[CERPEN] “Untukmu, yang Menyimpan Senyum Ibumu”



Oleh Murtini, S.TP 


Langit senja menurunkan cahaya keemasannya pelan-pelan, seakan takut mengganggu keheningan rumah kecil kami. Di dalamnya, suara sendok bersentuhan dengan piring terdengar ganjil, seperti bukan bagian dari rutinitas rumah ini. Sebab yang biasanya sibuk di dapur, yang biasa bersenandung pelan sambil mengaduk sup—telah pergi, meninggalkan aroma kasih yang tak akan pernah sama.


Aku berdiri di depan kompor, berusaha mengingat apa yang paling kamu sukai, Nak. Kata ibumu dulu, kamu suka sop ayam buatan tangannya. Maka inilah aku, mencoba menyalin resep dari ingatan, bukan dari buku. Tapi entah kenapa, tangan ini kaku. Garamnya terlalu banyak, wortelnya terlalu lembek. Tapi aku mencoba, sebab aku tahu kamu menungguku di meja makan, dengan mata kecil yang tak lagi bisa kubohongi.


“Enak, Yah…” katamu, walau sendokmu berhenti di tengah mangkuk. Aku mengangguk dan tersenyum. Kita sama-sama belajar hari ini, ya, Nak. Kamu belajar menerima, dan aku belajar menggantikan sepotong kecil dunia yang dulu dipenuhi ibumu.


Maaf, tanganku tak selembut tangan ibu yang selalu membenahi selimutmu hingga ke ujung kaki. Kadang, aku terlalu lelah atau terlalu sibuk, hingga lupa kamu butuh peluk sebelum tidur. Tapi setiap malam, aku akan mencoba mendekapmu erat, menyelipkan doa-doa panjang dalam bisikan, agar mimpimu tetap hangat seperti saat ibu masih ada.


Aku tak bisa sesigap ibu dalam menyiapkan baju seragammu, dalam menempel nama di tiap peralatan sekolahmu, dalam mencatat kebutuhan rumah sampai ke detil paling kecil. Aku, ayahmu, belum cukup luwes di antara daftar belanja dan jadwal les. Tapi aku akan belajar, meski pelan. Aku akan tetap bangun paling pagi, membuka hari dengan senyum meski hati terkadang merintih dalam sepi.


Nak, mungkin kamu akan tumbuh lebih cepat dari yang seharusnya. Mungkin kamu akan lebih sering mengikat tali sepatu sendiri, menyiapkan bekal sendiri, bahkan mungkin belajar menyembunyikan tangismu sendiri. Tapi percayalah, bukan karena aku tak peduli. Justru karena aku ingin kamu kuat, meski kehilangan telah menggores terlalu awal.


Ayah memang tidak bisa menggantikan Ibu. Tidak pernah, dan tidak akan pernah. Tapi ayah akan selalu ada—di setiap langkahmu, di setiap tangis dan tawamu, di setiap pertanyaan dan mimpi yang mulai tumbuh. Di akhir pekan, kita akan pergi bersama, ke taman, ke gunung, ke mana pun yang membuat tawa kecilmu kembali riang. Kita akan mengisi hari-hari baru ini, bukan untuk melupakan ibu, tapi agar ibu bisa melihat dari surga sana, bahwa kamu tetap tumbuh dengan cinta.


Ayah tahu, tidak semua hari akan mudah. Akan ada rindu yang menyergap tiba-tiba. Akan ada malam di mana kamu menangis diam-diam, mengingat suara ibu yang mendongeng di samping ranjangmu. Tapi saat itu tiba, ingatlah, kamu tak sendiri.


Ayah ada.


Bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pelengkap perjalanan panjangmu menuju masa depan.


Mari kita mulai hidup baru ini, Nak, dengan senyuman. Agar senyummu bisa memantul ke langit, menyapa ibu di sana. Sebab selama kamu tersenyum, ibu takkan pernah benar-benar pergi.


Dan selama kamu masih memanggilku Ayah, aku akan terus belajar menjadi rumah terhangatmu.

Posting Komentar

0 Komentar