Oleh : Hadi Santoso, Ketua DPW PKS Jawa Tengah
Pagi itu, di beranda sebuah rumah sederhana, seorang ayah duduk memandangi anaknya yang sedang berjuang mengenakan sepatu sendiri. Tangannya bergetar pelan, jemarinya kaku, tapi matanya… ah, matanya penuh cahaya. Cahaya yang membuat siapa pun yang melihatnya merasa malu pada segala keluhan yang biasa kita hembuskan seperti asap rokok.
“Ayah, tunggu sebentar… aku bisa kok,” ucapnya pelan, tetapi yakin.
Sang ayah pun tersenyum. Senyum yang menyimpan cerita panjang tentang kesabaran, terapi, fasilitas yang sulit, dan dinding-dinding stigma yang harus ditembus setiap hari.
Di balik itu semua, menyimpan sesuatu yang lebih besar, cinta! Cinta yang membuat mereka tetap kuat bertahan entah hingga kapan.
Angka-Angka yang Tidak Pernah Berteriak
Menurut laporan World Health Organization (WHO, 2023), di antara 8 miliar manusia di muka bumi ini, 1,3 miliar di antaranya adalah penyandang disabilitas. Itu berarti 1 dari setiap 6 orang yang kita temui mungkin sedang hidup dengan tantangan yang tidak kita alami.
Di Indonesia, data BPS Susenas 2023 menyebutkan, 22,97% penduduk Indonesia mengalami setidaknya satu kesulitan fungsi; entah penglihatan, pendengaran, kognitif, atau mobilitas.
Sementara dari data internal tahun 2025 kita tahu bahwa 4,8% kader pelopor PKS Jawa Tengah hidup dengan anggota keluarga yang difabel. Artinya, 1 dari setiap 20 rumah kader kita memiliki cerita-cerita kecil penuh perjuangan seperti kisah ayah dan anak di atas.
Tetapi angka-angka ini tidak pernah berteriak, sehingga kebanyakan kita tidak pernah mendengar. Mereka tidak mengetuk pintu rumah kita dan tidak memohon perhatian. oleh karenanya, kitalah yang seharusnya merasakan kehadirannya, sebagaimana semesta selalu mendengar kisah heroiknya.
Hidup Pelan yang Lebih Bermakna
Di dunia yang bergerak secepat notifikasi ponsel, kita sering lupa bahwa tidak semua langkah harus tergesa-gesa. Ada langkah-langkah yang justru lebih bermakna saat dijalani dengan perlahan. Membuatnya terasa hadir dengan sepenuh jiwa.
Seperti langkah pelan seorang anak difabel yang belajar menapaki trotoar dengan kursi roda, jika trotoarnya ramah difabel. Atau langkah seorang ibu yang harus mengantar terapi anaknya 2 kali seminggu, jika ia mampu membayar ongkosnya. Hidup mereka nampak lamban, namun nampak penuh makna.
Di Kantor DPW PKS Jawa Tengah, sosok Masron adalah pribadi yang rajin, namun kadang orang salah menilai, ada tamu yang sempat protes "kok Cleaning Servis PKS, dipanggil ndak menoleh sih.. sudah ngomong kok ndak dilaksanakan,.. "
Butuh waktu untuk kami menjelaskan, "beliau kurang pendengarannya, sudah kita bantu alat dengar tetap belum banyak membantu."
Kami yakin Pak Masron adalah guru terbaik dalam perjalanan dakwah kami.
Itulah mengapa kepedulian itu penting. Bukan untuk membuat diri kita terlihat baik, namun agar hidup kita juga ikut lebih bermakna. Juga agar dunia ini terasa lebih layak bagi siapa pun yang tinggal di dalamnya.
Saya pernah bertemu seorang remaja tunanetra, yang dengan nada ringan berkata, "Saya tidak melihat dunia, Kak. Tapi saya bisa merasakan orang-orang baik di sekitar saya.” Kalimatnya sederhana, tapi rasanya menampar. Kebaikanlah yang ia jadikan kompas dalam gelap.Betapa banyak orang yang hidup dalam terang, namun justru tersesat oleh ambisi dan kesibukan tanpa makna.
Ada pula seorang ibu yang memiliki anak autis ringan. Setiap malam ia menemani anaknya meronce manik-manik warna-warni. “Saya belajar banyak dari dia,” katanya. “Kesabaran, ketelitian, dan… cara mencintai tanpa syarat.”
Cerita-cerita seperti ini tidak masuk berita. Tetapi mereka adalah ruang kelas kehidupan yang sesungguhnya. Tempat kita belajar bahwa manusia tidak dihargai dari kesempurnaannya saja, melainkan dari bagaimana ia teguh berjuang hingga bisa menikmati takdirnya.
Mari kita berhenti sejenak. Menutup layar ponsel. Menarik napas dalam-dalam. Membayangkan perjuangan mereka, seraya bertanya pada diri sendiri, "Sudahkah kita pernah hadir untuk mereka? Untuk mereka yang Allah Swt beri jalan hidup yang berbeda?"
Mari kita mulai dari hal kecil; membantu membuatkan akses ramah difabel di masjid, balai desa dan tempat umum lainnya. Mengajak sekolah di sekitar untuk menerima ABK tanpa stigma. Tidak lagi memakai kata-kata merendahkan dalam bercanda. Bisa pula dengan memperjuangkan perda yang berpihak kepada mereka.
Kepedulian tidak harus dengan panggung besar. Satu kebaikan kecil, jika dilakukan dengan hati, bisa menjadi mercusuar yang panjang cahayanya hingga menembus surga.
Ada satu hal yang selalu saya ingat setiap kali melihat anak-anak difabel tersenyum, mereka tidak pernah meminta dunia berubah demi mereka. Seolah mereka hanya meminta agar kita mau melihat dunia mereka dengan cara yang berbeda. Melihat dengan respek. Melihat dengan empati. Melihat dengan cinta.
Hari Disabilitas bukan hanya tentang mereka. Hari ini juga tentang kita, apakah kita memilih menjadi manusia yang lewat begitu saja, atau manusia yang berhenti sejenak, peduli, dan membuat perubahan untuk hidup mereka. Sebab pada akhirnya, kita semua adalah pejalan yang akan menua, rapuh, dan suatu hari nanti sangat mungkin membutuhkan perhatian yang sama. Semoga ketika saat itu tiba, dunia sudah lebih ramah, karena kita pernah memulainya dari hari ini.
Selamat Memperingati Hari Disabilitas Internasional 2025. Semoga ketika kita menengok ke belakang suatu hari nanti, kita dapat berkata pada diri sendiri, "Aku pernah berusaha membuat dunia lebih mudah bagi mereka yang diuji dengan cara yang tidak mudah."


0 Komentar