Untuk yang Sering Galau dan Merasa Hidupnya Penuh Kesulitan

Foto: PKSFoto

Kita merasa hidup ini begitu sulit? Diliputi kesulitan? Banyak sulitnya deh. Sulit dengan diri sendiri. Tidak keren, tidak pinter, tidak berprestasi, tidak berkarir, tidak kaya. Lalu ditambah kesulitan dari orang lain. Masalah anak yang kian hari kian bertambah. Anak kurang cerdas, tidak punya prestasi yang dibanggakan, susah diatur, banyak permintaan, keras kepala, kebutuhannya semakin banyak. Eh ada lagi kesulitan tentang pasangan hidup. Yang tak punya pasangan hidup merasa sulitnya hidup sendiri. Galau melihat betapa bahagianya mereka yang memiliki teman gandengan. Yang pasangan hidupnya masih ada pun merasa kesulitan dengan keberadaannya. Tidak cocok, beda pendapat, mau menang sendiri, cuek, tidak romantis, tidak menawan, tidak kaya. Lalu menyaksikan betapa bahagianya orang lain yang pasangan hidupnya begitu ideal dan bertanya, kenapa aku tak seberuntung dia? Dan ketika tak kunjung tuntas kesulitan yang sudah tersaji, kesulitan lain disajikan dengan macam rupanya.

Kesulitan demi kesulitan menampakkan diri tanpa pernah bertanya atau menunggu apakah kesulitan yang sebelumnya sudah selesai atau belum. Kehadirannya tidak menunggu antrian. Bahkan penyelesaiannya pun kadang tanpa antrian. Sehingga tanya demi tanya pun beruntai.

“Kenapa aku dihukum seperti ini?”

“Dosa apa aku sampai begitu sulitnya hidupku?”

“Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, inikah bentuk kasih sayangMu?”

Seorang murid pernah curhat kepada gurunya,"Rasanya hidup saya dipenuhi kesulitan. Belum selesai satu kesulitan datang lagi yang lain. Sampai kadang terasa sesak dada ini. Bingung mau bertanya ke mana. Karena yang mau diajak curhat juga bagian dari kesulitan. Bahkan bertanya ke Allah pun rasanya tak kunjung berjawab. Kapanlah pertolonganNya datang? Bersyukur masih bisa bertahan dengan kesulitan yang nempeeel terus kayak perangko. Kadang terasa pengen sudah aja hidup, daripada cuma ngurusin kesulitan, tapi takut sendiri. Punya apa saya menghadap Allah? Masak punya kecewa.

Sang Guru tersenyum lebar dan berkata..

"Sejujurnya saya gak mau juga dapat kesulitan hidup. Tapi saya jadi iri sama kamu. Kamu itu sudah kayak Para Nabi aja. Kesulitan demi kesulitan datang silih berganti. Lalu kamu bertanya berulangkali kepada Allah, mana pertolonganNya, kapan datangnya. Walaupun lelah bertanya, tapi kamu punya kemampuan bertanya dan bertanya, dengan segala usaha dan doamu.”

“Walaupun kadang merasa putus asa, tapi kamu masih punya sisa kekuatan memilih untuk melangkah terus. Kamu menyadari gak, kalau semua kemampuan dan kekuatanmu diantara lelah dan keputusasaanmu itu adalah kasih sayang Allah? Dan kamu menyadari gak kalau di tengah rumitnya pencarian jalan keluar, kamu masih dibekali kemampuan untuk tetap melangkah? Para Nabi dan orang-orang yang dimuliakan Allah menjalani kehidupan itu. Dengan segala dinamikanya."

Sang Murid tercenung.

"Ah mana mungkin. Saya diberondong kesulitan karena dosa dan kesalahan. Sementara para nabi dan orang-orang shalih itu mereka diuji karena kemuliaan mereka."

Sang Guru kembali bertanya.

"Apa yang kamu lakukan selama menjalani kesulitan?"

Sang Murid tertunduk sejenak.

"Ya berusaha cari jalan keluar dan berdoa. Tapi saya rasanya sampai malu berdoa. Apa doa saya salah? Apa Allah marah dengan doa saya? Tapi ya gimana lagi, cuma doa yang saya bisa akhirnya saya paksa juga tetap berdoa,”  Ia menutup jawaban dengan nada mengambang.

Sang Guru bertanya lagi.

"Kamu maksiat gak? Berbuat curang? Kamu berkhianat gak kepada Allah? Menjauh dari Allah gak?"

"Waduh, saya gak berani. Sudah susah hidup ini, jangan sampai susah juga nantı di akhirat. Walaupun kadang kesal dengan ketentuan Allah, tapi rasanya saya gak mungkin menjauh dariNya. Bisa susah dunia akhirat saya. Na'udzubillah.. Takut..."

"Masya Allah..." sang guru berucap. "Di antara ciri apakah kita sedang diuji atau dihukum Allah, ketika kita menyikapi kesulitan dengan semakin mendekat ke Allah atau malah semakin menjauh, tak peduli padaNya dan memilih mengemis pertolongan kepada makhluk."

Lalu Sang Murid

"Subhanallah...." ucap sang murid lirih. Tampaknya ada yang melingkupi pikiran dan perasaannya. Tapi ia memilih diam beberapa saat.

 

"Tapi saya tetap butuh jawaban dan jalan keluar," ucapnya kemudian.

Sang guru tersenyum dan menatap sang murid penuh cinta.

"Saya sendiri tak tahu apakah juga akan kuat bila didera kesulitan."

"Tapi kita sudah dikasih kemudahan untuk tinggal mengambil contoh. Mau ambil contoh Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ayub, Nabi Ya'kub, Nabi Yunus, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam. Copy paste aja cara beliau semua menjalani kesulitan. Sungguh bersyukur masih dikasih ilham untuk meniru mereka," Sang guru menutup kalimatnya dengan nada menggantung.

Suasana hening. Hanya bisik angin kadang menyeruak. Sang murid pun bertanya memecah kebisuan.

"Apakah masih ada nasihat untuk saya lagi?"

Ternyata sang guru yang sedang menunduk, tengah berusaha mengelola suaranya agar tak terlihat menangis. Tangannya sibuk mengusir butir demi butir air mata yang mulai menitik.

"Maafkan! Saya sebenarnya merasa takut menyampaikan semua yang tadi terucap. Saya takut setelah ini akan diuji dengan nasihat tadi. Tapi... Yah cukup... Semoga kita termasuk para shalihin yang mampu menjalani kesulitan dengan sabar ya."  Sang guru menutup kalimatnya.

Tak mudah memaknai kesulitan dengan baik sangka kepada Sang Pemberi kesulitan itu. Hanya pemahaman bahwa tak akan mampu kesulitan itu menghampiri kita tanpa izinNya yang membuat kita kuat membabat habis kesulitan demi kesulitan. Juga sebenarnya Ia tengah bersama kita ketika menjalaninya. Sebuah makna indah dari 'fa inni qariib' (AlBaqarah : 185)

 

Wulan Saroso
Relawan Literasi PKS Depok

 

 

Posting Komentar

0 Komentar