Setelah berakhirnya masa kampanye
pada 10 Februari 2024, proses pemilu akan memasuki tahapan selanjutnya yaitu
masa tenang sebelum hari pencoblosan. Masa tenang adalah waktu jeda yang
diberikan kepada para kontestan pemilu untuk menyegarkan sejenak (recovery)
kondisi fisik maupun psikis setelah kurang lebih 40 hari berkutat meramu intrik
dan strategi politik dalam kampanye. Selama masa tenang, tidak boleh lagi ada
operasi politik secara vulgar baik itu melalui verbal maupun non verbal atau
berbentuk alat peraga kampanye. Masa tenang juga dapat diartikan sebagai upaya
pendinginan (cooling down) suasana emosional masyarakat akibat tensi politik.
Namun, masa tenang yang identik dengan keheningan terkadang malah dimanfaatkan
para “bandit-bandit” politik untuk mendulang suara masyarakat melalui operasi
terlarang secara hening di waktu yang hening pula, fenomena ini lebih dikenal
dengan sebutan “Serangan Fajar”.
Serangan
fajar merupakan bagian dari politik uang (Money Politic) atau operasi ilegal
dalam pemilu dengan modus memberikan uang tunai, sembako, dan sebagainya yang
secara langsung menyasar pribadi (door to door). Serangan fajar gencar
dilakukan beberapa hari menjelang pemilu atau pada hari pencoblosan. Disebut
serangan fajar karena dominan beroperasi di waktu pagi. Dalam kontek hukum,
serangan fajar merupakan perbuatan melawan hukum karena melanggar etika, nilai
dan aturan pemilu. Istilah serangan fajar sudah tidak asing ditelinga
masyarakat, menggurita hingga menjadi “guyonan” politik masyarakat, bahkan
menjadi kesempatan yang ditunggu-tunggu masyarakat “lapisan tertentu” di setiap
momentum kontestasi politik. Jadi, serangan fajar pemicu disorientasi motif di
tengah masyarakat dalam menunaikan hak dan kewajiban politiknya pada pemilu.
Selain itu, serangan fajar mematikan akal sehat, melukai hati nurani dan
meruntuhkan moral serta harga diri masyarakat.
Pola kerja
serangan fajar beroperasi memanfaatkan lemahnya masyarakat dan lemahnya kerja
sistem politik. Faktor masyarakat seperti ekonomi lemah, pendidikan lemah
hingga iman yang lemah. Selain itu lemahnya pengawasan lembaga terkait yang
berwenang juga menjadi catatan yang tidak dinafikan. Sederhananya, penguatan
(edukasi) terhadap masyarakat dan perkuat basis pengawasan menjadi agenda yang
harus dilakukan apabila ingin menangkal laju serangan fajar, walaupun realita
dilapangan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Karena pasti
banyak pihak berkepentingan terutama politisi bermental “culas” yang masih
menikmati strategi serangan fajar untuk meraup suara akan menjadi batu
sandungan.
Serangan fajar juga merupakan bukti
rendahnya kualitas demokrasi, sekaligus gambaran politik hanya sebagai karpet
merah kaum borjuis atau mereka yang mapan secara ekonomi dan adanya hubungan
gelap antara pemodal dengan politisi untuk memenuhi hasrat kekuasaan dan
keuntungan ekonomi. Karena sumber modal serangan fajar bisa jadi memang berasal
dari individu politisi dengan latar ekonomi kuat atau dimodali oleh para
pemodal yang bermain dibelakang layar. Fenomena serangan fajar ini tentunya
bertentangan dengan substansi pembangunan politik yang pada hakikatnya ingin
mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui instrumen politik dengan
mengedepankan kualitas dan integritas. Sebab, serangan fajar yang merupakan
bagian dari politik uang atau transaksional politik merasa telah menunaikan
kewajiban politiknya dengan pundi-pundi uang yang diberikan, sehingga output
dari kerja-kerja politik kedepan tidak lagi berlandaskan hajat hidup rakyat,
melainkan untuk kepentingan pribadi/kelompok maupun untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya
memanfaatkan peluang dalam aktivitas politik.
Apapun alasanya rakyat harus
melakukan perlawanan terhadap praktik serangan fajar yang merupakan kejahatan
politik setara dengan kejahatan perang. Bedanya, kejahatan perang menghancurkan
fisik sementara kejahatan politik merusak sistem dan menghancurkan tatanan
kehidupan masyarakat yang mendambakan kesejahteraan, serta merendahkan harga
diri masyarakat dengan nominal yang sangat tidak sebanding. Analoginya, satu
suara dibayar sekian ratus ribu rupiah namun dibagi selama 5 (lima) tahun.
Selama 5 tahun itu pula pejabat terpilih leluasa mengebiri hak-hak masyarakat,
sedangkan beban penderitaan kembali ditanggung oleh masyarakat itu sendiri.
Masifkan Edukasi dan Pengawasan
Seperti yang telah disinggung
diatas, serangan fajar terjadi memanfaatkan lemahnya kehidupan sosial ekonomi
masyarakat dan lemahnya pengawasan. Untuk mengurangi persentase bahkan
pencegahan sampai ke titik nol mesti harus digalakkan secara masif dan berkesinambungan
(jangka panjang) berbasis edukasi di tengah masyarakat. Dengan masifnya
pendidikan politik di masyarakat, perlahan menjadi budaya dan akan membentuk
atau mengubah pemahaman maupun perilaku masyarakat terhadap politik. Pekerjaan
rumah demokrasi ini dapat dilakukan melalui kolaborasi dan sinergitas semua
pihak mulai dari mereka yang peduli, kelompok masyarakat, komunitas,
lembaga-lembaga terkait kepemiluan dan paling vital adalah lembaga pendidikan yang
menyasar generasi muda.
Dunia pendidikan sangat berperan
penting dengan meningkatkan intensitas muatan materi tentang politik, fenomena
atau realita politik praktis dan demokrasi mulai dari tingkat pendidikan
menengah. Selama ini menurut penulis terjadi paradoks, politik dan politik
praktis seperti hal yang tabu ketika mulai bersentuhan atau masuk dalam dunia
pendidikan. Padahal kunci perbaikan dari kebobrokan politik salah satu yang
paling efektif yakni dunia pendidikan. Karena Pendidikan adalah media
pembentukan manusia serta doktrinisasi sedari dini hingga memasuki usia dewasa.
Selain itu, melalui aktivitas
keagamaan yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga agama dan tokoh-tokoh agama.
Karena agama merupakan sumber kebajikan, sudah semestinya politik, demokrasi
yang menjadi bagian dari aktivitas kebajikan harus include dan tidak dapat
terpisahkan dari nilai-nilai agama, terlebih Indonesia menganut demokrasi
pancasila yang nilainya erat dengan agama. Sama halnya dengan dunia pendidikan,
dalam hal ini penulis juga melihat adanya paradoks dalam paradigma masyarakat,
politik di stigmatisasi menjadi sesuatu yang kotor bahkan haram ketika
bersentuhan dengan agama, tokoh agama bicara politik di tengah umat dianggap
melanggar norma, padahal ajaran agama sendiri tidak anti atau melarang umatnya
untuk berpolitik selama dalam kontek politik untuk kebajikan. Jika ingin
berbenah, sudah selayaknya paradigma masyarakat tentang relevansi antara
politik dan agama juga harus dibenahi secara komprehensif.
Selanjutnya peran pengawasan.
Lembaga-lembaga terkait penyelenggara pemilu dan aparat penegak harus lebih
masif dan proaktif dalam pengawasan aktivitas politik ditengah masyarakat
terutama memasuki masa-masa krusial atau masa rentan terjadinya serangan fajar.
Pola kerja pengawasan ini pun menurut penulis tidak selamanya sebatas hanya
mengandalkan kerja dari lembaga terkait, namun perlunya kolaborasi dengan
membentuk simpul-simpul masyarakat yang dipelopori oleh lembaga terkait yang
berwenang, fungsinya sebagai perpanjangan tangan dan perpanjangan mata
pengawasan di lapangan. Dalam hal ini perbanyak relawan (volunteer) yang lahir
dari basis masyarakat, contohnya dengan membentuk relawan pemilu bersih,
relawan anti politik uang, relawan pemantau pemilu dan sebagainya. Ketika kita
menyaksikan fenomena lemahnya pengawasan, menurut penulis bisa jadi mereka yang
bertugas merupakan bagian dari komplotan (relasi) pelaku politik yang memang
ditempatkan mengisi lembaga-lembaga tertentu. Atau wujud nyata ketidakberdayaan
petugas yang notabene dari kalangan masyarakat sipil menghadapi permainan
kelompok elite atau kekuatan besar. Wallahualam.
Penulis;
Muhammad Azmi (Relawan Literasi PKS Kota Pontianak)
0 Komentar