Sembrono di Bilik Suara, Awal Bencana Untuk Ibu Pertiwi



Aus Hidayat Nur

Anggota DPR RI Komisi II Fraksi PKS Dapil Kalimantan Timur

Bagaimana keadaan ibu pertiwi bila kita lihat saat ini? Apakah sekadar air matanya berlinang? Atau ada darah yang mengucur dari tubuhnya?

Saat ini ada luka yang tidak langsung berdarah tetapi perlahan merobohkan masa depan. Luka itu bernama kerusakan alam yang tanpa kita sadari sering kali bermula dari bilik suara.

Hutan yang gundul, sungai yang keruh, udara yang semakin sesak, bukan semata akibat mesin dan alat berat, tapi juga lahir dari keputusan-keputusan sunyi yang kita buat lima menit di balik tirai pemilu. Dari surat suara yang dicoblos tanpa sungguh-sungguh menimbang kelayakan serta rekam jejak, tanpa bertanya dari mana kekayaan seorang calon berasal, dan kepada siapa ia berutang budi, hanya berbekal selembar amplop terisi uang tak seberapa yang menjadi pembuat susah hisab di akhirat kelak.

Di negeri ini alam sering kalah oleh janji dan pencitraan. Janji pembangunan terdengar indah tapi rapuh ketika berhadapan dengan etika dan kelestarian. Kita kerap terpesona oleh baliho besar, suara lantang di panggung kampanye, konten menarik para politisi, dan sembako yang dibagikan menjelang hari pencoblosan. Padahal, di balik semua itu ada kontrak-kontrak yang tak pernah diumumkan ke publik yang kelak akan ditebus dengan izin tambang, pembukaan hutan, reklamasi pesisir, dan alih fungsi lahan yang mengusir rakyat kecil dari ruang hidupnya sendiri.

Pemilu seharusnya menjadi pesta kedaulatan rakyat. Namun, terlalu sering ia berubah menjadi pasar, tempat suara ditukar dengan uang, jabatan ditukar dengan restu pemodal, dan kekuasaan ditukar dengan pengkhianatan pada alam. Ketika wakil rakyat terpilih lebih mengenal ruang rapat korporasi daripada bantaran sungai yang tercemar di daerah pemilihannya, di situlah bencana mulai disusun secara rapi.

Banjir yang datang tiap tahun bukan sekadar musibah. Ia adalah surat peringatan. Longsor yang merenggut nyawa bukan takdir semata, melainkan akibat dari kebijakan yang abai. Kebakaran hutan yang berulang bukan kecelakaan, tetapi buah dari pembiaran. Dan pembiaran itu berakar pada satu hal: kekuasaan yang lahir tanpa nurani karena dipilih tanpa kesadaran.

Memilih pemimpin sejatinya adalah memilih arah nasib alam. Ketika kita menyerahkan mandat kepada mereka yang tak memiliki keberanian menolak tekanan modal, sesungguhnya kita sedang menggadaikan hutan, sungai, laut, dan udara untuk kepentingan jangka pendek. Kita mungkin tidak ikut menandatangani izin-izin itu, tetapi kita turut membuka pintunya.

Indonesia tidak kekurangan orang pintar, juga tidak kekurangan aturan. Yang sering kurang adalah kejujuran dalam memilih. Keberanian untuk berkata tidak pada calon yang gemar mengobral janji tapi miskin integritas. Kesediaan untuk menahan diri dari godaan sesaat demi keselamatan jangka panjang.

Suatu hari, anak cucu kita mungkin tidak akan bertanya siapa yang kita pilih dalam pemilu. Mereka akan bertanya mengapa sungai tempat mereka bermain dulu sudah tak layak disentuh, mengapa hutan hanya tinggal cerita, dan mengapa udara harus dibeli dengan masker. Saat itu, jawaban paling jujur mungkin adalah: karena kami pernah memilih tanpa berpikir sejauh itu.

Kerusakan alam bukan hanya soal lingkungan. Ia adalah cermin moral demokrasi kita. Dan pemilu, sesungguhnya, adalah saat paling menentukan apakah kita ingin mewariskan tanah air atau hanya sisa-sisanya.

Posting Komentar

0 Komentar