Jangan Panggil Aku Ustadz

Mulyono (Relawan Literasi Tangerang)


Seringkali saat di parkiran motor, hanya karena aku memakai peci putih tukang parkir selalu berkata dengan sopan "sebelah sini pak haji parkirnya" ...... Dalam hatikupun mengaminkan.

Pun ketika di warung saat belanja, pemilik warung selalu memberikan embel-embel "belanja apa pak Ustadz ?"

Dalam hati deg!

Ya Allah, karena aibku Engkau simpan sangat erat hingga sebutan itupun keluar dari lidah mereka yang tak tau yang sebenarnya.

Tak pantas rasanya sebutan itu tersematkan untuk pendosa sepertiku. Belum lagi ilmuku yang masih sangat minim dari Maqom itu, aku hanya tau mahadza ? Hadza qolamun di bahasa Arab, tak pantas dijuluki Ustadz.

Membuat bakso dan memasak nasi uduk itu kemampuanku, mau menulis "keahlianku" belum begitu meyakinkan sebagai ahli. Selebihnya hari-hariku, sore petang dan malam hari kuhabiskan mengajari siapapun yang belum bisa merangkai huruf Hijaiyah menjadi kalimat yang terbaca dalam ayat-ayat Al-Qur'an, semoga ini menjadi ilmu yang bermanfaat yang kelak menolongku di alam barzah.

Kegelisahanku membaca survey bahwa 50% Muslim di Indonesia belum bisa membaca Al-Qur'an, membuatku tergerak untuk turut serta sebisaku berkontribusi menurunkan angka prosentase itu, setidaknya menjadi 40% atau 30%, sehingga prosentase yang bisa membaca Al-Qur'an menjadi 60% atau 70%.

Karena aktifitas itulah peci selalu nempel di kepalaku, hingga terkadang lupa, selepas membersamai anak-anak belajar merangkai huruf Hijaiyah kemudian istri meminta belanja ke warung atau ke pasar peci itu masih nempel di kepalaku. Mungkin karena itulah tukang parkir dan ibu warung itu memanggilku pak haji atau Ustadz.

Tukang bakso ini hanya ingin ikut berkontribusi untuk setidaknya seorang Muslim bisa membaca Al-Qur'an meskipun belum bisa berbahasa Arab. Karena nanti Al-Qur'an akan menolong pembacanya di hari kiamat.

Selain itu peci inipun terinspirasi dari seseorang yang aku sendiri lupa siapa namanya, dan beliau sebagai seorang profesional atau pengusaha akupun lupa. Saat membaca ceritanya, dalam hatiku berkata, "iya juga ya.."

Sebut saja bapak "A", yang kemana-mana selalu memakai peci, baik di Indonesia maupun ke luar negri sekalipun, saat meeting dengan klien atau dengan siapapun beliau tak pernah melepas peci khas Indonesianya yang hitam. Seorang teman penasaran bertanya, "kenapa bapak tidak pernah melepas pecinya, meski acara resmi sekalipun ?"

Sambil tersenyum beliau menjawab, "Peci ini adalah rem buat saya agar mata saya nggak jelalatan, agar saya lebih berhati-jati dalam bertindak"

So, itulah salah satu alasan yang masuk akal untuk tetap menempelkan peci itu di kepalaku.

Jadi, Please panggil saja aku Kang (Kang Mul Jozz atau KMJ) saja, jangan panggil aku Ustadz.


Syawal 1442 H

KMJ
Relawan Literasi Kab. Tangerang

Posting Komentar

0 Komentar