Ketahanan Keluarga Ala Keluarga PKS



Oleh: Yosi Pratiwi 

Bidan di depanku membacakan hasil pemeriksaan perawat yang tercatat di buku kesehatan ibu dan anak milikku. Tensi dan kadar hemoglobinku rendah. Pantas saja rasanya aku lemas dan mudah pusing. 



"Kamu tahu enggak kenapa orang Yahudi itu pinter-pinter?" Tanya bidan tersebut. Tegas namun hangat. 



Beliau meletakan catatan kehamilanku di atas meja. Matanya yang dibingkai kacamata tak mampu kutembus maksudnya. 



"Mereka memperhatikan gizi anak sejak dalam kandungan. Mengkonsumsi makanan bergizi, vitamin, asam folat, minyak ikan." Suaranya kembali berlabuh. 



Aku makin mengkeret di hadapannya. Menurutku, kami sudah mengupayakan makanan bergizi selama hamil. Meski mual dan muntah sepanjang trimester awal, aku berusaha tetap mengonsumsi makanan. Entah kenapa kadar hemoglobinku tetap rendah. Tidak mencapai standar minimal trimester saat itu. 



"Muslim itu, jangan mau kalah Mbak. Anak-anak muslim harus kuat. Kelak mereka jadi ilmuan, jadi presiden, jadi dokter, jadi...." 



Aku lupa apa yang bidan sampaikan selanjutnya. Mungkin waktu itu aku keburu nangis. Baper sebab dianggap abai pada kehamilan. 



Namun aku mencatat betul nasehat bidan. Beliau bukan sekedar mengingatkanku sebagai ibunya bayi tapi juga sebagai ibu muslim. Muslim yang kuat. Muslim yang memikirkan generasi selanjutnya. 



Hal ini sepadan dengan isu ketahanan keluarga yang diimpikan negara kita. Indonesia bebas stunting. 



Stunting atau gagal tumbuh akibat kekurangan gizi di 1000 hari pertama kehidupan anak masih menjadi isu nasional sebab angka prelevansinya masih tinggi. 



Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, angka stunting Indonesia mencapai 24,4%. Meski turun sekitar 6% dibanding survei tahun 2018, angka ini masih jauh dari harapan.



Meski ciri khas anak stunting memiliki tinggi badan anak di bawah rata-rata, tidak semua anak pendek selalu stunting. Badan yang pendek tidak selalu stunting, namun stunting pasti pendek. 



Stunting juga ditandai dengan perkembangan otak yang tidak optimal. Hal ini berpengaruh pada kecerdasan anak dan masa tuanya kelak yang mudah dijangkiti penyakit macam diabetes, store dan gangguan jantung.



Itulah kenapa nasehat bidan yang kuterima sepuluh tahun silam masih kuingat. Sampai empat kehamilan selanjutnya, suami mengupayakan makanan bergizi seimbang di meja kami. Bukan hanya istri yang mengupayakan sehat, ketahanan keluarga juga membutuhkan peran aktif suami. 



Misalnya dengan; 


1.  Mendukung istri memberikan ASI ekskusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan menyusui bayi selama 2 tahun. 


2. Memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) rumahan yang seimbang gizinya. 


3. Imunisasi dan datang ke Posyandu setempat untuk memantau tumbuh kembang anak. 


Jangan khawatir disalahkan kader posyandu saat berat badan anak stagnan meski anda sudah memberikan alasan fase GTM anak. Tak perlu kecil hati saat dikomentari anak belum bisa berjalan asalkan masih sesuai milestone usianya. Tak perlu kesal juga saat dinasehati berulang soal rekomendasi alat kontrasepsi saat anda memiliki definisi keluarga berencana yang berbeda.


Sebab ketahanan keluarga tidak dinilai dari kecukupan memiliki dua anak. Itulah sebabnya, kami tahan-tahan saja memantau tumbuh kembang 5 anak di posyandu. 


Selamat Hari Ketahanan Keluarga Nasional! 


***

Posting Komentar

0 Komentar