oleh: Zico Alviandri
Seorang anak kecil sesudah mandi berinisiatif untuk "bedakan" sendiri sebelum sang ibu memulasi wajah imut si bocah dengan butiran putih, sebuah kebiasaan setelah mandi di sore hari. Tapi namanya anak kecil yang tak pandai berdandan, mukanya jadi belepotan.
"Kok bedakannya gak rapi sih? Sebelah kanan tebel, sebelah kiri tipis. Ratain dong!" ujar si ibu.
"Ratain bun?" tanya si anak.
"Iya. Coba!"
Di hadapan cermin, si anak pun memulas kembali untuk meratakan bedak di wajah sebelah kiri agar sama tebal dengan sebelah kanan. Namun ia malah membedaki tebal-tebal di satu titik saja di pipi kirinya.
"Lho, itu mah bukan meratakan namanya," tukas ibu.
"Kan yang sebelah kiri belum tebal, Bun?"
"Iya, tapi yang rata dong. Bukan di satu titik doang."
Si ibu tersenyum. Sama-sama menatap cermin, ia pun berkata, "yang kamu lakukan itu mirip pemerintah membangun IKN."
"Hah? Ikan apa Bun?"
"Bukan ikan, tapi IKN, Ibu Kota Negara. Jadi, katanya pemerintah mau meratakan pembangunan di sebelah timur atau di luar pulau jawa. Namun bukan pemerataan yang mereka perbuat, melainkan sebuah ketimpangan baru.
Sebuah kota dibangun di tengah hutan menggunakan anggaran negara, dirancang canggih-canggih dan megah-megah. Tentu uang negara habis tersedot untuk satu kota itu saja. Sementara kota dan desa di sekitarnya tetap tidak terjamah. Tidak ada jaminan listrik tidak lagi byar-pet. Jalan-jalan yang tidak terhungan dengan kota baru itu tetap saja minim perhatian. Begitu juga pembangunan di kota yang jauh dari IKN yang sudah berdiri jauh sebelumnya, tak mendapat perhatian setebal kepada ibukota baru.
Itulah, tak ada kongkritnya yang kata pemerintah mau melakukan pemerataan.
Nah, meratakan bedak di wajah jangan seperti itu juga. Cuma tebal di satu titik."
"Aku gak ngerti, Bun. Udah ah, aku main ya..."
0 Komentar