Oleh: Aus Hidayat Nur
Anggota DPR RI Fraksi PKS Daerah Pemilihan Kalimantan Timur
Siapa pun yang pernah melintasi jalur Samarinda–Balikpapan tentu mengenal nama Bukit Soeharto. Di sepanjang perjalanan itu, seharusnya mata kita disambut oleh hamparan hijau yang menjadi kebanggaan Kalimantan Timur: sebuah kawasan yang dulu pernah rusak, pernah ditambang, pernah ditebang, tetapi kemudian dipulihkan melalui reboisasi besar-besaran hingga berubah menjadi Taman Hutan Raya seluas 61.850 hektar. Sebuah prestasi konservasi yang mestinya kita abadikan, bukan kita nodai.
Tetapi hari ini, prestasi itu sedang digerogoti tanpa rasa malu.
Dalam beberapa tahun terakhir, laporan demi laporan bermunculan. Mulai dari pembalakan liar, perambahan, hingga tambang batubara ilegal yang beroperasi senyap namun terstruktur. Citra satelit pun tak bisa berbohong. Apa yang tampak dari Google Maps jelas sekali: titik-titik abu-abu yang mencolok di tengah kehijauan hutan, bukti kekacauan yang tidak mungkin dinafikan.
Temuan resmi pun menguatkan kegelisahan itu. Menurut data penegak hukum, aktivitas tambang ilegal telah menggerogoti sekitar 300 hektar wilayah Tahura. Kerusakan ini bukan baru kemarin sore. Jejaknya bisa ditarik hingga tahun 2016, ketika kelompok-kelompok tertentu mulai masuk, membuka jalan, dan mengoperasikan alat berat tanpa sedikit pun rasa gentar pada hukum. Kerugian negara pun diperkirakan mencapai Rp 5,7 triliun, gabungan dari nilai batubara yang dikeruk dan kerusakan lingkungan yang timbul. Sebuah angka yang memalukan sekaligus menyakitkan.
Kalau kita sebagai masyarakat Benua Etam tidak terusik melihat semua ini, barangkali ada yang salah dalam rasa kepemilikan kita terhadap tanah ini. Bukit Soeharto bukan tanah tak bertuan. Ini adalah bagian dari konsep besar kawasan hijau IKN, wajah ekologis Kalimantan Timur di mata dunia. Merusaknya berarti merobek kehormatan kita sendiri.
Namun, di tengah keprihatinan itu, ada secercah harapan. Wakil Gubernur Kalimantan Timur, Seno Aji, bersama Kapolda Kaltim, Irjen Pol Endar Priantoro, telah menyatakan komitmen tegas untuk menindak pelaku pembalakan dan penambangan ilegal. Komitmen ini perlu kita sambut dengan dukungan penuh, bukan hanya tepuk tangan singkat, tetapi dorongan konkret agar penegakan hukum benar-benar berjalan tanpa pandang bulu.
Karena kita semua tahu, kasus lingkungan biasanya muncul besar di awal, lalu hilang tanpa jejak.
Kita tidak boleh biarkan itu terjadi lagi. Kita memerlukan langkah luar biasa untuk kerusakan luar biasa seperti ini.
Jika satgas khusus harus dibentuk, maka bentuklah. Jika status darurat lingkungan harus dinyatakan, maka nyatakanlah. Jika APBD dan APBN perlu dialirkan untuk memulihkan lubang tambang, menahan erosi, dan menanam kembali kawasan kritis, maka alokasikan segera. Jangan menunda sampai terlambat.
Sebab hutan tidak menunggu. Lubang tambang tidak menunggu. Kerusakan alam tidak menunggu. Yang harus menunggu adalah para pelaku kejahatan itu, menunggu giliran mereka diadili, dipenjara, dan diminta mengganti setiap rupiah kerugian yang mereka timbulkan. Penegakan hukum yang tegas adalah satu-satunya cara agar tidak ada lagi yang berani mempermainkan kawasan konservasi kita.
Bukit Soeharto sudah bersuara. Ia menjerit melalui citra satelit, melalui laporan warga, melalui debu-debu yang beterbangan dari alat berat ilegal. Kini giliran kita untuk bersuara lebih keras:
Hentikan perusakan.
Tegakkan hukum.
Pulihkan kehormatan hutan kita.
Kalau bukan kita yang menjaga, maka siapa lagi? Kalau bukan sekarang, lalu kapan?


0 Komentar