oleh: Andy Windarto
Saat musim bencana melanda seperti sekarang, sangat wajar jika organisasi relawan, LSM kemanusiaan, komunitas, bahkan partai politik memposting aktivitas mereka di lokasi bencana.
Selain sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas bantuan yang telah disalurkan, publikasi tersebut juga menjadi bagian dari syiar eksistensi organisasi—terutama saat masyarakat sangat membutuhkan kehadiran mereka. Itu sah-sah saja, bahkan sesuai dengan visi dan misi banyak organisasi kemanusiaan.
Coba bayangkan, sebuah komunitas mengaku sebagai relawan, tapi tidak pernah ada dokumentasi atau publikasi kegiatan kemanusiaannya. Lucu, bukan? Apalagi jika organisasi tersebut sudah dikenal luas oleh masyarakat.
Lalu, kenapa hampir semua relawan memakai atribut/identitas organisasi?
Ini bukan soal peraturan formal yang harus diperdebatkan, tapi logika sederhana di lapangan:
1. Memudahkan Koordinasi
Di lokasi bencana berskala besar, manajemen relawan biasanya dikelompokkan berdasarkan asal organisasi atau komunitas. Atribut menjadi “garis koordinasi” yang jelas.
Boleh kok membantu tanpa atribut, tapi biasanya relawan tanpa identitas akan dimasukkan ke kelompok yang sudah punya identitas—agar lebih mudah dikoordinasikan. Kecuali kamu datang rombongan besar, baru mungkin diberi identitas sendiri. Intinya: ujung-ujungnya tetap pakai atribut juga, kan?
2. Identitas dan Pertanggungjawaban Bantuan
Relawan biasanya tidak datang dengan tangan kosong. Ada bantuan logistik, makanan siap saji, dan kebutuhan mendesak lainnya.
Bantuan itu harus jelas asal-usulnya. Kenapa? Supaya tidak timbul masalah di kemudian hari.
Contoh sederhana: nasi bungkus adalah bantuan “wajib” di pengungsian. Kalau yang membagikan tidak beridentitas, lalu lauknya ternyata ikan tongkol basi dan banyak korban keracunan—mau cari siapa?
Kalau ada identitasnya, tinggal hubungi koordinator yang bersangkutan. Jelas, efektif, dan efisien.
3. Keamanan
Jangan dikira di lokasi bencana tidak ada orang jahat. Saya pernah menjadi relawan pasca-gempa Bantul 2006 selama seminggu. Yang paling parah? Banyak motor hilang dicuri maling—justru di saat orang masih syok antara hidup dan mati. Ada yang nyolong sendirian, ada yang pakai mobil boks.
Setiap orang asing yang masuk wilayah bencana biasanya ditanya identitasnya. Atribut membantu menjamin keamanan—baik untuk relawan maupun korban. Korban juga jadi lebih tenang karena tahu kepada siapa mereka bisa mengadu jika terjadi sesuatu.
4. Membedakan Relawan dan Korban
Pernah kejadian relawan disangka korban karena penampilannya tidak berbeda, lalu “diselamatkan” dan dikasih nasi bungkus. Malu, kan? 😅
Atribut membantu mencegah kejadian memalukan seperti itu.
5. Sesuai SOP BNPB dan Aturan Kebencanaan
BNPB pernah menyatakan (dan teman-teman yang pernah ikut pelatihan penanggulangan bencana pasti tahu): relawan wajib memakai identitas organisasi asalnya agar tidak dicap sebagai “relawan liar”.
Anjuran ini merujuk pada Undang-Undang Penanggulangan Bencana yang juga selaras dengan standar internasional.
Jadi, kalau ada yang berkomentar:
“Gak ikhlas ah, relawan kok pake atribut, bendera segala, kayak riya.”
“Aduh, itu bencana apa kampanye?”
“Gue sih mau bantu, tapi gak mau pake atribut, takut gak ikhlas.”
Ikhlas itu urusan hati, bukan urusan name tag atau rompi.
Lagian, orang yang suka nyinyir mau kita pakai atribut atau tidak juga bakal nyinyir terus. Jadi buat apa disamain? Kita bukan figuran.
Kita relawan, bukan karyawan, apalagi relawan bayaran #eh.
Maju terus, Relawan Indonesia! 💪


0 Komentar