Hari Ibu dan Arah Perjalanan Sejarah



Oleh: H. Hadi Santoso, S.T., M.Si. — Ketua DPW PKS Jawa Tengah — Ayah dari 3 Orang Anak


Dalam budaya dan falsafah Jawa, ibu bukan sekadar orang tua. Ia adalah sumber rasa, pengasuh jiwa, dan pusat keteduhan keluarga.


Seperti Ibu Pertiwi, ibu menumbuhkan kehidupan dan memberi perlindungan dengan tulus. Ia memberi tanpa menghitung, berkorban tanpa mengharap balasan. Bekerja dalam senyap, berjuang tanpa banyak kata. Cintanya tak perlu pembanding, kesabarannya nyaris tak berbatas.


Dari rahim ibu, manusia memasuki dunia yang riuh. Dari pelukan ibu, manusia belajar menjadi manusia seutuhnya.


Hidup, dalam kebijaksanaan masyarakat Jawa, kepandaian hanyalah alat. Ada hal yang jauh lebih dalam, yaitu rasa. Dan guru rasa pertama itu bernama ibu. Sebelum kita mengenal benar dan salah, ibu telah lebih dulu memberi teladan. Sebelum nasihat menjadi kalimat, perilaku ibu telah menjadi pelajaran.


Maka ketika rasa dalam kehidupan bersama mulai melemah, sering kali itu pertanda ada yang rapuh di dalam rumah. Tidak jarang, ibu adalah orang pertama yang merasakannya, diam-diam, tanpa keluh kesah menguatkannya dengan penuh ketulusan.


Islam memuliakan ibu dengan kemuliaan yang tak tertandingi. Rasulullah saw. bersabda, “Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu.” Surga diletakkan di bawah telapak kaki ibu, seolah menegaskan bahwa jalan keselamatan hidup kerap bermula dari keridaan seorang ibu. Di titik inilah kearifan Jawa dan ajaran Islam bertemu: ibu adalah poros peradaban.


Ketika ibu tenang, rumah menjadi teduh.  

Ketika ibu kuat, keluarga berdiri kokoh.  

Ketika ibu dirawat, generasi tumbuh dengan adab.


Namun, zaman ini tidak selalu ramah terhadap ibu. Banyak ibu menjalani pengabdiannya dalam kesunyian. Bebannya berat, tuntutannya banyak, tetapi sedikit yang sungguh-sungguh mendengar. Kita sering memuji ibu dengan kata-kata indah, tetapi lupa menghadirkan perhatian dan dukungan nyata.


Merawat ibu bukan hanya urusan keluarga. Ia adalah tanggung jawab bersama. Bahkan lebih jauh, ia adalah titipan bagi masa depan sebuah bangsa.


Keluarga adalah batu bata terkecil bangunan sebuah bangsa. Jika keluarga Indonesia memiliki pondasi yang kokoh, maka bangsa pun akan kokoh, demikian pula sebaliknya. Salah satu ikhtiar menjaga bangsa ini agar tetap berdiri kokoh adalah melalui pembangunan ketahanan keluarga PKS: Pintar, Kreatif, dan Sehat.


Pintar, dengan kejernihan hati dan kesabaran, keluarga semestinya terus memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Sebab, ilmu adalah cahaya yang akan menerangi jalan, menuntun langkah, dan mengajarkan kasih sayang.


Kreatif, dengan sikap optimis, keluarga fokus untuk melihat jalan keluar, bukan fokus pada masalah. Mencoba, bangkit dari kegagalan, dan tidak mudah menyerah. Setiap ikhtiar yang tulus selalu menemukan pertolongan Allah SWT pada waktunya.


Sehat, dengan menjaga pola pikir agar tetap tenang, mengatur pola hidup yang bijak, dan menata pola makan sesuai sunnah Rasulullah saw. Ketika ibu dan keluarga sehat, rumah menjadi tempat yang damai, produktif, dan anak-anak tumbuh dengan jiwa serta raga yang seimbang.


Dengan ketahanan inilah keluarga menjadi ruang yang teduh. Generasi tumbuh santun, rukun, dan berdaya. Dan perlahan, tanpa gegap gempita, arah sejarah pun terjaga.


Maka, dalam rangka menyambut Hari Ibu ini, mari kita melangkah lebih jauh dari sekadar simbol dan ucapan. Mari kita mulai dari hati: terus melakukan edukasi, menghadirkan perlindungan, dan menegakkan keadilan bagi para ibu.


Sebab, bangsa yang memuliakan dan merawat ibunya dengan tulus sesungguhnya sedang menjaga arah perjalanan sejarahnya dengan benar.

Posting Komentar

0 Komentar