Masa pencoblosan pada pilkada serentak tinggal menghitung jam, saat ini telah memasuki tahapan masa tenang atau masa yang tak boleh digunakan untuk beraktivitas
kampanye. Namun, dibalik keheningan masa tenang, masa ini juga merupakan
detik-detik krusial yang digunakan oleh mereka yang memilih jalan pintas untuk
meraih kekuasaan dengan melakukan operasi politik yang sering disebut ‘serangan
fajar’. Serangan fajar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut politik
uang (money politik) dalam upaya mempengaruhi pilihan politik pemilih dengan
cara membeli hak suara tersebut. Disebut serangan fajar karena sifat operasinya
seperti penyergapan/serangan dadakan pada target yang ingin dikuasai, dan
dominan beroperasi saat situasi sunyi seperti pagi hari dan lainnya atau
menjelang detik pencoblosan.
Dalam perspektif hukum
dan agama, serangan fajar atau politik uang ini sangat dilarang karena
bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya, karenanya UU Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan tegas menyebut pelaku serangan fajar dapat
diancam pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 515. Kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa pada 2018 lalu yang intinya serangan fajar yakni politik
uang dan pemberian imbalan dalam pemilu hukumnya haram. Merupakan perbuatan
yang dilaknat oleh nabi “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima
suap" (HR Khamsah kecuali an-Nasa'i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi)”. Secara moral, perbuatan ini menggambarkan
moralitas pelakunya yang rendah, tidak memiliki integritas terutama nilai
kejujuran, karena melanggar aturan dan norma.
Operasi serangan fajar
ini cenderung dominan menyasar masyarakat ekonomi menengah kebawah, dengan
dalih himpitan ekonomi, masyarakat menjadi mudah terpengaruh dengan iming-iming
materi. Alhasil, Pilkada/Pemilu menjadi ajang adu kekuatan dalam membeli suara
rakyat, karena pemenang tidak lagi ditentukan oleh kapasitas intelektual dan
integritas pribadi kontestan melainkan ditentukan seberapa kuat pemodal yang
berdiri bersama para kontestan. Dampaknya, orientasi pembangunan tidak
berdasarkan kepentingan rakyat tetapi sesuai kepentingan golongan/pemodal dan
manajemen politik tidak lagi berorientasi pada profesionalitas. Jika demikian,
keadilan, pemerataan dan kesejahteraan bisa jadi menjadi suatu hal yang
mustahil untuk dirasakan masyarakat.
Selain itu, orientasi
pembangunan bisa jadi tidak berorientasi untuk memberantas kemiskinan, dengan
kata lain kemiskinan akan dipelihara karena apabila taraf hidup atau kelas
masyarakat meningkat kemungkinan pola pikir juga akan berubah sehingga sulit untuk
dibeli hak politiknya. Fenomena ini juga bertentangan dengan salah satu tujuan
Teori Pembangunan Politik (Theory
Political Development) yang dikemukakan Huntington, yakni Integritas
Politik. Sumber pemicu untuk memperkaya diri (korupsi), selain itu, tidak
sesuai dengan Pembangunan Politik Negara Indonesia yang bertujuan
mensejahterakan seluruh Rakyat Indonesia.
Apakah Gen Z dan Milenial Juga Transaksional?
Berdasarkan data Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Pemilu 2024 ini di dominasi oleh pemilih muda, yakni
kelompok Milenial dan Gen Z dengan persentase diatas 50 persen. Pertanyaannya,
apakah generasi muda tersebut juga transaksional dalam menentukan pilihan politiknya?
Jika melihat tipikal pemuda yang identik dengan semangat, pembaharuan dan
idealisme tentunya hal ini menjadi secercah harapan positif bagi kualitas
demokrasi dan kepemimpinan di indonesia, artinya ditangan generasi muda inilah
harapan untuk menciptakan pemilu yang bersih dan berintegritas tercipta secara
perlahan terutama di masa yang akan datang. Sehingga pembangunan politik
melalui instrumen demokrasi ini berjalan sesuai teori dan hakikatnya.
Apalagi mengenai
tingkat pendidikan, generasi muda ini didominasi oleh kalangan terdidik minimal
tingkat SLTA, dan akrab dengan teknologi dimana berbagai informasi, ilmu
pengetahuan mudah diakses, artinya analisis pemahaman generasi muda terkait
dampak positif negatif terhadap studi kasus tertentu dapat lebih tajam dan
akurat. Namun, jawaban atas pertanyaan diatas dapat dilihat dari realitas
politik yang terjadi pasca pilkada mendatang, jika tetap dengan ‘cost’ yang
tinggi terlebih untuk membeli suara, berarti politik transaksional masih tetap
berlaku atas generasi muda atau dengan kata lain telah membudaya. Tentunya
menjadi pekerjaan rumah semua pihak untuk melakukan pembenahan dan perubahan
dalam budaya politik kita.
Bentuk-bentuk Serangan Fajar
Serangan fajar yang
dalam kata lain politik uang, tidak berarti pemberian 'suap' dalam bentuk uang
saja. Namun dalam bentuk lain seperti sembako, termasuk pernak-pernik
perlengkapan rumah tangga. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memerinci bahwa
politik uang bisa berupa tiga hal: Pertama, Uang. Namanya politik uang, sudah
pasti uang menjadi instrumen utama. Uang dipilih karena bobotnya yang ringan
sehingga mudah dibawa ke mana saja. Uang juga mudah disembunyikan. Kedua,
Sembako. Bahan-bahan masakan yang terhimpun dalam sembilan bahan pokok
(Sembako) juga menjadi bagian dari politik uang, jika sembako diberikan tim
sukses di saat-saat Pemilu dan terdapat stiker bergambar calon yang
berkontestasi pada Pemilu. Ketiga, Barang Rumah Tangga. Berbagai cara dilakukan
untuk mengaburkan praktik politik uang atau serangan fajar saat Pemilihan Umum
(Pemilu). Selain dengan sembako, suap Pemilu juga dilakukan dengan pembagian
barang rumah tangga kepada calon pemilih. Misalnya, sabun colek, sabun cuci
piring, sabun mandi, dan lain-lain. Tak lupa, identitas calon yang
berkontestasi pada Pemilu tersemat pada bungkus-bungkus barang tersebut.
Penulis: Muhammad Azmi (Pegiat Literasi Kubu Raya)
0 Komentar