Tangis Sumatera Makin Dalam: 914 Jiwa Melayang, Ratusan Hilang, Saatnya Segera Tetapkan Status Bencana Nasional



Oleh: Hj. Nevi Zuairina

Anggota DPR RI Dapil Sumbar II

Pembina Istri Pimpinan Daerah, Bidang Pembinaan Pejabat Publik, DPP PKS


Bumi Sumatera sedang berduka. Dalam sekejap saja, air bah, lumpur, dan longsor menerjang kampung-kampung, menghapus jejak-jejak kehidupan yang selama bertahun-tahun dibangun warga dengan jerih payah. Sungai yang dulu menghidupi, tiba-tiba berubah menjadi arus kematian. Dan langit yang selalu menjadi peneduh, kini seperti menumpahkan seluruh air mata yang tak sanggup lagi ditahan oleh bumi. 


Hingga Sabtu, 6 Desember 2025, BNPB melaporkan bahwa 914 jiwa telah meninggal dunia, sementara 389 jiwa lainnya masih hilang, belum kembali ke pelukan keluarga yang menunggu dalam cemas dan harap yang semakin tipis. Sumatera Barat kehilangan 226 jiwa, Sumatera Utara 329 jiwa, dan Aceh 359 jiwa. Angka-angka itu dingin, tetapi di baliknya ada wajah, ada nama, ada cerita, ada masa depan yang terputus begitu saja.


Korban yang jatuh bukan hanya angka pada tabel atau grafik. Mereka adalah ayah yang setiap pagi berangkat ke sawah, ibu yang menanak nasi untuk anak-anaknya, kakek-nenek yang menjaga cucu-cucu kecil mereka, anak-anak yang baru saja belajar membaca dengan mata penuh mimpi. 


Kini, banyak di antara mereka yang tubuhnya masih tertimbun lumpur, atau hanyut entah ke mana. Sementara keluarga yang selamat, memegang erat foto-foto kusam, berharap satu kabar baik di tengah rentetan kabar buruk. Di berbagai titik pengungsian, ribuan orang terkantuk di lantai dingin, banyak yang tak punya apa-apa lagi selain pakaian yang melekat di badan. Sumatera seperti kehilangan suaranya, ditelan gemuruh banjir dan isak tangis warganya.


Bencana ini seolah menunjukan sebuah kisah tentang alam yang murka. Cuaca ekstrem akibat Cyclone Senyar memang menjadi pemicu, tetapi sesungguhnya kita telah lama melihat tanda-tanda bahwa keseimbangan alam di Sumatera semakin rapuh. 


Hutan yang ditebangi tanpa kendali, alih fungsi lahan yang tak memperhatikan daya dukung lingkungan, penataan daerah aliran sungai yang tak pernah benar-benar dituntaskan, semua itu adalah sejarah panjang yang kini meminta pertanggungjawaban. Air yang turun dari langit seharusnya menjadi berkah, tetapi karena bumi tak lagi memiliki cukup akar untuk menahannya, ia berubah menjadi bencana. Alam berbicara, dan kita selama ini tak cukup mendengarkan.


Kini, saat duka menggelayut di langit Sumatera, kita tak boleh hanya meratap. Kita harus tegas dan jujur mengakui bahwa skala bencana ini tidak dapat ditangani dengan pendekatan biasa. Dengan korban tewas ratusan jiwa, ratusan hilang, ribuan rumah hancur, dan kerugian yang mencapai puluhan triliun rupiah, ini bukan lagi tragedi daerah. 


Ini adalah tragedi bangsa. Status *Bencana Nasional* bukan sekadar payung hukum, tetapi bentuk pengakuan bahwa negara hadir penuh dan totalitas, bahwa semua kekuatan yang kita miliki, dari pusat hingga daerah, dari pemerintah hingga masyarakat, digunakan tanpa ragu demi menyelamatkan dan memulihkan.


Penetapan bencana nasional akan membuka akses sumber daya yang jauh lebih besar: personel SAR tambahan, dukungan logistik lintas provinsi, percepatan pembangunan infrastruktur darurat, serta konsolidasi yang lebih efektif antara BNPB, Kementerian, TNI-Polri, dan relawan. 


Yang paling penting, status ini memberi pesan kuat bahwa kita memprioritaskan keselamatan manusia di atas segalanya. Indonesia bukan negeri yang pasrah pada bencana. Indonesia adalah negeri yang kuat, tetapi kekuatan itu harus dimobilisasi setara dengan besarnya ancaman.


Namun di tengah semua kerusakan itu, saya juga melihat sesuatu yang menenangkan: solidaritas. Di Aceh, orang-orang membuka pintu rumah yang masih utuh untuk menampung tetangga. Di Sumatera Utara, warga bergotong royong membuat dapur umum sederhana dari bahan seadanya. Di Sumbar, relawan dari berbagai daerah berdatangan, membawa makanan, obat, pakaian, dan pelukan hangat. Bangsa ini mungkin sering berbeda pendapat dalam banyak hal, tetapi dalam duka seperti ini, kita kembali menemukan siapa diri kita, sebuah keluarga besar yang selalu bergerak bersama ketika ada saudara yang terluka.


Kita perlu membangun kembali bukan hanya rumah dan jembatan, tetapi juga keyakinan bahwa bencana dapat dicegah atau setidaknya dikurangi dampaknya melalui tata kelola lingkungan yang lebih bijaksana. Kita perlu menanam lebih banyak pohon, menjaga kawasan hutan yang tersisa, memperbaiki tata ruang, dan memastikan setiap kebijakan pembangunan tidak mengorbankan keselamatan warga. Alam harus kita perlakukan sebagai sahabat, bukan ladang eksploitasi tanpa batas. 


Jika kita melukai alam, pada akhirnya alam pula yang memulangkan luka itu dalam bentuk bencana.


Sebagai wakil rakyat dari Dapil Sumbar II, saya membawa suara tangisan para ibu yang kehilangan anaknya, suara para petani yang kehilangan ladang, suara para pengungsi yang kehilangan rumah. Saya ingin menyampaikan satu pesan sederhana namun mendesak: Sumatera memanggil, dan kita semua harus menjawabnya.


Pemerintah harus segera menetapkan status Bencana Nasional, mempercepat penanganan darurat, dan memastikan pemulihan jangka panjang dilakukan secara adil dan menyeluruh.


Sumatera sedang menangis, tetapi kita tidak boleh membiarkannya menangis sendirian. Kita harus hadir, seutuhnya, setulusnya, sehormat-hormatnya, karena setiap nyawa adalah amanah, dan setiap tangis adalah panggilan untuk bertindak. Semoga Allah menguatkan mereka yang sedang diuji, dan menguatkan kita semua untuk berdiri bersama hingga Sumatera kembali tersenyum.

Posting Komentar

0 Komentar