena bisa menikmati keseruan naik motor ramai-ramai.


Keseruan itu berakhir kala 1998, sang penguasa tumbang. Aku yang masih culun merasa B gitu, alias biasa aja. Ya, sempat mikir dikit sih, kenapa orang-orang kok demo-demo, bikin rusuh, sampai minta presiden lengser. Padahal Indonesia baik-baik aja, tuh. Kan, enak kalau hidup tenang, nyaman, nggak pakai marah-marah, saling maki, dan saling menjatuhkan. Ah, lagi-lagi aku tak menemukan alasannya, dan juga nggak ingin tau apa itu. 


Seiring berjalannya waktu, aku mulai mendengar beberapa alasan para aktivis reformasi. Ternyata banyak hal yang aku tak tau dan sepertinya perlu tau. Namun, informasi yang kuterima hanya sebatas pengetahuan saja, belum mampu menggerakkan untuk turut memikirkan perubahan. Ya iya lah, aku kan masih unyu-unyu, baru juga masuk barisan seragam abu-abu. Ehem…  


Di SMA, aku adalah warga baru, bukan hanya karena masih kelas satu, tapi juga karena di situ bukan tanah kelahiranku. Logat dan dialeg yang berbeda, juga suaraku yang aneh bagi teman-temanku, membuat aku menjadi sasaran untuk dikerjain, terutama oleh kakak kelas. Alhamdulillah, aku bukan tipe yang sensitif dan mudah baper, jadinya dengan polos menerima saja saat dijadikan bahan tertawaan. Yang penting mereka nggak menyakiti psikis dan fisikku, it’s oke. Sebab aku dianggap makhluk aneh itulah, aku jadi siswa populer. Dan itu cukup membantuku. Pas lapar, ada yang nraktir; pas nggak punya buku, ada yang minjemin; bahkan pas nggak bisa naik angkot karena nggak punya doku, ada aja yang mau nganterin sampai depan pintu. Bersyukur banget deh, pokoknya. Selalu ada hikmah dibalik peristiwa, kan?


Masih tentang keseruan masa SMA, menjelang kenaikan kelas tiga, kami para siswa diminta mengisi angket pemilihan jurusan. Aku yang merasa matematika, fisika dan kimia, itu mengerikan --meskipun dari segi nilai, cukup memuaskan--, tentu tidak memasukkan IPA sebagai pilihan. Waktu itu, jurusan Bahasa menjadi pilihan pertama, dan IPS setelahnya. Namun, tahukah kalian apa yang terjadi saat pengumuman pembagian kelas? Namaku nangkring di kelas IPA! Apa-apaan ini? Perasaan, aku nulisnya penuh kesadaran, nggak nglamun apalagi ngantuk. Kok tiba-tiba bisa berubah gini. Masak iya ada sesuatu yang tak nampak, yang iseng menggantinya. 


Semua pun terkuak manakala ibu BK yang baik hatinya, tersenyum sambil berkata, “Gimana Lilian, masuk IPA, kan?” Waaa… ternyata beliaulah yang mengubah isi angketku. Dan beliau mengakuinya tanpa merasa berdosa. Aku paham maksud beliau, sih. Waktu itu, IPA dianggap sebagai jurusan bonafit, makanya muridnya yang imut ini, uhuk, dipaksa masuk jurusan --yang sebenarnya nggak gue banget-- itu. Biar jadi orang sukses, alasan ibu BK. 


Karena memang nggak suka, aku merengek minta dipindah dari IPA. Daripada aku menderita, iye kaaan? Meskipun aku nangis guling-guling, tapi nggak sampai gitu juga deng, bu guru BK tetap tidak mengabulkan permintaanku. Oke, aku harus memperjuangkan aspirasiku. Aku pun ke kantor menemui TU dan bilang kalau aku ingin pindah jurusan. Beliau bilang bisa, tapi ada syaratnya. Ethaaa.. pakai syarat segala. Aku disuruh buat surat pernyataan yang ditanda tangani orang tua. Ya Allah Gusti.. cobaan apa lagi ini? Masak aku pulang kampung yang jaraknya hampir seratus kilo, mendaki gunung, lewati lembah, hanya demi sebiji tanda tangan? Dan waktu yang diberikan cuma sehari Gaes, sehari! Iya kalau aku bisa ngilang, wong lari aja ngos-ngosan, xixixi…


Sebuah ide pun terlintas, aku membuat surat pernyataan dengan bahasa yang kurangkai sedemikian rupa. Dibagian bawah kububuhkan tanda tangan bapak. Fix, itulah momen pertama aku memalsukan tanda tangan bapak. Tapi seingatku, aku sempat ijin ke bapak kok, soal ini. Kalau masalah jurusan, yakin 100% orang tuaku tidak akan melakukan pemaksaan akan pilihanku.


Dan hari pertama sebagai siswa kelas tiga pun tiba. Ibu kepala sekolah yang cantik penuh pesona memasuki ruang kelas IPS-1, yang memang letaknya paling ujung dekat kantor. Saat masuk, pandangan beliau langsung terarah padaku yang duduk di bangku nomor satu. “Lho, Lilian kenapa masuk IPS? Bukannya di IPA?” Bahkan soal jurusan aja, orang nomor wahid di sekolah pun care padaku. Wah, benar-benar serasa istimewa, hehehe… “Saya ingin di IPS, Bu,” jawabku apa adanya. Tampak wanita berambut hitam sebahu itu menarik nafas panjang, “Ya sudah, tapi janji ya, nanti Kamu harus jadi juara satu. Dan kalau sudah besar, jadi politikus,” tantang beliau yang ku jawab dengan lafadz insya Allah plus senyum manis. 


Kata adalah do’a. Benar saja, tahun terakhir di SMADA, tak sekalipun aku duduk di rangking dua ataupun setelahnya. Pun saat kelulusan tiba, nilai ujian nasionalku menyabet juara pertama, alhamdulillah. Salah satu statemen bu kepsek telah menjadi nyata. Akankah ungkapan berikutnya, pun terwujud juga? Nantikan di sesion selanjutnya, eh.


Meskipun aku lulusan terbaik, tak ada sedikitpun keinginan untuk masuk perguruan tinggi. Rasanya capek, sekolah terus, parah, hehehe. Orang tuaku pun tidak menentang saat aku bilang ingin les aja. Hingga, lagi-lagi para guru SMA-ku mengambil perannya. Saat tau aku tidak ikut ujian masuk perguruan tinggi, langsung aku diadili. Dan mau tidak mau, aku harus daftar ke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang, yang masih membuka pendaftaran. Yo wes lah, demi membahagiakan bapak ibu guru. Diterima, syukur. Nggak diterima, Alhamdulillah. 


Keterpaksaan kuliah itu ternyata menjadi salah satu jalan ninjaku hingga sampai di titik ini. Status mahasiswa yang memang tak kuminati, kuisi dengan menghibur diri lewat kegiatan baik intra, maupun ekstra kampus. Dibandingkan organisasi, masuk kuliah hanya jadi prioritas kesekian bagiku. Yang penting, tugas nggak pernah absen, insya Allah aman. Keaktifanku berorganisasi ternyata menjadi magnet tersendiri bagi kakak-kakak yang tarbiyah di PKS. Tanpa sadar, aku dijadikan target operasi, Gaes. Wkwkwk…


Sebenarnya ada beberapa organisasi dengan berbagai ideologi, yang menarikku untuk menjadi bagian dari mereka. Tapi entah mengapa, organisasi yang lahir pasca reformasi inilah, yang cenderung lebih menarik bagiku. Rasanya adem aja kalau bareng mereka. Menjelang pemilu 2004, aku dan beberapa teman seangkatan semakin intens dilibatkan dalam berbagai kegiatan bakti sosial. Karena dasarnya aku punya sifat bakat belief, ya senang dan enjoy aja saat diajak melayani masyarakat. Sampai seorang teman berkata, 


“Kita itu mahasiswa, harus independen. Ngapain juga dilibatkan urusan partai politik. Jangan mau!” Dalam hati aku membenarkan ucapannya. Namun, pada kenyataannya aku selalu tidak bisa menolak saat diajak kembali beraksi, berbagi dan melayani masyarakat. Dan semakin lama, semakin ada ikatan yang sulit diurai antara aku dan PKS. Bahkan, saat perdana aku berhak memilih, aku sudah percaya diri jadi saksinya. Juga dengan suka rela mengompori keluarga agar ikut mencoblos PKS. Menurut kalian, kira-kira apa alasanku bisa seperti itu? Nggak tau ya? Jangankan kalian, aku aja nggak tau juga. Pokoknya cintaaaa aja.


Tahun berikutnya, pengurus organisasiku mengadakan jalan-jalan ke kota kelahiranku. Seneng banget dong, bisa nengokin keluarga tanpa keluar biaya, perhitungan mode on. Sebelum diantar pulang, kami silaturrahim ke kediaman ketua DPD PKS Kabupaten Kediri. Saat ngobrol, sang ketua rombongan memperkenalkanku sebagai bocah asli Kediri. Dengan berbinar, beliau yang saat ini menjadi ketua DD 6 Jawa Timur--ada yang tahu beliau, siapa?-- berkata, “Alhamdulillah, nanti lulus, pulang jadi ketua DPC Wates, ya?” dueeng.. aku tertawa dan lagi-lagi bergumam, insya Allah. 


Begitulah, takdir menuntunku pada aku saat ini. Usai lulus kuliah, aku pulang ke kampung halaman dengan status melekat sebagai orang PKS. Dengan percaya diri, aku mengadakan berbagai kegiatan dengan mengundang tetangga, baik anak-anak maupun dewasa. Hingga akhirnya aku tidak punya alasan menolak, ketika amanah sebagai ketua DPC disematkan padaku. Ya, aku menjadi satu-satunya ketua DPC wanita di Wates, salah satu kecamatan di kabupaten Kediri. Ucapan bapak Sulistyo Budi, saat kunjungan organisasi, beberapa tahun sebelumnya, benar-benar menjadi nyata. Juga harapan ibu Mistin, kepala SMADA Batu, kala lalu. 'Murid Ibu telah jadi politikus, Bu'. Sumpah, terharu Gaes, hiks... 


Alhamdulillah, aku merasakan menjadi pelayan rakyat bersama PKS, merupakan perwujudan do’a dan harapan orang-orang yang menyayangiku. Dan sesungguhnya, hanya Allah lah yang Maha membolak-balikkan hati. Sehingga aku tidak perlu mencari sebab dan alasan, kenapa aku begitu cinta dan bahagia menjadi bagian dari barisan pejuang PKS. Selama PKS senantiasa melibatkan Allah dan Rasulullah dalam setiap rasa, pikiran dan gerakan, maka selama itu pula, PKS akan menjadi bagian dalam hidupku, insya Allah.


*Lilian Nema adalah nama pena dari Lilian Netya Al Mabruroh. Ketua Bidang Humas DPD PKS Kabupaten Kediri


Posting Komentar

0 Komentar