Morowali, Ketidakadilan dan yang Seharusnya Dilakukan Pemerintah



Oleh: Budi Setiadi


Turut berdukacita atas kerusuhan yang terjadi di Morowali, menyusul terjadinya bentrok antar kelompok karyawan PT PT. Gunbuster Nickel Industry (GNI), Sabtu (14/01/2023), hingga ada korban jiwa.


 


Dua belas tahun lalu, ada kerusuhan serupa. Waktu itu lokasinya di Drydock Batam Kepulauan Riau.


 


 


Berkaca pada kerusuhan di Drydock itu, temuan utama sebagai penyebab kerusuhan adalah arogansi Tenaga Kerja Asing (TKA) terhadap pekerja lokal.


 


Tetapi perilaku arogan tersebut sebenarnya hanya pemicu dari akumulasi pelanggaran aturan ketenagakerjaan oleh manajemen perusahaan. Temuan pelanggaran pada kasus dua belas tahun lalu tersebut adalah:


 


1. Rendahnya penerapan  K3 di tempat kerja.


2. Sistem outsourcing bertingkat yang bisa mencapai 6-8 tingkat. Artinya perusahaan A memberikan pekerjaan pada perusahaan B, perusahaan B memberikan pada C, lalu C pada D, dan seterusnya sampai 6 bahkan 8 perusahaan. Dan buruh yang bekerja di lapangan adalah buruh pada perusahaan G atau H ....


 


3. Tidak ada atau rendahnya pemahaman TKA terhadap bahasa dan kultur lokal.


4. Tidak ada alih teknologi dari TKA pada pekerja lokal.


5. Banyak pekerjaan yang sama antara pekerja lokal dan TKA dengan upah yang sangat timpang.


 


Pada kasus kerusuhan drydock 2010 itu, FPKS DPR RI langsung menugaskan Pak Arif Minardi yang saat itu baru dilantik PAW sebagai anggota DPR RI, untuk melakukan investigasi ke Batam.


 


Kebetulan saat itu saya yang menemani Pak Arif Minardi selama di Batam, karena saya masih tinggal di sana. Dua hari menemani Pak Arif  selama di Batam kami menjumpai beberapa organisasi serikat pekerja, mewawancarai pekerja yang ada di tempat kerusuhan, dan berjumpa juga dengan pemerintah setempat.


 


Tindak lanjut dari investigasi pak Arif Minardi yang dilaksanakan oleh Kemenaker adalah penambahan pegawai pengawas ketenagakerjaan untuk provinsi Kepri terutama untuk Kota Batam.


Temuan lain yang merupakan ikutan dari berbagai pelanggaran ketenagakerjaan di PT drydock adalah:


1. Outsourcing bertingkat membuat seorang pekerja galangan kapal selam mengerjakan sebuah bisa 4 kali berganti perusahaan/majikan untuk pembuatan satu unit kapal (keamanan pekerjaan).


2. Rendahnya keamanan pekerjaan membawa dampak langsung terhadap jaminan sosial. Jaminan sosial untuk pekerja galangan kapal cuma ada dalam bentuk kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Untuk dua jaminan ini, tak sampai 20% pekerja yang terjamin oleh Jamsostek (saat itu belum ada BPJS).


3. Tidak ada kebebasan berserikat. Pekerja outsourcing dan kontrak sangat takut diPHK jika aktif di serikat pekerja.


 


#


Menurut saya, masalah pada pekerja pertambangan (kasus GNI) tidak akan jauh berbeda dengan pekerja galangan kapal (kasus drydock). Atas kasus ini, saya sepakat dengan respon cepat Fraksi PKS DPR RI melalui pernyataan Pak Mulyanto.


 


Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, meminta Pemerintah mengevaluasi izin operasional PT. Gunbuster Nickel Industry (GNI) menyusul terjadinya bentrok antar kelompok karyawan, Sabtu (14/01/2023).


 


Saya sepakat dengan Pak Mul. Pemerintah jangan sungkan dengan investor asing China yang bermasalah. Jangan sungkan ambil tindakan tegas terhadap PT. GNI. Mereka telah lalai dalam menjamin keamanan, keselamatan kerja karyawan, dan hubungan industrial Pancasila yang harmonis. Harusnya ini tidak terjadi.


 


Pemerintah jangan menganggap remeh bentrok yang mengakibatkan korban jiwa.  Karena bisa jadi hal tersebut dipicu oleh masalah yang lebih mendasar. Bukan semata-mata karena salah paham antar kelompok pekerja. Apalagi bentrok ini terjadi setelah terjadi insiden kebakaran dan mogok kerja pegawai.


 


Pemerintah harus tegas dan adil menyikapi bentrok berdarah ini. Hukum harus ditegakkan agar semua pihak mendapat keadilan. Pemerintah harus mencabut Izin operasi smelter PT. GNI, kemudian dilakukan ‘audit teknologi’, bukan hanya terkait soal K3.

Posting Komentar

0 Komentar