catatan budaya akhir pekan
Oleh: Mabruri
Ketua Bidang Seni Budaya DPP PKS
Beberapa hari lalu saya nyaris menyemprot kopi dari hidung saat melihat video di TikTok. Bukan karena prank receh atau joget absurd, tapi karena maskot klub sepak bola PSG —klub asal Prancis itu— menari-nari menirukan gaya seorang anak kecil dari Riau. Lengkap dengan gerakan tangan yang penuh percaya diri.
Namanya Dika, bocah 9 tahun dari Kuantan Singingi, Riau. Profesi resminya? Togak Luan alias penari di ujung perahu Pacu Jalur.
Kalau kamu belum tahu, Pacu Jalur itu semacam balap perahu masyarakat Kuansing. Yang dipacu adalah perahu panjang dengan 40 sampai 60 orang mendayung sekencang-kencangnya. Dan di ujung perahu, berdirilah Dika, dengan tugas mulia: menari, bergaya, dan menyemangati. Mirip cheerleader, tapi versi maskulin dan lebih banyak fungsi mistisnya.
Lucunya, masyarakat luar negeri justru yang lebih heboh duluan. Video Dika viral di TikTok. Klub-klub bola luar negeri ikut-ikutan. Influencer luar menirukan gayanya. Bahkan istilah “aura farming” —istilah untuk gaya yang bisa memuncratkan aura keren— dipopulerkan oleh warganet asing untuk menggambarkan Dika. Sementara sebagian besar anak muda kita di Indonesia? Sibuk nonton drama Korea dan debat soal kelayakan video game terbaru.
Ini bukan fenomena baru sebenarnya. Budaya kita sudah lama dikagumi orang luar. Batik dipakai Nelson Mandela, rendang masuk daftar makanan terenak dunia, dan gamelan dipelajari di Harvard. Tapi yang bikin saya termenung kali ini: kenapa orang luar sering lebih dulu kagum pada budaya kita, sementara kita sendiri malah baru sadar setelah ada stempel “viral di internet”?
Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Tapi kadang kita seperti punya kebiasaan menunggu validasi luar negeri untuk bangga pada diri sendiri. Padahal Pacu Jalur sudah ada sejak abad ke-17. Sejak masa penjajahan, sejak zaman Ratu Wilhelmina masih ulang tahun dirayakan di sini. Tapi baru setelah Dika menari di TikTok dan ditiru PSG, kita ramai-ramai googling: “Apa itu Togak Luan?”
Tapi ini bukan hanya soal Dika. Ini tentang bagaimana budaya lama bisa punya hidup baru. TikTok, Instagram, dan media sosial lain kini jadi panggung global. Dulu, budaya disimpan di panggung kecil pentas seni sekolah. Sekarang? Satu gerakan tangan bisa dilihat jutaan orang di seluruh dunia. Tapi pertanyaannya: siapa yang sekarang mengatur panggung ini? Tetua adat? Pemerintah daerah? Atau algoritma?
Kalau ditanya, saya sih senang budaya kita viral. Tapi saya juga khawatir. Jangan sampai Dika cuma jadi konten sesaat. Jangan sampai Pacu Jalur kembali sepi begitu tren lewat. Budaya tak bisa hidup dari views dan likes saja. Ia butuh perhatian jangka panjang: dari sekolah, dari pemerintah, dari komunitas. Perlu ada kurikulum, pembinaan, pelestarian. Viral itu bonus, bukan tujuan.
Bayangkan kalau momen seperti ini bisa ditangkap jadi kebijakan. Pemerintah daerah mengembangkan festival budaya, sekolah mengajak murid ke lintasan Pacu Jalur, Dika jadi duta budaya anak-anak. Bukan mustahil, suatu saat kita bisa bilang dengan bangga: kita bukan hanya punya tradisi hebat, tapi juga tahu cara merawatnya.
Dan Dika? Dia bisa terus menari di ujung perahu—bukan hanya untuk menyemangati pendayung, tapi juga untuk mengingatkan kita semua: budaya bukan benda lama di museum. Ia hidup, berdenyut, menari... bahkan ketika dunia menontonnya dari layar ponsel.
050725
0 Komentar