Saya NU, Saya PKS, Saya Islam



Saya Pancasila, Saya Indonesia adalah jargon yang mewakili perasaan seluruh bangsa Indonesia yang cinta tanah airnya, cinta NKRI. Jargon ini memang seharusnya menjadi sebuah jiwa, rasa dan sikap setiap warga negara, tak terkecuali, tanpa memandang suku, ras dan agama yang dianut. Saya Pancasila, Saya Indonesia tak dapat dipisahkan dengan nilai nasionalisme dan patriotisme. Ini merupakan warisan founding father yang harus kita rawat dan jaga.

Semakna dengan jargon itu, kita, sebagai umat Islam tentunya sah-sah saja bila memiliki jargon serupa, yang mewakili entitas dan spirit internal umat Islam. Maka, di hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) ini, tepat usianya menginjak 95 tahun, penulis sebagai warga Nahdliyin, yang dari lahir dan dibesarkan serta berasal dari keturunan Nahdliyin, kemudian kini memilih menjadi kader salah satu parpol yang ada di Republik Indonesia, ingin menyampaikan hal yang sama. Saya NU, Saya PKS, Saya Muslim. Atau Saya NU, Saya PKS, Saya Islam.

Tak ada yang aneh dengan kalimat ini. Sebagaimana juga warga NU yang tersebar pilihan politiknya ke semua parpol yang ada dalam setiap pemilu. Bahkan, survey terakhir tahun 2019 yang dilakukan Alfara Institut, persebaran pilihan dukungan parpol warga NU itu diantara yang terbesar yaitu sebanyak 28 persen memilih PDI-P dan Gerindra 18 persen. Sementara yang memilih ke PKB masih 10 persen, PKS 6 persen, PPP 5 persen dan PAN 4 persen. Ini menandakan, kaum Nahdliyin betul-betul Rahmatan Lil Aalamiin. Sesuai dengan khittah 1926, bahwa PBNU adalah organisasi keagamaan dan bukan partai politik. Meski demikian, warga NU dipersilakan berpolitik dan memilih satu pilihan politik.

Tak ada yang aneh juga, bahwa selama berada dan bersama para kader PKS, amaliyah-amaliyah NU penulis, tak terkikis sama sekali. Tak ada larangan atau cibiran ketika penulis melakukan qunut saat menjadi imam subuh. Ketika di lingkungan tempat tinggal penulis ada warga yang meninggal, bersama masyarakat lain penulis pun ikut berdoa bersama dalam tahlilan. Bahkan saat penulis memiliki motor baru, tradisi pembacaan "maca syekh" yang menjadi tradisi orang Banten, tetap penulis lakukan di rumah.

PKS adalah partai politik, bukan mazhab politik, apatah lagi mazhab agama. Di dalam anggota PKS, tersebar dan amat beragam kultur dan latar belakang anggotanya, mulai dari orang NU, warga Muhammadiyah, dari kalangan Persis, atau ormas Islam lain. Di sinilah semua latar belakang yang berbeda itu dapat disatukan, dengan tujuan ukhuwah Islamiyyah dan semangat kebangsaan.

Tak ada yang saling membidahkan apalagi mensesatkan saudaranya. Seringkali malah para kader yang berasal dari non NU, turut bersama mengikuti kegiatan-kegiatan seperti sholawatan, istighotsah, yasinan, atau maulid. Para kader yang berbeda-beda mazhab ini dapat berbaur dan bersatu. Dan ini sesuai dengan ajaran para ulama salaf kita, bahwa, selama menggunakan mazhab yang empat (Syafii, Hanafi, Maliki, Hambali), mereka adalah Islam Ahlussunnah Wal jamaah.

Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari sendiri pernah berujar, Wahai para ulama yang fanatik terhadap madzhab-madzhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusan furu (cabang agama), dimana para ulama telah memiliki dua pendapat atau lebih yaitu; setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu satu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme). (Mawaidz, hal. 33 dalam kompilasi kitab Hasyim Asyari, Irsyadu al-Sariy fi Jami Mushannafati al-Syaikh Hasyim Asyari).

Menurut kisah yang disampaikan KH. Shalahuddin Wahid (Gus Sholah), suatu ketika, Kiai Hasyim Asyari akan kedatangan seorang ulama bernama KH. Abdurrahman Syamsuri dari Pondok Pesantren Muhammadiyah, Paciran Lamongan, Jawa Timur. Ketika itu Kiai Hasyim dengan KH. Abdurarhman berbeda pendapat mengenai hukum memukul kentongan sebelum adzan. KH. Abduurahman berpendapat bahwa memukul kentongan sebelum adzan tidak dibolehkan. Sedangkan KH. Hasyim membolehkan dengan syarat itu bukan bagian dari ibadah sholat.

Mengetahui KH. Abdurrahman hendak silaturahmi ke pesantrennya, Mbah Hasyim mengintruksikan kepada masjid Nahdliyin di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh KH. Abdurrahman untuk menyimpan kentongan dan tidak membunyikannya. Hal itu dilakukan untuk menghormati tokoh Muhammadiyah tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh KH. Abdurahman ketika KH. Hasyim Asyari bersilaturahmi ke pesantrennya. Seluruh masjid Muhammadiyah yang akan dilalui KH. Hasyim diperintahkan untuk memasang kentongan sebagai bentuk penghormatan kepada tokoh NU tersebut. Maasya Allah, betapa indahnya peristiwa itu.

Dalam kitabnya Risalah Ahlu Sunnah wa al-Jamaah, Kiai Hasyim mewanti-wanti para ulama agar bersikap santun terhadap mereka yang berbeda dalam masalah furuiyah. Jika ditemukan amalan orang lain yang memiliki dalil-dalik mutabarah, akan tetapi berbeda dengan amalan Syafiiyyah, mereka tidak boleh diperlakukan keras. Hal ini dipertegas dalam Muktamar NU ke-XI pada 9 Juni 1936, Janganlah perbedaan itu (perbedaan furu) kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan.”

Itulah sebabnya penulis sekali lagi menegaskan bahwa: Saya Pancasila, Saya Indonesia. Saya juga NU, Saya PKS, dan Saya Muslim. Selamat harlah NU ke-95.

Tb. Mohammad Sholeh
Penulis tinggal di Serang Banten

Posting Komentar

0 Komentar