Berkat Doa Ibu

 


Akhir Desember 1974 aku rasakan segarnya udara pagi Yogyakarta, saat aku numpak becak menyusuri Malioboro yang masih lengang, sungguh menikmati suasananya, walau ada rasa-rasa khawatir membayangi.  Aku baru beberapa saat menginjakkan kaki di kota ini, setelah berhari-hari perjalanan bus, lalu bertukar dangan kapal Pelni Bukit Siguntang dari Teluk Bayur ke-Tanjung Priok, kemudian naik bus lagi, dan sekarang naik becak untuk pertama kalinya.

 

Kota ini masih terasa asing.  Tapi nama-nama jalan yang dilewati sudah aku hafal sejak berangkat meninggalkan kota asalku Pekanbaru.  Satu persatu aku tandai, kantor pos belok kiri, melewati jalan Senopati, terus melalui jembatan.  Semua tanda-tanda itu aku ingat dan cocok dengan petunjuk yang sudah aku hafal.  Lalu becak berbelok ke kanan, jalan Bintaran Kulon. Tak lama kemudian becak berbelok ke kiri, ada  gereja di pojok kanan ! Aku bersiap turun.  Disebelahnya adalah alamat yang dituju: Jalan Bintaran Tengah No.2, Asrama Putera Riau.

 

Disana aku menemui seorang kerabatku, Bang Risman, yang akan mengantarkan aku mendaftar ke UGM.  Pertama kali berjumpa, dia sedikit merengut, kesal kenapa aku datang terlambat. Hari Sabtu pagi itu, 21 Desember 1974. Padahal penutupan tanggal 19 Desember.  Namun dia tetap bersedia membantu. Kita bergegas menuju Bulak Sumur, naik becak lagi. Dan jadilah hari itu istimewa, karena aku menjadi tamu Purek 3, ditemani oleh Bang Risman, mahasiswa senior UGM, untuk meminta dispensasi. Karena datang dari jauh, dan pertimbangan lain yang diungkap oleh Bang Risman, akhirnya aku diperbolehkan mendaftar.

 

Singkat cerita, setelah melalui proses seleksi, aku lulus pada semua tiga pilihan fakultas. Tapi aku mantap memilih Teknik Geologi.

 

Pada tahun-tahun itu Jurusan Teknik Geologi masih menempati gedung STM Jetis. Info ini baru aku ketahui setelah mulai kuliah.  Sedikit kecil hati juga, karena terasa kurang keren, bahkan sangat kontras dibandingkan dengan kemegahan Komplek UGM Bulaksumur.  Namun setelah berjalan beberapa waktu terasa nyaman nyaman aja, bahkan suasana kuliah lebih berkesan. Sangat kekeluargaan.

 

Pada masa awal perkuliahan sudah terasa suasana belajar di Teknik Geologi, banyak istilah harus dihafal, dan harus difahami.  Kuncinya harus banyak membaca buku teks. 

 

Materi ujian juga banyak yang menuntut jawaban berbentuk prosa, jadi harus pandai mengarang dan merangkai kata, yang benar-benar mengambarkan pemahaman terhadap konsep dan peristilahan.  Karena gambar-gambar bisa bercerita lebih dari seribu kata, maka kemampuan menggambar sketsa sangat membantu sukses perkuliahan.  Yang uniknya hasil ujian tidak dalam bentuk nilai ABCD, tapi L (lulus), U (ulang) dan K (Kurang).  Jadi target kita hanya mendapatkan L saja sudah menyenangkan, dan kita tidak diberitahu seberapa bagus nilai L lulus kita. 

 

Namun walaupun begitu, setelah melewati semester empat, aku dikejutkan oleh staf tata-usaha, yang mengabarkan aku terpilih sebagai penerima beasiswa Super Semar.   Mungkin ini sebagai pertanda nilai akademik saya bagus, walaupun sampai lulus dan diwisuda aku tidak tahu seberapa bagus IPK saya, kalau ada.

 

Hari-hari perkuliahan semakin menyenangkan, apalagi setelah ada lowongan menjadi asisten dosen. Selain membimbing praktikum laboratorium, beberapa kali saya dilibatkan dalam proyek penelitian yang terkait mata perkuliahan, sehingga dapat bepergian ke berbagai kota di Jawa dan Madura. Terasa nyaman jadi mahasiswa geologi. Bisa nyambi jalan-jalan sekaligus dapat honorarium lumayan. Banyak kota-kota sempat saya kunjungi, seperti Kediri, Tulungagung, Pati, Kudus, Surabaya, Sampang, Pemekasan, dan banyak lagi. Hanya sayang, Denpasar tidak masuk daftar.

 

Yang lebih penting lagi, aku bisa memakai data penelitian untuk menyusun skripsi. Walaupun ada satu lagi tugas akhir yang mesti dikerjakan, yaitu pemetaan geologi secara mandiri, dan menulis laporan berupa tesis. 

 

Untuk pengerjaan tesis, aku dan beberapa kawan seangkatan memberanikan diri memilih daerah yang paling kompleks, dan belum pernah ada yang berani mengambil daerah tersebut untuk proyek pemetaan mandiri.  Kami mengambil daerah Banjarnegara, yaitu bagian utara dari komplek geologi Lok Ulo. Perlu waktu dua bulan untuk menjelajah daerah seluas 9x9 km, untuk mengumpulkan data lapangan, termasuk pengambilan sampel untuk penelitian di laboratorium. Sudah tentu, penelitian ini memerlukan banyak biaya.


SELEKSI KERJA SEBELUM LULUS 

Dalam masa-masa genting seperti itu, ada berita baik dari Caltex Pacifik Indonesia (CPI), Riau, Pekanbaru, kampung halamanku. CPI mengumumkan lowongan kerja. Yang berminat boleh mendaftar untuk seleksi, termasuk yang akan lulus dalam waktu dekat. Dan hebatnya lagi mereka datang jemput bola, testing akan dilaksanakan di Ambarukmo Hotel, Yogyakarta.  Aku ikut mendaftar.

 

Lulus seleksi di Ambarukmo Hotel, dilanjutkan dengan testing wawancara di kantor CPI, Rumbai, Pekanbaru. Walaupun belum lulus, namun mereka menyatakan bahwa aku diterima, dan bisa mulai bekerja setelah lulus. Setelah beres dengan semua proses rekruitmen, pulang lagi ke Yogyakarta, untuk melanjutkan penyusunan tesis dan skripsi. 

 

Beberapa waktu berlalu, sementara CPI masih setia menunggu. Bahkan, biaya penyelesaian tugas akhir pun dibantu oleh CPI. Meski sangat terbantu, di lain sisi justru terasa ada beban dipundak agar segera lulus, dan diwisuda; namun beban itu mungkin lebih berat terasa dirasakan oleh dosen pembimbing thesis dan skripsi, yang harus mengarahkan dan mendorongku berkejaran dengan waktu.

 

SOSOK ISTIMEWA ITU

Setelah melewati masa – masa yang melelahkan bersama skripsi, hari yang paling berbahagia itu datang juga, upacara wisuda. Ibarat rangkaian peristiwa sambung menyambung, inilah sesungguhnya naskah drama kehidupan seorang anak manusia, sebabak ketika menjadi mahasiswa. Cerita lengkapnya pasti tidak akan tertuliskan. Terlampau banyak peristiwa, mustahil mengenang lagi semuanya yang telah berlalu. Penuh halaman ini dengan nama tokoh, teman-teman, dan sahabat, teristimewa si dia, siapapun dia.

 

Namun ada satu sosok yang aku yakin, pasti seperti ini kalau dituliskan narasinya: Seorang wanita tua, yang ketika Aku dilepas dari Pekanbaru, naik turun bus dan kapal, yang ketika Sabtu pagi, 21 Desember 1974, Aku merasa asing di Malioboro, sendirian numpak becak untuk pertama kali, mencari alamat kerabatnya yang hanya dia kenal namanya, yang Aku yakini ketika itu semua berlangsung,beliau sedang dan selalu mendoakanku.

 

Dan dihari istimewa itu, Sabtu, 25 April 1981, ketika nama-nama sudah mulai dipanggil satu persatu, di barisan keluarga pengantar, hadir pula wanita mulia itu, yang doanya telah dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.


Oleh: Ahmiyul Rauf


Ahmiyul Rauf, terlahir di kota kecil  Teluk Kuantan, Provinsi Riau 65 tahun lalu.  Terkenal karena kekayaan minyaknya, baginya adalah sumber motivasinya untuk mendalami geologi, dan masuk Teknik Geologi UGM pada tahun 1975.  Enam tahun setelahnya dia diwisuda dan mendapat gelar insinyur.

Segera setelah lulus dia berkerja di PT Caltex Pacific Indonesia sejak tahun 1981.  Setelah 24 tahun berkarir di PT CPI, Dia sempat berpindah tugas beberapa perusahaan minyak lain, antara lain Petronas, Kuala Lumpur.  Terakhir bertugas sebagai Direktur di suatu perusahaan minyak milik daerah. 

Dia masih aktif terlibat dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan, terutama sebagai narasumber terkait isu-isu perminyakan di Riau.


Posting Komentar

0 Komentar