Dadio Semar, Ojo Dadi Satrio



Oleh: Murtini, S.TP

Kabid Humas DPD PKS Kabupaten Madiun


Dalam langit pewayangan, Semar bukanlah tokoh utama yang gemerlap. Ia bukan satria flamboyan dengan keris pusaka, bukan pula raja dengan mahkota yang dipuja. Ia hanyalah punakawan. Tapi jangan salah—justru pada Semar, terkandung kebijaksanaan yang membuat para satria dan raja bertekuk lutut mencari petuah.


“Dadio Semar, ojo dadi Satrio!” Jadilah Semar—yang diam-diam dihormati. Jangan tergesa-gesa hendak menjadi satria—yang silau akan sorot lampu panggung dunia.


Di jalan dakwah, kita bukanlah pemburu tahta. Amanah bukan tempat berpijak untuk menepuk dada. Kita hadir bukan untuk diagungkan, tapi untuk melayani. Maka, sebagaimana Semar yang tidak butuh panggung namun menjadi pangkal dari segala pijar cahaya, demikian pula seharusnya para kader dakwah membawa diri.


Ilmu itu bukan untuk ditunjukkan, tapi untuk menuntun. Hikmah bukan untuk dipamerkan, tapi untuk menjadi jalan pulang dari sesatnya arah. Maka siapa pun yang mengemban ilmu, haruslah tunduk dalam ketawadhuan.


Satrio endi sing ora kenal Semar? Dalam cerita yang paling gegap gempita pun, Semar selalu hadir meski hanya di pinggir panggung. Tapi di sanalah letak kekuatannya. Ia tak perlu dikenal, tapi siapa pun mengenalnya. Ia tak perlu tampil, tapi siapa pun mencarinya.


Begitulah seharusnya kader dakwah: tidak sibuk memburu posisi, tapi hadir di tiap ruang yang membutuhkan solusi. Tidak menonjolkan diri dalam sorot media, tapi nyata dalam kerja dan cinta.


Kita hidup di zaman ketika manusia tergoda untuk menjadi viral ketimbang bermanfaat. Terpikat menjadi sorotan, alih-alih menjadi suluh dalam kegelapan. Maka pesan Semar hari ini lebih relevan dari sebelumnya: rendahkan hatimu, tinggikan baktimu.


Dakwah itu bukan panggung untuk selebrasi, tapi ladang pengabdian yang sunyi. Bukan tempat berbangga diri, tapi ruang untuk menyeka air mata umat. Maka ketika engkau diberi amanah di mana pun, jangan sibuk menagih pengakuan. Sibuklah melayani dengan cinta.


Karena dalam sejarah para nabi, yang tertinggi derajatnya bukanlah yang paling dielu-elukan. Tapi justru mereka yang paling tulus memikul beban, meski tanpa satu pun ucapan terima kasih.


Semar mengajarkan, bahwa menjadi pelayan itu jauh lebih mulia dari menjadi penguasa. Menjadi penggerak yang tak dikenal jauh lebih kokoh daripada menjadi pemimpin yang dilupa.


Dadio Semar.

Jangan silau jadi satria.

Karena dunia tak kekal. Tapi keberkahan hidup akan dikenang dalam keikhlasan yang diam-diam bekerja.


> Tulisan ini terinspirasi dari petuah bijak Gus Parno, tokoh Kabupaten Madiun, yang dalam satu kesempatan berkata penuh makna:

“Dadio Semar, ojo dadi Satrio.”

Kalimat pendek yang menjelma menjadi nasihat panjang bagi siapa pun yang sedang berjalan di jalan pengabdian.


#


Foto: Pagelaran Wayang Kulit di Kantor DPTP PKS, Jakarta Selatan, Ahad (27/8/2023) malam.

Posting Komentar

0 Komentar