Wakaf Sebagai Instrumen Keuangan Fiskal di Indonesia

 


Wakaf didefinisikan sebagai ibadah bersifat sosial melalui pengeluaran harta yang disalurkan untuk kebutuhan kesejahteraan social masyarakat. Waqaf memiliki manfaat jangka panjang sebagai perwujudan ibadah harta. Waqaf juga menjadi elemen penting yang mendukung pembangunan fasilitas umum dan merupakan filantrofi Islam dalam bentuk Endowment Fund. 


Tidak hanya pada dimensi ibadah saja, wakaf mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat kuat. Karena harta wakaf dapat digunakan untuk menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk pembangunan fasilitas umum, pendidikan, kesehatan serta mendorong perekonomian masyarakat miskin, peningkatan kesejahteraan serta pemerataan pembangunan.


Menurut Mukhlisin Muzarie (2011) dimasa awal islam, wakaf menunjukkan kontribusi yang besar dalam membantu masyarakat khususnya umat muslim pada masa itu. Hasil wakaf di Khaibar mencapai 100 kapling digunakan untuk fakir, miskin, kerabat, hamba sahaya, para relawan, musafir, para tamu, dan honor pengelola. Sedangkan hasil wakaf yang berasal dari Rasulullah SAW sebanyak 38 kapling, 18 kapling digunakan untuk kesejahteraan para relawan Fath al-Makkah dan 18 kapling lagi untuk kepentingan umum. Karena itu, wakaf menjadi salah satu instrumen ekonomi yang berpotensi memberi dampak terhadap kehidupan sosial, pemerataan pembangunan, serta pertumbuhan ekonomi. 


Hadirnya waqaf terbukti telah memberikan dampak positif di berbagai bidang khususnya ekonomi dan sosial di Indonesia. Banyaknya rumah sakit, masjid, pondok pesantren, panti asuhan hingga lembaga pendidikan yang berjalan dengan dana wakaf membuktikan peran wakaf ditengah-tengah masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk pemeluk agama Islam terbanyak di dunia, dengan 87% dari total penduduk atau sekitar 230 juta jiwa menjadikan Indonesia sebagai negara dengan potensi dana wakaf yang sangat besar. Posisi dana wakaf semakin diperkuat dengan diterbitkannya undang-undang wakaf nomor 41 pada tahun 2004 dan diperkuat dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2006 yang mengatur pelaksanaan undang-undang nomor 41 tahun 2004 tersebut. Hal ini menjadi tonggak kuat untuk perkembangan dana wakaf di Indonesia. Peran wakaf akan semakin kuat dengan jangkauan yang semakin luas melalui dana wakaf yang tidak dibatasi pada benda tidak bergerak, namun juga pada benda bergerak seperti emas dan logam mulia lainnya, uang, surat berharga dan lain-lain. 


Potensi tersebut memiliki beberapa kendala salah satunya belum maksimalnya pemanfaatan dana wakaf dan tanah wakaf. Laporan Badan Wakaf Indonesia (BWI) di tahun 2019, Indonesia memiliki potensi penyerapan dana wakaf yang sangat tinggi mencapai 2000 triliun dengan luas tanah wakaf 420.000 hektar. Pada tahun yang sama, Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama mencatat luas tanah wakaf Indonesia mencapai 50.114 hektar yang tersebar di berbagai lokasi dan hanya 61,85% yang telah memiliki sertifikat. Lebih lanjut Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama melaporkan bahwa 73% aset wakaf dimanfaatkan untuk tempat ibadah, sisanya untuk lembaga pendidikan dan pemakaman umum. Hal ini membuktikan bahwa pemanfaatan dana waqaf di Indonesia belum produktif.


Di Negara lain sistem pengelolaan wakafnya sudah sangat maju. Misalnya Negara Kuwait memiliki lembaga Public Waqf Foundation (al- amânah al-‘âmah li al-awqaf) menempatkan perwakafan sebagai instrumen ekonomi dan jaminan sosial. Penerima wakaf dari masyarakat dilakukan dengan cara yang mudah, di antaranya melalui mobile banking, Short Message Service (SMS) dan kios wakaf. Kemudian dikelola secara profesional melalui beberapa sektor pengembangan ekonomi. Di Malaysia mempunyai lembaga khusus untuk mengelola wakaf yang setingkat dengan kementerian sehingga pengelolaan wakafnya menjadi lebih optimal. Bentuk pengembangan harta wakaf dilakukan melalui instrumen sukuk dan pasar modal Malaysia. Keuntungan dari investasi ini kemudian didistribusikan untuk rakyat miskin. 


Pengelolaan wakaf juga terjadi di Negara Singapura. Dengan penduduk muslim minoritas (±453.000 orang) berhasil membangun harta wakaf secara inovatif. Melalui WARESS Investment Pte Ltd telah berhasil mengurus dan membangun harta wakaf secara profesional. Di antaranya, membangun apartement 12 tingkat bernilai sekitar U$ 62 juta. WARESS juga berhasil membangun proyek perumahan mewah yang diberi nama The Chancery Residence (Amin Muhtar, 2015). Adapun Mesir pernah menggunakan dana wakaf untuk menutupi defisit APBN. Sementara itu,Yordania dan Turki menggunakan dana wakaf untuk membangun berbagai fasilitas umum dan sosial sehingga bisa meringankan belanja negara. Bangladesh melakukan upaya untuk meningkatkan peran wakaf sebagai pengganti peran pajak dengan cara menerbitkan Sertifikat Wakaf Uang (SWU) yang dapat dibeli masyarakat umum untuk pendanaan proyek-proyek sosial (Kemenkeu, 2019).


Namun pengetahuan masyarakat tentang wakaf masih sangat minim hanya terfokus pada harta yang tidak bergerak yaitu tanah dan bangunan hal ini disebabkan oleh rendahnya ilmu yang dimililki serta kesadaran masyarakat untuk belajar mendalami tentang wakaf produktif yang masih rendah. Survei literasi wakaf pada tahun 2020 yang dilaksanakan oleh Kementrian Agama Republik Indonesia dan Badan Wakaf Indonesia menunjukkan Nilai Indeks Literasi Wakaf (ILW) secara Nasional secara keseluruhan mendapatkan skor 50,48% masuk dalam kategori rendah, terdiri dari Nilai Literasi Pemahaman Wakaf Dasar sebesar 57,67% dan Nilai Literasi Pemahaman Wakaf Lanjutan sebesar 37,97%. Selain itu rendahnya kesadan berwakaf terlihat dari persentase responden yang sudah berwakaf hanya sebesar 20% dan sisanya 80% belum pernah berwakaf.


Untuk itu dapat disimpulakan masalah pengelolaan wakaf di Indonesia menunjukkan masih kurangnya sosialisasi yang diberikan oleh lembaga wakaf, tokoh agama dan pemerintah kepada masyarakat sehingga menyebabkan masih rendahnya pemahaman dan minimnya kesadaran untuk berwakaf. Selain itu tata kelola kelembagaan wakaf yang masih belum profesional dapat dilihat dari hasil Kajian Kementrian Keuangan RI tentang kajian strategis pengembangan wakaf uang menunjukkan rendahnya tata kelola kelembagaan wakaf berdasarkan 7 indikator yaitu perencanaan, pengumpulan dana, feasibility produk, distribusi, pelaporan, audit,dan monitoring dan evaluasi program dengan indeks sebesar 0,309.


Beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah agar penerimaan dan pengelolaan wakaf menjadi optimal yaitu meningkatkan sosialisasi tentang wakaf kepada masyarakat melalui konten digital yang lebih menarik dengan memanfaatkan seluruh platform media sosial dan internet. Selain itu melakukan kerja sama dengan sekolah dan perguruan tinggi untuk melakukan seminar tentang wakaf yang lebih masif dikalangan terdidik. Serta melibatkan para da’i dan tokoh agama dalam mendorong kesadaran masyarakat untuk berwakaf. 


Adapun upaya yang perlu dilakukan agar tata kelola lembaga wakaf menjadi lebih profesional dan akuntabel yaitu memberikan pembekalan kepada pengelola wakaf tentang pengelolaan organiasi wakaf yang profesional, pengelolaan keuangan yang akuntabel, peningkatan pemahaman tentang investasi dan pengendalian resiko investasi, menusun data base wakif potensial dan mauquf alaih agar penyalurah wakaf tepat sasaran sehingga menyebabkan trust masyarakat meningkat. Serta melakukan diversifikasi produk wakaf, pengembangan aplikasi penghimpun dan penyalur wakaf.


H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, Lc. MM

Anggota Fraksi PKS DPRD Provinsi Riau 


Posting Komentar

0 Komentar