Ilustrasi ibu memeluk anak/ dok. Dewi |
Oleh: Yosi Prastiwi
Hari masih pagi ketika bidan Puskesmas di depan forum bertutur tentang kasus depresi berat yang menimpa seorang Ibu tiga anak di provinsi Jawa Tengah. Sebut saja Kasih, ibu tiga anak yang masing-masing berusia 5 tahun, 1 tahun dan 2 bulan. Anda tidak salah membaca. Anak kedua dan ketiganya memang lahir di tahun yang sama.
Kebobolan kata orang. Ibu Kasih sendiri tak menyangka Tuhan langsung menitipkan janin di rahimnya tepat setelah nifas anak kedua. Namun Kasih dan suaminya mensyukuri kehadiran anak ketiga penuh cita. Kasih memang lebih sibuk mengurus anak dan rumah. Wajar kata orang. Hampir semua ibu baru pasti sibuk. Hanya saja Kasih tak sadar, ia mengalami depresi sejak bayi ketiganya lahir.
Sampai suatu pagi, Kasih sampai di rumah bidan Puskesmas dengan mata sembab. Dadanya sesak.
Air mata Kasih mengalir lama. Untuk pertama kalinya, ia bercerita pada orang lain tentang halusinasi yang dialaminya.
Aduhai, betapa seringnya kita membaca berita ibu yang menyakiti bayinya paska bersalin. Sebagai perempuan, saya paham tidak mudah menjaga kewarasan sebagai ibu seorang diri. Ibu butuh support sistem positif dari keluarga terdekat. Bagaimana ibu bisa melindungi anaknya jika ia sendiri tak bisa menjaga dirinya?
Peradaban di Tangan Ibu, Diupayakan Ayah
Hal ini tentu saja terkait dengan peran suami dan ayah sebagai kepala rumah tangga. Upaya membangun peradaban keluarga pada level ini bukan lagi perkara bagaimana memilih istri sebagai calon ibunya anak-anak. Sudah lewat fase itu. Namun, bagaimana menumbuhkan potensi dan kebaikan istri. Salah satunya dengan memastikan istri aman dan waras menjalani perannya sebagai ibu.
Pada kasus Kasih, ia beruntung bertemu tenaga medis yang tepat. Bidan tersebut tidak menghakimi dan menyudutkan sikap Kasih. Bidan Puskesmas tersebut menyiapkan makan dan meminta Kasih istirahat kemudian meminta suami Kasih datang.
Suami Kasih tentu saja terkejut mendengar depresi yang menimpa istrinya. Syukurnya, pria ini berpandangan terbuka pada situasi istrinya. Ia menyadari kesibukannya belakangan ini dan mau memperbaiki kondisi bersama. Sepulang bekerja, ia meluangkan lebih banyak waktu untuk mengajak Kasih mengobrol, turun membantu pekerjaan rumah tangga dan bermain bersama anak-anak mereka.
Hampir sebulan pula Kasih tidak memasak di rumah. Suaminya menyimpan garpu, pisau, silet, dan benda tajam lainnya serta membeli masakan matang untuk keluarga. Memang lebih mahal tapi aman. Memang mengundang kepo dan nyinyir tetangga, tapi solutif. Keputusan bijak yang membuat keluarga ini terselamatkan sampai hari ini.
Melindungi Anak Bermula dari Keluarga
Tema Hari Anak Nasional tahun ini yang fokus pada upaya perlindungan anak tentu baik kita dukung. Perlindungan dari kekerasan, pernikahan anak usia dini sampai mempekerjakan anak di bawah umur menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Namun imun perlindungan ini efektif jika dimulai dari sistem terkecil bernama keluarga
Pengasuhan anak yang layak salah satunya dimulai dari ibu yang waras. Sembuh dari luka pengasuhan sebelumnya. Akhlak anak yang beradab bermula dari teladan ayah yang peduli. Sadar posisi sebagai kepala rumah tangga.
Keluarga yang aman memang tidak serta merta melindungi anak dari ancaman bullying dan kekerasan dari luar tapi keluarga yang hangat akan mengokohkan jiwa anak.
Selamat merayakan Hari Anak Nasional dengan bahagia, Nak!
***
Tulisan ini sudah dimuat di Kompasiana 23/7
0 Komentar