oleh:
Muhammad Azmi (Relawan Literasi PKS Kota Pontianak)
Kurun waktu 30 hari kedepan tepatnya
14 Februari 2024, Bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilihan umum (pemilu)
secara langsung untuk memilih calon legislatif dari tingkat kabupaten/kota
provinsi, dan pusat serta pemilihan presiden (pilpres) sebagai pemimpin
eksekutif. Sebagaimana kita ketahui, pemilu adalah instrumen demokrasi untuk
menghasilkan produk kepemimpinan dari rakyat dan dipilih oleh rakyat. Tanpa
melalui proses pemilu, kehidupan bernegara akan mengalami kekosongan
kepemimpinan, langgengnya kekuasaan (kepemimpinan absolut) atau monarki politik
dimana proses pemilihan pemimpin didalamnya tidak terdapat unsur hak bagi
seluruh masyarakat.
Pesta demokrasi lima tahunan
tersebut hendaknya disambut riang gembira oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai
wujud dari kedaulatan rakyat. Karena kehidupan masyarakat tanpa kepemimpinan
adalah suatu kemustahilan, terutama ketika bicara tatanan kehidupan yang baik,
sehat dan berkeadilan. Salah satu pelopor teori kedaulatan rakyat John Locke
mengungkapkan bahwa kekuasaan negara berasal dari perjanjian masyarakat, dimana
masyarakat menyerahkan hak-haknya kepada pemerintah sedangkan pemerintah akan
mengembalikan hak tersebut dan melaksanakan kewajibannya dalam bentuk peraturan
perundang-undangan. Jadi, adanya ‘barter’ hak dan kewajiban antara rakyat dan
pemerintah (negara) yang harus sama-sama dipenuhi untuk menciptakan tatanan
kehidupan sosial masyarakat yang baik.
Rakyat juga wajib memastikan haknya
tertunaikan sesuai kepentingannya dan menagih hak tersebut dalam bentuk
kesejahteraan, karena rakyat memiliki legitimasi atas negara sebagai pemilik kekuasaan tertinggi. Rakyat harus
memanfaatkan sebaik mungkin momentum pemilu untuk menyerahkan mandatnya kepada
calon pemimpin atau wakil rakyat yang tepat sebagai representasi suara hati
rakyat. Dan membawa gagasan berdasarkan apa yang menjadi kebutuhan rakyat untuk
melahirkan sebuah kebijakan. Karena tidak ada satu ruang pun dalam kehidupan
bernegara yang tidak terdampak kebijakan politik, kecuali kita hidup
mengasingkan diri jauh dari kelompok sosial lainnya. Banyak orang tidak
membayangkan jika semua aspek kehidupan akibat adanya intervensi politik berupa
kebijakan. Kesejahteraan atau keterpurukan juga sangat bergantung pada
intervensi kebijakan politik dalam suatu negara.
Maka dari itu, masyarakat jangan
sampai apatis dalam memaknai pemilu, harus peka terhadap situasi bangsa dan
menjadi sebaik-baiknya hakim untuk penguasa. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengatakan
“Jika orang baik tidak
terjun ke dunia politik, maka para penjahat lah yang akan mengisinya”.
Sedangkan menurut penyair dan filsuf Jerman, Bertolt Brecht “Buta terburuk
adalah buta politik. Orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup,
harga makanan, harga rumah, harga obat semuanya tergantung keputusan politik.
Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar, “Aku
Benci Politik!, Sungguh bodoh dia yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak
mau tahu politik, akibatnya pelacuran, anak terlantar, perampokan dan yang
terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri”.
Merawat Kedaulatan Rakyat
Hak dan kewajiban yang kita dapat
hari ini sebagai rakyat yang berdaulat, sejatinya adalah buah perjuangan yang
melewati proses panjang dalam sejarah kehidupan bangsa, serta merupakan warisan
dari para pendahulu dari masa ke masa. Kita pernah mengalami masa pahit getir
sebagai bangsa ketika ratusan tahun berada dalam belenggu penjajahan. Kala itu,
hak maupun hajat hidup kita dikangkangi oleh kolonialisme. Dan tumpah darah
bangsa bangkit bergerak melakukan perlawanan secara fisik hingga politik untuk
meraih kedaulatan yang sekarang kita nikmati bersama. Sebagai negara merdeka,
kedaulatan rakyat merupakan prinsip utama yang harus dipegang teguh untuk
memastikan apakah sistem dalam negara berjalan pada track yang sesuai atau melenceng dari hakikat sesungguhnya.
Sebagaimana pidato kenegaraan Bung Karno pada 17 Agustus 1964 yang
menginstruksikan seluruh rakyat untuk melaksanakan ‘Tri Sakti’ yakni berdaulat
dalam bidang politik, ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Pidato tersebut juga merupakan
manifesto politik Bung Karno yang anti imperialisme, kolonialisme hingga
neokolonialisme sekaligus sarat akan harapan mulia beliau sebagai founding father yang menginginkan kedaulatan
benar-benar berada ditangan rakyat dalam berbagai aspek untuk mengelola bangsa
besar ini. Tentunya, menjadi kewajiban kita semua untuk melanjutkan perjuangan
para pendahulu tersebut sebagai bentuk rasa syukur atas kedaulatan yang sudah
berada ditangan demi eksistensi dan keberlangsungan cita-cita luhur pendiri
bangsa. Namun perjuangan yang dimaksud bukanlah konfrontasi fisik melawan
bangsa asing seperti sedia kala, melainkan berjuang merawat kedaulatan dengan
perjuangan politik dan pemikiran agar bangsa besar ini tetap tegak berdiri
menghadapi tantangan zaman.
Beranjak dari itu, menjelang pesta
demokrasi, kita harus menghadirkan autokritik apakah kedaulatan benar-benar
masih berada ditangan rakyat se cara total atau sebaliknya, agar semangat
perbaikan, perubahan tertanam dalam benak masyarakat demi menjaga
kedaulatannya. Jangan sampai kedaulatan rakyat tinggal slogan atau kamuflase
politik belaka, namun nilainya sudah tergerus dengan daya kontrol berada pada
tangan segelintir orang, kelompok atau bahkan negara lain.Menurut penulis,
indikator kedaulatan masih berada di tangan rakyat seperti masyarakat sipil
yang bebas menggunakan hak-hak politik tanpa dikekang dan merasa terintimidasi.
Dalam menunaikan hak politiknya, rakyat jangan sampai disuguhkan dengan isu
yang dapat menjadi sumber pemicu kegaduhan atau perpecahan. Dalam hal ini, para
tokoh bangsa, elit politik mesti bertanggung jawab menciptakan suasana yang
tentram di tengah masyarakat.
Dalam hal kemakmuran, rakyat yang
berdaulat berhak mendapatkan distribusi kemakmuran dengan prinsip kesetaraan
dan pemerataan. Negara harus hadir dan mampu berlaku adil dalam menekan
tingginya kesenjangan sosial. Selain itu, politisi yang senantiasa berorientasi
untuk kemaslahatan orang banyak sehingga mampu mendorong lahirnya kebijakan
politik atas dasar kepentingan rakyat. Proses pembagian kekuasaan dari
legislatif, eksekutif hingga yudikatif yang pelaksanaanya berjalan sportif dan fair play, tanpa campur tangan kekuasaan atau kekuatan besar untuk
menyetir dengan cara yang inkonstitusional. Selanjutnya, hukum yang murni
sebagai penegak keadilan dengan menjaga netralitas dan tidak berubah fungsi
menjadi alat gebuk politik. Serta ekonomi yang berbasis kerakyatan dengan
mempertimbangkan aspek kemakmuran rakyat. Jangan sampai aktivitas hanya untuk
segelintir orang dengan mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam
secara brutal tanpa memperhatikan aspek pemerataan, aspek ekologis dan aspek
keberlangsungan.
Sebaliknya, jika kebijakan sudah
tidak pro rakyat, ekonomi sudah tidak berorientasi kerakyatan dan demokrasi
sudah dikebiri maka hal tersebut menunjukan jika kedaulatan rakyat telah
dikhianati, dan secara tak langsung kita hidup sama halnya dalam kondisi
terjajah. Jika hal demikian dibiarkan berlarut maka tunggu masanya bencana
sosial ditengah masyarakat terjadi.
0 Komentar