Mengasah Empati Anak Melalui Rohingya



Oleh: Ellina Supendy

Sepekan lalu anak saya menyodorkan celengan kayunya sambil menatap saya. Matanya agak sembab menahan tangis lalu dia mengatakan sesuatu diluar dugaan  “Bun, semua uang di celengan ini untuk anak-anak Rohingya yang orang tuanya meninggal!” Belum sempat saya tanya, dia sudah masuk lagi ke kamarnya. Saya? Tertegun dan tak tahu harus berkata apa.

Padahal belum sempat saya jelaskan tentang peristiwa Rohingya secara detail pada anak-anak. Belum sempat saya semangati mereka untuk melakukan sesuatu. Baru sekedar pembicaraan singkat saja eh ternyata salah satu anak saya sudah melakukannya lebih cepat dari dugaan.

Tak lama saya ajak dia bicara. Tahu darimana tentang Rohingya? Apa yang mendorong dia untuk memberikan seluruh tabungan recehnya?
Dia menjawab tahu peristiwa Rohingya dari guru-gurunya, televisi dan internet. Dia sedih karena korban Rohingya banyak anak-anak. Dia merasa beruntung tidak mengalami anak-anak di Rohingya, begitu katanya...hiks :”(

Tentu saja saya terharu dan memeluknya erat. Sedikit ringan tugas kami sebagai orang tua untuk mengasah dan menimbulkan sikap empatinya.

Pada dasarnya semua orang tua menginginkan perilaku positif tertanam sejak kecil pada anaknya sebab secara fitrah manusia menginginkan segala hal yang serba positif. Akan tetapi tidak mudah bagi orang tua untuk mengasah empati anak sejak dini. Dibawah nanti akan saya bahas sedikit.

Saya dan suami seringkali memperhatikan sikap Generasi Z ini yang menurut kami minim sekali Empatinya. Berapa banyak kasus bully yang terjadi, sekelompok remaja menghajar 1 orang temannya, terekam kamera atau bahkan yang tak terekam sama sekali? Pastinya banyak.

Kasus bayi Deborah yang harus kehilangan nyawa karena hilangnya empati juga menjadi catatan tersendiri. Berapa banyak yang menulis asal komen di status-status orang yang mungkin saat itu perlu bantuan hingga mengarah pada penghinaan?

Peristiwa terbaru adalah pembantaian di Rohingya yang jelas terjadi pemberangusan etnis. Tapi coba lihat komen-komen asal jeplak yang menegasikan kejadian dengan alasan sejarah yang salah dan lain-lainnya. Kemana empati mereka? Entahlah (
Jika memang kebencian sudah sedemikian menghilangkan rasa empati, lalu bagaimana nasib empati anak keturunan mereka. Mungkin sejatinya mereka juga tidak ingin itu terjadi ya .. mungkin saja.

Empati anak bisa diasah sejak dini, tapi perlu kesungguhan dari orang tua. Sebab dari orang tualah anak akan belajar dan meniru. Ya, meniru. Anak akan mengikuti apa yang kita lakukan sehari-hari. Termasuk sikap empati kita. Kasus yang seringkali terjadi di rumah misalnya si adik jatuh kepleset tapi si kakak malah tertawa. Maka momen tersebut bisa juga untuk melatih mereka.

Katakan pada si kakak yang tertawa,”Kenapa kakak tertawa? Padahal si adik menangis dan kesakitan”. Jawaban yang seringkali dilontarkan adalah “Karena Lucu”. Nah, pada saat itulah kita jelaskan makna empati. Apakah sama reaksinya antara sakit dan tertawa dan penjelasan lainnya.

Pada kesempatan yang lain, si anak akan meniru perilaku spontan orang tua saat menonton televisi misalnya. Saya baru teringat ketika kami sedang menonton kejadian Rohingya di salah satu chanel online, spontan saya menangis dan suami buru-buru menutup chanel tersebut. Berkali-kali saya istighfar dan mengatakan semoga Allah menolong mereka..semoga Allah menolong mereka. Sepertinya perilaku tersebut terlihat oleh anak-anak.

Setiap pulang sekolah, yang saya tanyakan pada anak saya bukan pertanyaan klasik “Tadi belajar apa?” “Bagaimana pelajarannya, susah atau mudah?”
Tetapi saya akan bertanya “ Hari ini abang sudah berbuat baik apa saja dan pada siapa saja?” Pertanyaan tersebut dilontarkan agar anak berusaha untuk selalu berbuat baik dan membantu orang lain.

Ada perkataan Baginda Rasulallah yang menurut saya sangat bagus dalam mengajarkan empati.

“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya dan barangsiapa melepaskan satu kesusahan yang dialami oleh seorang muslim. Maka Allah akan menghindarkannya dari satu kesusahan di hari kiamat” (HR Muslim)

Sepakat ya bahwa Rasulallah menjadikan Empati sebagai salah satu akhlak mulia. Bentuk empati lain yang diajarkan Rasulallah adalah saat memerintahkan supaya pada setiap peperangan para prajurit muslim DILARANG KERAS membunuh anak-anak, perempuan, orang tua, warga sipil dan tokoh agama. Masya Allah luar biasanya akhlak Beliau.

Cara lainnya mengasah empati pada anak adalah dengan latihan berulang-ulang.  Salah satunya ajak anak menjenguk orang yang sakit, latih reaksinya saat melihat orang yang terbaring lemah. Mendoakan orang yang bersin juga bisa melatih anak sebab ada interaksi di dalamnya. Hatchi .. Yarhamukallah .. Yahdikumulloh.

Terakhir jika kita sempat dan punya waktu, ajak anak dzikrul maut ziyarah ke makam atau kuburan. Katakan bahwa kondisi kita dan mayit adalah berbeda. Kita masih hidup dan masih menikmati kenikmatan dunia sedangkan mayit sedang menanti kebangkitan kelak bahkan ada yang mengalami siksa kubur.

Jadi pada intinya kitalah orang tua yang harus punya sikap empati sebelum anak-anak kita berempati.

Semoga sikap empati menjadi bagian dari keseharian kita baik di dunia nyata atau di dunia maya ... Amin Ya Allah

Posting Komentar

0 Komentar