![]() |
| Foto: Relawan PKS membuat saluran air untuk warga Malalak Sumbar |
Oleh: Murtini, S. TP_Kabid Komdigi DPD PKS Kab Madiun
Di tengah arus modernitas yang bergerak cepat dan dunia politik yang semakin keras, kita sering terjebak dalam pola pikir bahwa kontribusi harus besar, mencolok, dan penuh sorotan agar dianggap berarti. Namun sesungguhnya, hikmah kehidupan justru kerap lahir dari ungkapan yang sederhana. Salah satunya dari petuah Jawa yang lembut: “Senadyan klungsu, nek melu udhu.”
Klungsu—biji buah asam yang kecil, keras, kering, dan sering tak diperhitungkan. Namun pepatah ini mengajarkan bahwa meskipun hanya seukuran klungsu, seseorang tetap memilih melu udhu—ikut mengambil bagian, ikut terlibat, ikut menjadi bagian dari aliran kebaikan. Inilah filosofi kehadiran dalam dakwah: bahwa nilai bukan diukur dari besar-kecilnya peran, tetapi dari kesungguhan dan keikhlasan dalam mendukung perjuangan.
Dalam konteks kaderisasi dan gerak dakwah PKS, pepatah ini menjadi cermin yang memantulkan wajah perjuangan kita selama ini. Kita mungkin tidak semua berada di barisan pimpinan, tidak semua menjadi penentu kebijakan, tidak semua tampil di panggung politik. Namun setiap kader, dari ranting hingga pusat, dari relawan yang bekerja dalam diam hingga penulis yang menggerakkan narasi kebaikan, semuanya memiliki tempat terhormat dalam bangunan perjuangan ini.
Di dunia yang dipenuhi gempita pencitraan, seringkali hal-hal kecil terpinggirkan. Kita mudah lupa bahwa dakwah yang besar selalu disangga oleh kontribusi yang tampaknya sepele. Tidak ada rapat akbar tanpa orang yang menata kursi. Tidak ada konsolidasi tanpa secangkir teh hangat yang disediakan dengan ikhlas. Tidak ada kemenangan politik tanpa para relawan yang mengetuk pintu rumah warga, mengirimkan pesan kebaikan di grup kecil, atau menyebarkan konten edukatif tanpa mengharapkan nama dicatat.
Dakwah adalah bangunan besar yang tersusun dari batu-batu kecil. Dan tanpa batu paling kecil—yang mungkin dianggap remeh—bangunan itu tidak akan kokoh.
Kita belajar dari para sahabat Nabi. Ada Bilal yang suaranya memanggil manusia menuju salat, ada Umar yang tegas menegakkan keadilan, ada Abu Bakar yang lembut namun teguh, dan ada puluhan sahabat lain yang nama mereka jarang disebut dalam sejarah, tetapi amal mereka tetap mengalir dalam keberlangsungan Islam. Kita mengenang Ummu Ma’bad, yang hanya dengan kesaksian kecilnya tentang akhlak Rasulullah, menjadi mata rantai penting bagi perjalanan hijrah. Kita mengenang Anas bin Malik, yang mengabdi di rumah Nabi sejak kecil, mengerjakan hal-hal kecil—tetapi sejarah membuktikan bahwa pelayanan kecil itu membesarkan dakwah secara luar biasa.
Mereka bukan para pahlawan yang berpidato di panggung besar. Mereka hanya “klungsu”—tetapi mereka memilih melu udhu. Mereka memilih hadir.
Begitu pula kader-kader PKS di berbagai daerah. Ada yang suaranya mungkin tidak terdengar, tetapi mereka hadir setiap pertemuan, membawa energi positif yang memperkuat suasana. Ada yang hanya memegang peran sebagai pengurus konsumsi, tetapi lewat tangannya, ukhuwah terjaga dan acara menjadi hangat. Ada yang menulis caption pendek untuk kegiatan dakwah, tetapi narasi itu mampu menyentuh hati ibu-ibu di kampung. Ada yang setiap hari mengirimkan pesan motivasi, menjaga semangat anggota baru agar tidak padam. Ada yang sekadar menyediakan kendaraan saat dibutuhkan, atau meminjamkan waktu untuk membantu persiapan acara.
Ini semua adalah klungsu-klungsu yang memilih untuk melu udhu. Dan dakwah tumbuh bukan hanya oleh figur besar, tetapi oleh ketulusan dan kehadiran yang tidak pernah ditulis media.
Partai dakwah seperti PKS tidak pernah dibangun oleh satu-dua orang. Ia adalah hasil gotong royong amal yang luas, melibatkan banyak jiwa dan peran. Kita tidak harus menjadi orator, tidak harus menjadi legislator, tidak harus menjadi penggerak besar untuk memiliki peran signifikan. Kadang, justru yang dibutuhkan adalah konsistensi diam-diam: hadir di setiap kegiatan, merapikan struktur, mencatat data, mengirimkan rangkuman, mendengarkan keluhan warga, menjadi penghubung, atau sekadar memastikan ruangan tetap bersih dan rapi.
Masyarakat tidak hanya butuh pemimpin, tetapi juga pelayan yang tidak terlihat. Dan seringkali, para pelayan inilah yang menjadi sebab keberkahan.
Dalam dunia dakwah, keikhlasan adalah mata uang yang nilainya tidak pernah turun. Setiap kontribusi kecil menjadi besar ketika diletakkan di atas niat yang lurus. Allah tidak menilai siapa yang paling besar perannya, tetapi siapa yang paling murni hatinya. Karena itu, peran kecil bisa menjadi amal besar, dan sebaliknya, peran besar bisa menjadi kecil apabila hampa dari keikhlasan.
Ketika kita merasa kecil, itu bukan alasan untuk mundur. Klungsu pun punya tempatnya sendiri. Ia mungkin tidak harum seperti bunga, tidak lembut seperti kapas, tidak berat seperti batu. Tetapi ia tetap punya takdirnya: ikut mengalir bersama air wudu, ikut menyempurnakan ritual, ikut memberikan makna.
Begitu pula kita. Setiap kader berhak merasa berarti. Setiap kader punya porsi andil. Dan setiap kader wajib menyadari bahwa perjuangan ini tidak akan lengkap tanpa dirinya.
Pada akhirnya, pepatah Jawa itu mengajarkan satu pesan: jangan pernah merasa terlalu kecil untuk dakwah. Yang kecil bukan berarti tidak berpengaruh. Yang senyap bukan berarti tidak penting. Yang tidak terlihat bukan berarti tidak menentukan.
Senadyan klungsu, nek melu udhu.
Meskipun kecil, tetap mengambil bagian.
Karena dakwah ini terlalu mulia untuk ditinggalkan, terlalu indah untuk hanya diserahkan pada segelintir orang, dan terlalu luas untuk digerakkan tanpa keterlibatan semua jiwa.
Dan ketika setiap klungsu memilih untuk melu udhu, dakwah akan mengalir lebih jernih, lebih kuat, lebih istiqamah—mengalir hingga memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa, dan umat. Seperti yang saat ini (Desember 2025) sedang terjadi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh, yang dilanda banjir besar, hal kecil apa yang bisa kita persembahkan untuk saudara-saudara sebangsa di sana?



0 Komentar