Kupas Tuntas: Mengapa PKS Menolak RUU P-KS?



Pasti mikirnya mengapa harus ditolak? 

Kok jadi kaya jeruk makan jeruk? 

Atau jeruk menolak jeruk?

 

Eiiits, jangan buru-buru ambil kesimpulan, karena ternyata PKS berbeda dengan RUU P-KS, yang merupakan singkatan dari Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.

 

Bagus dong kalau dihapuskan, agar tidak terjadi kekerasan seksual kan? 

Ups, darimana tahunya kalau yang dihapuskan kekerasan seksual? 

Salah tapsiirr! Baca dulu, dong! yuk pahami!

 

Terus, apa sebenarnya yang mau dihapus dalam RUU P-KS?

 

Menurut Ketua Aliansi Cinta Keluarga Indonesia, Rita Hendrawaty Soebagio, M.Si, dalam seminar Memahami Sexual Consent dan Kekerasan Seksual bersama beberapa Ormas Islam serta politisi Indonesia, beliau memaparkan banyak hal terkait dinamika RUU P-KS, sejak tahun 2016 yang memang sudah memuat tentang Konsensual Seks.

 

Darimana lahirnya Konsensual Seks?

 

Paradigma Konsensual Seks ini tidak bisa terlepas dari konsep pendidikan seksual yang ditawarkan di Barat dan sudah berusia sekitar 100 tahunan.

 

Berbicara tentang Konsensual Seks, Indonesia berada dalam dinamika pertarungan wacana yang masih baik-baik saja. Di Barat, Undang-undang tentang seks konsensual ini telah diimplementasikan sekitar 90 tahun. Walau pun pada kenyataannya, sampai saat ini tetap mendapatkan penolakan dari masyarakatnya, dalam bentuk demonstrasi dan protes di berbagai universitas.

 

Namun, di Indonesia justru Konsensual Seks ini baru dimunculkan. Walaupun implementasinya sudah hampir 50 tahun, tapi seolah tidak terasa keberadaannya. Di Indonesia mereka muncul dengan berbagai nama, dalam bentuk LSM-LSM yang berpusat di barat, tapi sangat mempengaruhi kebijakan publik.

 

Apa itu Konsensual Seks?

 

Konsensual Seks adalah persetujuan untuk melakukan kegiatan hubungan seksual dengan seseorang. Konsensual Seks adalah setuju untuk melakukan hubungan seksual atas dasar mau atau tidak. Dengan kata lain, perilaku tanpa konsensual sama dengan pemerkosaan. Jadi di sini kita menemukan kekerasan seksual dengan paradigma baru yaitu Konsensual Seks.

 
Bagaimana bentuknya?

 

Konsensual Seks sudah ada dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS), dan memiliki makna hampir sama yaitu persetujuan untuk melakukan hubungan seksual serta setiap orang mempunyai hak untuk setuju atau tidak setuju.

 

Dalam RUU P-KS disebutkan pemaksaan pelacuran adalah kekerasan seksual, tetapi jika tidak ada pemaksaan pelacuran maka masuk kategori konsensual seks. Aborsi selama tidak dipaksa maka termasuk konsensual seks. Na'udzu billaahi min dzalik, jadi ternyata konsensual seks menjadi ruh dari kekerasan seksual itu sendiri.

 

Persetujuan untuk melakukan hubungan seksual adalah konsensual seks. Jika RUU ini disetujui menjadi UU, maka bisa menjadi awal merebaknya perzinahan, dan mengancam keutuhan lembaga agama yang sakral yaitu pernikahan. Bahkan kontrol terhadap konsensual seks pun, bisa disebut kekerasan seksual.

 

Lain halnya jika kemudian yang muncul adalah RUU Penghapusan Kejahatan Seksual, maka siapa pun kita dan dari mana pun asal kita, pasti akan menerimanya. Namun, saat ini terjadi pengaburan makna antara kejahatan seksual dengan kekerasan seksual. Pemerkosaan adalah kejahatan seksual, mengontrol agar tidak terjadi pemerkosaan adalah kekerasan seksual.

 

Apa dampak Konsensual Seks?

 

Mari kita terang-terangan membuka kesimpulan isi Konsensual Seks. Yang pertama mengajarkan dan mengenalkan anak-anak tentang masturbasi, orientasi seksual (heteroseksual, homoseksual). Yang kedua, mempromosikan aborsi yang aman dengan menumbuh suburkan serta mempromosikan klinik-klinik yang aman untuk aborsi.

 

Menurut mereka yang menyetujui adanya Konsensual Seks, tujuan mengenalkan konsensual seks ini adalah mencegah pernikahan muda/dini, sehingga diharapkan setiap pribadi telah dewasa untuk menentukan pilihannya terhadap seks. Namun, pada kenyataannya malah justru menyetujui hubungan intim di luar nikah --asal suka sama suka-- atau berhubungan dengan sesama jenis agar terhindar dari kehamilan.

 

Tentu hal ini sangat berbahaya dan tidak sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan nilai-nilai agama serta kepribadian bangsa Indonesia.

 

Di Barat, sebenarnya konsensual seks pun ditolak di kalangan agamawan dan keluarga, terutama dari pihak orangtua, karena mengancam nilai-nilai budaya dan agama. Terjadi banyak demonstrasi menolak hal ini, bahkan sempat terjadi keributan di sebuah kampus.

 

Jika di barat yang memiliki falsafah kebebasan saja, sebagian masyarakatnya menolak. Apalagi dengan Indonesia yang mempunyai falsafah negara yang kuat, yaitu Pancasila dan UUD 1945? Ideologi negara yang berbeda dan tidak ada yang menyamai di negara lain.

 

Rita Hendrawaty Soebagio tegas memgatakan, AILA sebagai aliansi cinta keluarga yang sudah sejak awal melakukan kajian panjang tentang hal ini, menyatakan sikap menolak dan tidak akan memakai konsep kekerasan seksual tetapi menyebut perilaku pemerkosaan terhadap perempuan, sebagai kejahatan seksual.

 

Kita kembali kepada pembahasan RUU P-KS.

 

RUU P-KS kembali digaungkan untuk segera dibahas. Rencananya akan dinaikkan kembali di prolegnas tahun 2021 ini.

 

Apa sebetulnya yang melandasi PKS justru berada di pihak yang jatuh bangun memperjuangkan agar RUU P-KS ini ditolak untuk dibahas?

 

Hari sabtu, tanggal 16 Januari 2021, kami melakukan wawancara lewat aplikasi whatsapp kepada Anggota DPRD Kalimantan Timur sekaligus ketua BPKK (Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga) DPW PKS Kalimantan Timur,  Fitri Maisaroh, ST.

 

PKS sejak awal telah menolak RUU P-KS dengan meninjau berbagai pertimbangan serta berkomunikasi dengan pakar profesional terkait naskah akademik RUU P-KS ini (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual), yang hampir keseluruhan isi pasal-pasalnya mengandung multi tafsir dan berpotensi adanya penyimpangan.

 

Berikut hasil wawancara kami:

 

Kenapa Harus Tolak RUU P-KS?

 

Dalam rancangannya pada BAB I Pasal 1. Yaitu yang dimaksud dengan Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

 

Definisi diatas bersifat multi tafsir yang berbahaya pada poin-poin berikut :

 

“Perbuatan terhadap tubuh seseorang”

Tidak semua perbuatan terhadap tubuh adalah perbuatan yang buruk.

Contoh : Khitan, khitan tidak bisa dikategorikan sebagai kekerasan seksual.

 

"Perbuatan terhadap hasrat seksual seseorang"

Potensi bahaya yang bisa ditimbulkan yaitu tumbuh suburnya perilaku seks bebas dan penyimpangan seks seperti LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender), termasuk sodomi, pedofilia, dll. Jiika RUU P-KS ini disahkan, maka semua perbuatan tersebut dapat tumbuh subur bahkan terlindungi karena memiliki payung hukum.

 

“Perbuatan secara paksa bertentangan dengan kehendak seseorang”

Potensi bahaya yang bisa ditimbulkan:

Merebaknya perselingkuhan atau hubungan gelap karena dilakukan tanpa paksaan atau suka sama suka.

Menumbuh suburkan praktik aborsi karena kebutuhan pelaku.

Menumbuh suburkan praktik prostitusi (pelacuran)dengan dasar kesepakatan, tanpa paksaan.

 

“Perbuatan yang menyebabkan tidak ada persetujuan dalam keadaan bebas”

 Potensi bahaya yang ditimbulkan:

Seseorang yang melarang seks bebas/pergaulan bebas bisa terancam kasus pidana

 

“Perbuatan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan”

Potensi bahaya yang bisa ditimbulkan:

Bisa memicu perceraian dalam rumah tangga jika salah dalam menafsirkan maknanya.

 

Jadi kesimpulannya pasal-pasal dalam RUU P-KS dapat mengandung makna:

 

Melarang LGBT berarti melakukan kekerasan seksual.

 

Menasehati anak untuk bertingkah laku sesuai norma berarti melakukan kekerasan seksual.

 

Menyuruh anak memakai busana yang bisa mencegah kejahatan seksual, misal memakai busana muslimah berarti melakukan kekerasan seksual.

 

Menimbulkan potensi perceraian suami istri.

 

Masih banyak lagi hal-hal yang bermasalah pada pasal-pasal lainnya dan membutuhkan waktu yang lebih lama jika ingin dirinci satu per satu.

 

Karena lebih banyak mudhorotnya, maka PKS sepakat menolak RUU ini.

 

Demikian hasil wawancara kami dengan Ibu Fitri. Sudah sepatutnya kita berikan dukungan moral kepada PKS untuk menolak RUU P-KS yang justru membahayakan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, terutama demi keberlangsungan serta menjaga moral generasi muda Indonesia agar mencerminkan nilai-nilai luhur pancasila terutama sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa.

 

Semoga Allah senantiasa meridhoi perjuangan PKS dalam menjaga ummat dan negeri ini dari kehancuran moral yang dapat mengundang murka Allah.

 

PKS maju terus dan semakin jaya

PKS tegas menolak RUU P-KS

 

#

Santi Reli Kaltim


Posting Komentar

0 Komentar