Untuk Calon Presiden: Tolong Jangan Berkata Kasar dan Jadi Contoh yang Baik Untuk Anak

@redzakusuma


"G*blok itu!" suatu ketika anak lanang keceplosan saat mabar di rumah. Saya datangi dia, saya panggil menjauh dari teman-temannya. Saya peluk dan belai rambutnya. Ada anger issue di dalam dirinya yang belum bisa dia kelola di usianya ke-10 tahun waktu itu.


"Kakak hentikan ucapan itu ya nak, Allah suka anak yang berkata baik," nasihat saya kepadanya.


Anak lanang mengangguk, ia berkata pelan, "Iya, bi, astaghfirullah," terdengar emosinya telah berhasil ia kendalikan dan langsung beristighfar.


Kemarin pagi saya membuka Instagram, dan dikejutkan dengan video pendek mengenai Pak Prabowo yang melontarkan kalimat senada dengan anger issue anak saya waktu itu. "Dia pinter apa g*blok, sih?" yang langsung disambut sorak-sorai para pendukungnya.


Di waktu yang lain, Pak Prabowo memancing ribuan audiens di podium dengan menanyakan hal yang sama, "Kalo nggak pinter rakyat nyebutnya gimana?"


Dengan satu komando, audiens yang hadir berseru "G*bloookkk!" seolah membenarkan isi pikiran Pak Prabowo. "Bukan aku lho ya yang bilang," jawab Prabowo setelah koor umpatan itu gayung bersambut dengan konstituennya.


Saya terpana melihat video yang lagi viral itu. Setiap Reels yang saya usap selalu menghadirkan POV yang sama. Begitu pula isi Tiktok yang mayoritasnya digunakan oleh Gen-Z dan Alpha.


Baru saja kemarin lusa viral video-video Pak Prabowo dengan narasi "terzolimi" dan "tersakiti" oleh Anies dan Ganjar pada saat debat karena dianggap tega dan berkhianat kepada pak Prabowo (terutama disematkan pada sosok Anies) lengkap dengan bumbu latar belakang musik sedih dan epic, besok pagi viral adegan pak Prabowo mengg*blok-g*blokkan sesama kontestan Capres.


Dua POV yang bertolak belakang ditampilkan begitu dramatisnya di sini: sosok Prabowo yang berkaca-kaca 'tersakiti', sekaligus sosoknya yang petantang-petenteng memaki lawan debatnya di belakang. Dan keduanya sama-sama punya audiens yang menyoraki dan memberi empati, di dua kutub watak berbeda.


Entah ada unsur rekayasa sosial atau tidak yang dilakukan oleh pegiat buzzer di sini, tetapi saya melihat rakyat sedang diadu domba, diacak-acak emosinya, dan mengakibatkan hilang rasa sebagai sesama anak bangsa hanya karena berbeda pilihan Pilpres. Terlebih sikap yang ditunjukkan kreator konten yang sangat lebay sekali dalam mengekspos kampanye politik 'Gemoy Tersakiti' (meski saya cenderung tidak setuju label gemoy dialamatkan pada warga negara yang masuk kategori Boomers). Hal itu justru mengafirmasi kekalahan Pak Prabowo ketika debat 7 Januari 2024 lalu.


Kekalahan yang diamplifikasi dengan balutan emosional untuk menarik simpati, yang langsung diikuti setelahnya dengan G*blok Marketing. Kedua socmed campaign ini -sekali lagi- punya pasarnya masing-masing, dan sama-sama laku dijual di kalangan Gen-Z.


Tapi bukan itu yang saya khawatirkan. Ini bukan soal perang socmed di masa tahun politik. Kalau itu memang sudah jelas posisinya, memang sedang terjadi perang opini antara pendukung Park Ah-Nice dengan Si Gemoy, dengan berbagai narasi dan episode turunannya.


Yang saya khawatirkan adalah saat ini sedang terjadi glorifikasi kepada figur publik yang melontarkan narasi "G*blok!" ke ruang publik kita, dan itu semua dinormalisasi oleh masyarakat, khususnya di kalangan Gen-Z.


Sesungguhnya saya benar-benar berharap pak Prabowo bisa memberikan edukasi politik kepada konstituennya, seperti misalnya, Pak Anies dengan gerakan #DesakAnies-nya. Tetapi yang saya lihat, Pak Prabowo justru bermain-main dengan emosi rakyat, dan melempar curhatannya itu ke tengah masyarakat yang mendukungnya.


Herannya, audiens justru bertepuk tangan di situ. Malah mereka melakukan koor serentak dengan mengucapkan kalimat sama persis, yakni _G*blok!_.


Artinya, Pak Prabowo telah sukses menormalisasi diksi "G*blok" ke tengah rakyat untuk dilempar ke ruang publik begitu mudahnya. Menurut saya, hari ini Indonesia sudah darurat akhlak dan adab.


Sebagai ayah, saya berupaya betul agar anak-anak saya tidak mengucapkan umpatan itu. Taste sebagai orang timur masih ada dalam dada saya. Entah bagaimana dengan pak Prabowo. Masihkah beliau menganggap bahwa kampanye ini adalah ajang curhat anger issue yang terpendam dalam hati, ketimbang momentum untuk mencerdaskan rakyat?


Mari menanti debat Capres terakhir. Kita akan kuak watak asli para Capres-Cawapres. Setelah itu, biarkan hati nurani bicara.


Teruntuk para Gen-Z, jangan normalisasi penggunaan diksi "G*blok!" yaa... Kalian masih punya banyak tokoh publik yang bisa menjadi teladan dalam berbicara dan berkomunikasi. Kalian adalah generasi masa depan Indonesia. Jangan biarkan negaramu tenggelam dalam narasi kemarahan yang salah tempat. Kalian mampu lebih baik dari itu. Yokk... Bisa yokk

Posting Komentar

0 Komentar