Antara Aisha Wedding dan UU Pemilu



Hidup di negeri yang dilewati zamrud khatulistiwa ternyata tak hanya menampakkan keindahan alam menghijau yang sejuk dipandang mata, tapi juga menyisakan kegaduhan akibat pulotan teknologi, orang-orang yang mengais rezeki dengan terus menciptakan kebisingan di kanal-kanal media sosial.

Media sosial yang kini menguasai relung-relung kehidupan manusia dimanfaatkan oleh orang-orang ini untuk menciptakan konten dengan misi menyebarkan disinformasi dengan tujuan membangun keresahan, menarik orang untuk komentar publik dan diliput media mainstream.

Kemarin, publik sempat dihebohkan dengan narasi, promosi pernikahan usia dini yang dilakukan penyedia jasa pernikahan bernama 'Aisha Wedding'.

Kontan saja, tak butuh butuh berapa lama, konten Aisha Wedding yang sarat provokatif ini langsung menjadi perbincangan publik. Banyak pihak yang mengecam karena mempromosikan nikah usia dini. Sampai-sampai Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga turut melaporkan hal tersebut ke Bareskrim Polri dan Polda Metro Jaya.

Modus kegaduhan ini mirip dengan viralnya "Kue klepon tidak Islami". Sama-sama disebar oleh akun dan kanal website yang tidak jelas, alamatnya pun tidak jelas keberadaannya.

Soal ketidakjelasan Aisha Wedding ini pun diungkap Ismail Fahmi, penemu Drone Emprit, alumni ITB ini menyimpulkan, bawah Aisha Weddings sebagai wedding organization resmi tidak jelas keberadaannya, baik secara online maupun offline. Pun dengan laman Aisha Wedding yang kontennya baru berusia sehari atau diisi pada 9 Februari 2021, dan sebelumnya terakhir diperbarui pada 2018, menimbulkan kecurigaan, begitu kutip www.republika.co.id, Kamis (11/2).

Yang jelas, Islam kembali diseret-seret dalam kasus ini, syariat Islam yang suci kembali kena getahnya dari ulah orang-orang ini. Sebagian warnaget menduga kasus Aisha Wedding mirip dengan viral klepon tidak islami, yang tujuannya untuk memojokkan Islam dan Ulama.

Saya sepakat dengan Pak Puthut EA, Budayawan dan penulis buku, bahwa pernikahan dini ini bukan narasi agama, karena baik menurut UU Pernikahan maupun pendapat ulama-ulama banyak yang melarangnya karena mudharat, bahkan ada yang mengharamkan pernikahan dini.

"Setahu saya sih, pernikahan dini bukan narasi agama. Narasi kemiskinan struktural. Baik rural maupun urban," cuitan akun @Puthutea, Kamis (11/2/2021).

Kembali ke soal kebisingan, apakah viralnya 'Aisha Wedding' sebagaimana hebohnya 'Kue klepon tidak Islami' hanya semacam pengalihan isu pihak-pihak tertentu yang sedang heboh?

Lantas publik malah terusik dan lebih memilih membahas 'Aisha Wedding' yang dinilai seksi dan tiba-tiba muncul ditengah revisi UU Pemilu yang sedang dibahas di DPR RI.

Daripada membahas 'Aisyah Wedding' yang nggak jelas mending bahas UU Pemilu yang mungkin akan berdampak dalam kehidupan kita.

Kita masih ingat, pemilu 2019 kemarin menyisakan kegetiran karena setidaknya 894 petugas KPPS meninggal dunia dan 5.175 petugas mengalami sakit, begitu kata Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman.

Belum lagi polarisasi masyarakat yang tercipta akibat dari dampak pemilu legislatif dan pilpres yang dilaksanakan serentak kemarin.

Dari sebagian alasan inilah, saya memahami mengapa Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI pusat ngotot dan keras mendesak agar revisi Undang-Undang atau Revisi UU Pemilu harus terus jalan untuk memperbaiki kualitas demokrasi melalui penyelenggaraan pemilu.

Soal polarisasi masyarakat ini memang harus dicegah dan disudahi dengan masyarakatkan pencalonan presiden lebih ringan sehingga lebih banyak alternatif capres yang muncul. Memang sih, kalau calon presidennya hanya dua pilihan rawan pembelahan di masyarakat.

Tapi ya itu tadi, mayoritas parpol yang duduk di DPR malah tidak menganggap urgen revisi UU Pemilu ini untuk segera dibahas, yang bersuara lantang malah partai oposisi PKS dengan ditemani Partai Demokrat. Sementara, partai lainnya membeo ke pemerintah.

Padahal, pelaksanaan pemilu 2019 kemarin saja sudah begitu berat dan melelahkan, apalagi jika ditambah dengan pilkada yang dilakukan serentak 2024? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana lelahnya para saksi TPS dan petugas KPPS di lapangan. Saya menyaksikan sendiri ada saksi PKS yang bertugas di TPS dari pagi hingga pagi lagi bahkan ada yang baru selesai menjelang siang.

Jadi, apa ya kira-kira dampak bagi petugas KPPS, saksi TPS, dan polarisasi masyarakat nanti jika hajat demokrasi pileg, pilpres, dan pilkada tetap dilaksanakan serentak pada 2024 ya?

Berkaca dari pemilu 2019, mohon seluruh anggota dewan yang terhormat untuk mencegah potensi dampak buruk dengan segera merevisi UU Pemilu. Atau memang itu keinginan partai pro pemerintah?

#

Cipto
Relawan Literasi

Posting Komentar

0 Komentar