oleh: Murtini, S.TP
(Kabid Humas DPD PKS Kabupaten Madiun)
Pemilihan Raya (Pemira) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) usai digelar, dan tahun ini menorehkan catatan penting: proses pemilihan dilakukan secara digital, menjangkau puluhan ribu kader dari berbagai daerah dan negara. Ini bukan hanya tentang penggunaan teknologi, melainkan tentang bagaimana PKS terus berikhtiar meneguhkan demokrasi internal dalam bingkai nilai-nilai Islam, keterbukaan, dan partisipasi yang bermakna.
Yang menarik dari Pemira kali ini bukan hanya skalanya, tetapi juga siapa yang diberi ruang untuk tampil. Sejumlah kader perempuan turut maju sebagai kandidat anggota Majelis Syura—lembaga tertinggi di tubuh partai yang menentukan arah kebijakan strategis. Ini merupakan sinyal kuat bahwa PKS tidak sekadar memberi tempat bagi perempuan, tapi juga kepercayaan untuk memimpin.
Dalam masyarakat kita, terutama yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi dan keislaman, keterlibatan perempuan dalam ruang publik kerap dihadapkan pada tafsir yang sempit. Namun, sejarah Islam telah memberi banyak teladan: dari Khadijah yang visioner dalam bisnis dan dakwah, hingga Aisyah yang cerdas, guru bagi para sahabat, dan rujukan ilmu hingga hari ini. PKS mengambil posisi yang tegas: perempuan yang memiliki kapasitas, ilmu, dan integritas layak memimpin, dan layak diberi amanah.
Kehadiran kandidat perempuan dalam Pemira bukan sekadar pemenuhan keterwakilan. Mereka tampil membawa pengalaman panjang dalam organisasi, ketajaman dalam menganalisis persoalan umat, dan visi keumatan yang kuat. Dalam konteks ini, PKS telah membuktikan bahwa kepemimpinan adalah ruang meritokrasi—di mana yang berhak memimpin adalah mereka yang mampu, tak peduli jenis kelaminnya.
Di tengah politik nasional yang kerap terjebak pada pencitraan dan pragmatisme, praktik demokrasi internal seperti ini patut diapresiasi. Lebih-lebih ketika partai tidak hanya membangun sistem, tetapi juga menumbuhkan budaya menghargai gagasan, mendengarkan suara kader, dan membuka ruang aktualisasi bagi seluruh potensi umat.
Namun demikian, Pemira hanyalah satu fase dari perjalanan panjang partai dalam mengokohkan diri sebagai rumah besar perjuangan. Tantangan ke depan adalah bagaimana PKS mampu menjaga transparansi dan konsistensi dalam setiap pengambilan keputusan strategis. Proses yang jujur dan digital akan kehilangan makna jika hasil akhirnya tidak dikawal dengan prinsip akuntabilitas.
Transparansi bukan hanya soal teknis, melainkan soal amanah. Dalam konteks partai dakwah, transparansi adalah bagian dari kejujuran, dari ihsan dalam berorganisasi, dan dari rasa takut akan hisab di hadapan Allah. Maka keterbukaan dalam memilih harus dibarengi dengan keterbukaan dalam menjalankan hasilnya—dengan amanah, adil, dan tanggung jawab.
Keterlibatan perempuan dalam Pemira PKS adalah langkah besar menuju partai yang lebih inklusif dan dewasa. Kini tinggal bagaimana partai menjaga konsistensi keadilan ini dalam kebijakan, pelaksanaan, hingga distribusi peran. Karena sesungguhnya, kemajuan sebuah peradaban tidak mungkin lahir tanpa keterlibatan perempuan sebagai mitra sejajar dalam amal, dakwah, dan kepemimpinan.
0 Komentar