Dr. Sani Bin Husain
Anggota Fraksi PKS DPRD Kota Samarinda
Ketika tahun baru Islam tiba, kita akan terkenang kembali saat-saat ketika Rasulullah dan para sahabat berkorban sepenuh jiwa. Selalu ada perasaan tertentu bagi orang-orang yang beriman mengenai momen ini. Tahun yang dikukuhkan berdasarkan momentum kepindahan yang sangat mengharu biru dari Makkah ke Madinah.
Maka tahun baru Islam ini seharusnya memberikan arti perubahan pada setiap diri kita. Seperti hijrah yang mengubah dan memindahkan, hidup kita harus berpindah dari kubangan dosa menuju lautan taubat. Berpindah dari arogansi kerakusan menuju kejujuran penunaian hak-hak orang lain. Berpindah dari gemar korupsi menjadi gemar mensubsidi. Berpindah dari pegawai yang malas menjadi pegawai yang mawas. Berpindah dari sumber masalah menjadi sumber solusi. Berpindah dari pelajar yang bermasalah menjadi pelajar yang bermaslahah.
Rasulullah memberi gelar orang yang beruntung bagi setiap individu yang hari ini lebih baik dari hari kemarin. Beliau juga menyatakan bahwa orang yang merugi adalah setiap pribadi yang tidak mengalami peningkatan , dengan kata lain yang hari ini kualitas kebaikannya sama dengan hari-hari kemarin. Dan, Beliau juga mengingatkan bahwa orang yang celaka adalah setiap manusia yang semakin hari semakin buruk dalam prilakunya. Sungguh tidak ada pilihan bagi kita untuk menghindar dari gelar orang-orang yang celaka selain hidup kita harus berubah saat ini juga. Dari yang buruk menuju yang baik. Dari yang usang menuju yang segar. Kesalahan harus ditinggalkan. Kesemerawutan harus segera ditertibkan.
Tahun baru Islam harus memberi arti pada dinamika hidup kita. Seperti hijrah yang penuh warna, tantangan, suasana, dan harapan. Makkah yang saat itu sukar dari petunjuk menghantarkan orang-orang berimannya menuju Madinah yang lembut. Kekerasan di sekitar kita harus di akhiri. Kekerasan di rumah tangga, saat seorang suami memukuli istri yang menyiapkan untuknya makanan, melayaninya, serta mengasuh anak darah dagingnya. Kekerasan di jalanan saat preman kelas teri menggantungkan nyalinya di ujung belati. Kekerasan di pentas politik saat pemburu-pemburu kekuasaan rajin bersilat lidah dan beradu sogokan. Kekerasan di belantara usaha ketika pedagang menjadi mudah memainkan takaran timbangan untuk menipu pembelinya. Kekerasan bernegara dengan mempermainkan hukum dan merubah konstitusi. Kekerasan pada alam dengan merusaknya demi keuntungan golongan. Bahkan kekerasan pada hati nurani yang menyebabkan kita enggan melaksanakan sholat ketika adzan berkumandang. Semua harus dihentikan, karena tidak ada satupun kejadian tiap detik yang berlalu melainkan Allah akan melakukan perhitungan dan memberikan balasan atas perbuatan tersebut.
Menurut sebagian kelompok yang pesimis, mungkin ini adalah mimpi. Mengharapkan kekerasan berhenti, karena momentum tahun baru islam ini. Mungkin para pelaku kekerasan itu bahkan seumur hidupnya tidak pernah mendengar kata Muharram. Tapi, setidaknya jika kita termasuk pelaku kekerasan tersebut, kita bisa belajar tentang sejarah, bagaimana sebuah kekerasan mengakhiri kesudahannya. Kita bisa belajar bahwa jalan kekerasan tidak pernah menyelesaikan dan tidak pernah membahagiakan.
Tahun baru Islam harus memberi arti pada pertumbuhan kita. Seperti Madinah yang sigap berkembang. Dalam percepatan yang mengagumkan. Pertumbuhan dalam hidup adalah kebutuhan. Sebab dengan pertumbuhan itu kita bertahan. Dan di saat yang bersamaan kita menghadapi tantangan yang baru dan kesulitan yang terus menerus datang.
Hidup harus dibangun di atas pertumbuhan yang lebih sehat. Mengharapkan kesadaran dari pergantian tahun mungkin terlalu berlebihan. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, setidaknya lebih mengerti bagaimana sebuah pilihan di ambil, dengan sepenuh kesadaran. Seperti pilihan hijrah yang diambil Rasulullah dan para Sahabat di masa itu. Di saat ini tidak selalu berhijrah secara geografis. Tapi, yang harus segera dan terus menerus kita lakukan adalah hijrah menjadi lebih baik dalam kualitas iman dan kuantitas ibadah.
Muharram semestinya membuat kita berubah lebih baik. Kita melihat lalu kita mengetahui. Kita menyaksikan lalu kita memahami. Tapi hanya ketika kita berubah lebih baik, baru hidup kita punya arti.(SBH)
0 Komentar