Ledakan Covid Kedua: Kesamaan Psikologis India dan Indonesia



Sewaktu India mengalami gelombang ke-2 wabah Covid 19 sekitar April 2021; saya sebetulnya harap-harap cemas mendengarnya. Berharap kejadian itu tak akan terjadi di Indonesia, namun cemas karena secara kultural, banyak sekali kemiripan psikologis India dan Indonesia.

 

1. Kebersamaan.

Dunia timur lekat dengan kebersamaan. Jepang, Korea, India, Indonesia dan sejenisnya menjadikan tradisi keluarga sebagai bagian kehidupan sejak lahir hingga mati. Ada momen-momen ketika keluarga harus berkumpul. Kalau tidak, nggak lengkap rasanya. Contohnya momen Ramadan dan Idul Fitri.

Karenanya, sepanjang Ramadan dan Syawal, luarbiasa gelombang mudik dan kumpul-kumpul akibat keinginan untuk bersama dengan sanak saudara. Wajar di momen kebersamaan ini pemerintah memprediksi ledakan Covid dan memang terbukti demikian. Berikutnya muncul momen ‘kebersamaan’ yg lain seperti kluster hajatan, kluster resepsi, dan sebagainya.


2. Ewuh Pakewuh

Ewuh pakewuh ini  perasaan seperti merasa serba salah, dan takut kalau dianggap tak menghargai. Apakah anda termasuk yang mendapat undangan pernikahan, hajatan, reunion, atau acara undangan kantor? Di dunia timur, kalau diundang dan tidak hadir, apalagi kerabat dekat rasanya tabu sekali. Begitu pula, kalau misal dulu dia membantu kita saat hajatan, terlalu sekali kalau kita nggak membalasnya kali ini.

 

3. Tak Enak Hati

Dalam film Whiskey Tango Foxtrot yang bersetting di Afghanistan, ada percakapan menarik antara Kim Baker (jurnalis perempuan AS) dan Fahim (penerjemah muslim). Fahim menegur Kim dengan nasehat, kata-kata kiasan, sampai analogi kisah. Kim yang tidak mengerti maksud teguran Fahim berkata, “Kalau di Amerika, percakapan macam ini sudah sampai tempat 5 menit yang lalu.”

Waktu beberapa pekan lalu saya mudik ke Tegal, kami menemui banyak orang-orang nggak pakai masker di sepanjang perjalanan. Di rest area, di masjid, di pom bensin, di warung makan. Apakah kami menegur mereka? Yah…anda bisa tebak jawabannya. Kami tak enak hati, lebih memilih menyingkir dan terus memakai masker sebagai bentuk teladan dan tanggung jawab.

 

4. Menunggu

Masyarakat timur terbiasa menahan diri. Tidak terlalu blak-blakan, tidak cukup agresif. Akibatnya memang terbiasa menunggu. Tidak enak kalau mendahului, tidak enak kalau melaju lebih cepat, tidak enak kalau menegur lebih dahulu. Tidak enak kalau berinisiatif, nanti apa kata orang.

Kebiasaan ‘menunggu’ ini bisa menjadi titik gawat. Saya pernah naik sepeda motor di tengah jalan ramai, lalu macet mendadak. Semua orang memperhatikan. Dengan perjuangan berpeluh, saya menuntun motor itu ke tepi jalan (untung gak dimaki-maki ya, hehe). Orang-orang melihat saya kasihan tapi serba salah.

Berbeda dengan ketika saya di Hong Kong, bertemu orang bule. Waktu itu saya pakai jubah berbahan kaos panjang, tanpa sadar ujungnya masuk escalator. Saya yang panik hanya terpana, nggak tahu mau ngapain. Si bule itu langsung ke arah saya dan merobek bagian bawah jubah! Untung saya pakai celana panjang!

Kita terbiasa menunggu orang lain melakukan apa terlebih dahulu, baru berani bertindak. Akibatnya seringkali sesuatu berjalan lebih parah:  menunggu korban jatuh, menunggu jumlah pasien membludak, menunggu ada tetangga yang ikut vaksin, menunggu ada barengan yang mau lapor kalau kena covid, dan sebagainya.


5. Sangat Mendengar Orang Lain

Kalau anda pernah nonton sinetron India, pasti akan paham bagaimana pendapat seseorang bisa diintimidasi oleh banyak orang. Masyarakat timur sangat memperhatikan ‘apa kata orang’.  Kalau ada orang bilang ,”gak usah percaya Covid. Itu rekayasa.” Biasanya, walau sudah punya pendapat sendiri, akan bisa terpengaruh. Apalagi bila kata-kata itu berasal dari teman dekat atau kerabat dekat. “Jangan lapor ke RT RW. Isoman aja. Nanti sembuh sendiri. Malu kalau dilihat tetangga dijemput pakai ambulan.”

Orang-orang yang sibuk memberikan pendapat masing-masing itu, bisa mempengaruhi keyakinan kita terkait Covid.

 

Apa yang Harus Dilakukan?

Sultan Hamengkubuwono X di Yogya, mewacanakan lockdown total untuk wilayahnya kalau tidak bisa disiplin. Saya suka quote beliau, “Pemerintah juga sulit kalau masyarakat tidak mengapresiasi diri sendiri untuk disiplin.”

Covid di Indonesia dengan segala konsekuensinya sudah mulai dijalankan sejak Februari 2020. Belum ada tanda-tanda kehidupan kita ‘back to normal like it used to be’. Sama seperti konsep psikologi bahwa ada kondisi yang tak bisa sembuh total tapi sangat bisa dikendalikan bila seseorang patuh protokol dan memahami kebutuhan dirinya sendiri. Salah seorang klien saya yang didiagnosa schizoaffective bisa sangat produktif dalam hidupnya sekalipun ia seringkali dalam kondisi mengkhawatirkan. Kenapa? Ia sadar ia punya disorder, ia rajin minum obat, ia mendengarkan saran ahli dan ia memutuskan memiliki gaya hidup sehat.

Hayuk!

1. Love Ourselves. 

Cintai diri kita. Kita ini berharga. Otak, fisik, organ dalam kita sangat sangat berharga. Jadikan kelak ketika sudah lansia, tubuh ini masih fit untuk beribadah dan beraktivitas.

2. Kendali.

Di film Whiskey Tango Foxtrot, ada ucapan menarik Coughlin, seorang prajurit yang kehilangan sepasang kaki dalam perang. Ia ditanya bgm bisa tabah? “Dalam hidup ini, manusia hanya memegang kendali sedikit saja.” Pahamilah, bahwa Covid ini memang amat sangat luar biasa sehingga jangan menggampangkan bahwa kita mudah mengendalikannya

3. Pengalaman.

Percayalah, ada puluhan bahkan ribuan pengalaman yang didapat dalam kawah Candradimuka bernama pandemic corona ini. Kontemplasi, menahan diri, bekerja sama adalah beberapa pelajaran berharga di era ini.

4. Challenge Yourself.

Carilah bakat minat terpendam dan kuasailah hingga mahir. Kita selama ini terlalu lama sibuk dengan dunia luar sampai lupa suara-suara batin sendiri.

 

-------

Sinta Lc alias Lulusan Covid

Posting Komentar

0 Komentar