9 Masalah Pendidikan di Indonesia Menurut Gamal Albinsaid



dr Gamal Albinsaid, Anggota DPR RI terpilih yang juga Ketua DPP PKS Bidang Kepemudaan, Ahad (7/7/2024) lalu menuliskan 9 masalah pendidikan di Indonesia di akun Twitter (X) nya.

Inilah 9 masalah pendidikan di Indonesia menurut Gamal Albinsaid:

1. HASIL PISA TERENDAH SEPANJANG SEJARAH INDONESIA MENGIKUTI PISA


Capaian nilai PISA kita tertinggal jauh dari rata-rata negara OECD dan ASEAN. Skor membaca 356 jauh dibawah target RPJMN 392. Skor matematika 366  jauh dibawah target RPJMN 392. Skor sains 383  jauh dibawah target RPJMN 402. Tahun 2022, Indonesia peringkat 69 dari 81 negara. Jika kita membuat proyeksi skor Indonesia dan merujuk pada rata-rata negara OECD, maka kita bisa mencapai rata-rata skor OECD pada tahun 2089 untuk literasi dan 2063 untuk numerasi.

2 TINGKAT KESEJAHTERAAN GURU YANG SANGAT RENDAH


Merujuk pada laporan IDEAS pada Mei 2024, 42% guru dan 74% guru honorer memiliki penghasilan di bawah 2 juta rupiah, serta 13% guru dan 20,5% guru honorer memiliki penghasilan di bawah 500rb. 89% guru merasa penghasilan mereka pas-pasan atau kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. 55,8% guru memiliki pekerjaan sampingan, serta 79,8% guru memiliki hutang. Kita juga dikejutkan oleh riset NoLimit yang mengatakan 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal berprofesi sebagai guru.

Jika kita bandingkan dengan negara ASEAN, maka rata-rata terendah gaji guru dengan menggunakan perbandingan Purchasing Power Parity, maka Indonesia 2,4 juta, Malaysia 5,54 juta, Filipina 6,97 juta, Thailand 9,52 juta, serta Singapura 11,93 juta.

Bahkan jika kita bandingkan dengan gaji negara-negara OECD, guru SD di Australia memiliki penghasilan 620-883 juta per tahun, guru SMP di Belanda memiliki penghasilan 606 juta hingga 1,06 milyar per tahun, serta gaji guru SMA di Prancis memiliki penghasilan 454-550 juta per tahun.

Yang perlu kita apresiasi bersama, 93,5% guru mengatakan akan terus mengajar hingga pensiun. Jika kesejahteraan guru masih minim, bagaimana mereka bisa mengajar dengan tenang tatkala hutang membebani dan keperluan rumah tangga belum terpenuhi.

3. 71% ANAK-ANAK INDONESIA MEMILIKI FIXED MINDSET


Dalam laporan PISA 2018, menyatakan mayoritas siswa di negara OECD memiliki mindset berkembang. Hasil kuisioner dalam angket mereka tidak setuju atau sangat tidak setuju dengan pernyataan "Kecerdasan seseorang merupakan sesuatu yang tidak dapat diubah".

Sedangkan di Indonesia hanya 29% anak-anak Indonesia yang memiliki growth mindset. Sebagian besar, 71%, masih menganggap bahwa kecerdasannya tak bisa diubah. Anggapan tersebut mempengaruhi mindset yang akan mengantarkan pada perilaku dan hasil yang berbeda dalam hal pengembangan diri secara signifikan.

4. AKSES PENDIDIKAN TINGGI TERBATAS


Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi tidak pernah melampaui target renstra Kemendikbudristek dan jauh dari target RPJMN. Capaian APK PT tahun 2023 adalah 31,45% dimana Target renstra Kemendikbud adalah 36,64%. Padahal kita memiliki target APK PT tahun 2035 adalah 45% dan 2045 adalah 60%. Jika kita bandingkan dengan negara tetangga, Malaysia memiliki APK PT 43%, Thailand 49,29%, dan singapura 91,09%.

Selain itu ada disparitas yang tinggi antara kelompok pengeluaran terendah dan tertinggi. Masyarakat dengan ekonomi baik mampu mencapai angka 52,65% dan masyarakat dengan kelas ekonomi terendah hanya 17,54% yang berkesempatan kuliah.


5. KRISIS LITERASI


UNESCO menilai minat baca Indonesia memprihatinkan, dari 1.000 orang Indonesia hanya 1 yang rajin membaca. Penelitian World's Most Literate Nation Ranking oleh CCSU menyatakan Indonesia peringkat 60 dair 61 negara untuk minat baca.

6. KRISIS NUMERASI


Berbagai asesmen menunjukkan stagnansi atau kemajuan yang lambat kemampuan numerasi. Hasil tes IFLS menunjukkan rendahnya probabilitas siswa usia sekolah dalam penguasaan materi perhitungan dasar. Kemudian kenaikan jenjang pendidikan tidak menaikkan kemampuan literasi secara signifikan. Misalkan dalam tes IFLS anak kelas 1 mendapatkan skor 26,5% dan anak kelas 12 mendapat skor 38,7%. Jadi, walaupun siswa tersebut naik kelas, peningkatan kemampuan siswa antara jenjang satu dengan jenjang berikutnya tidak memiliki kenaikan yang signifikan.

7. MISMATCH BAKAT, PENDIDIKAN, DAN PEKERJAAN


Berdasar penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN), 87% mahasiswa di indonesia salah jurusan dan 71,7% pekerja memiliki profesi yang tidak sesuai pendidikannya. Oleh karena itu, penting design kurikulum untuk memberikan kesempatan anak mengeksplorasi minat dan bakatnya.

8. LULUSAN SMK PALING BANYAK MENGANGGUR


Lulusan SMK menjadi menjadi penyumbang terbesar pengangguran terbuka. Kita butuh link and match antara dunia pendidikan dan kebutuhan pasar. Kita juga harus melatih skill-skill yang dibutuhkan di dunia kerja ke depan, sesuai rekomendasi World Economic Forum misalkan, analytical thinking, creative thinking, serta resiliensi, fleksibilitas, dan agility.

9. GAP BESAR ANTARA RATA-RATA LAMA SEKOLAH (RLS) DENGAN HLS (HARAPAN LAMA SEKOLAH)


Laporan BPS menunjukkan HLS Indonesia adalah 13,15 tahun. Artinya anak-anak yang berusia 7 tahun memiliki harapan pendidikan sampai jenjang Diploma 1. Saat ini RLS (Rata-Rata Lama Sekolah) pelajar Indonesia adalah 8,77. Artinya penduduk yang berusia 25 tahun telah menempuh pendidikan hingga SMP kelas 9. Hal ini menunjukkan RLS lebih rendah 4,38 tahun dari HLS (Harapan Lama Sekolah).


Gamal Albinsaid sudah lama menawarkan solusi, meskipun lingkupnya masih kecil. Ia menggagas proyek beasiswa dan pendampingan di Kota Malang dan sekitarnya, ia menggagas Malang Cerdas. Kini ia mulai menggagas Indonesia Cerdas sebagai bentuk dedikasinya dalam membangun pendidikan di Indonesia.

Posting Komentar

0 Komentar