Politik Identitas Adalah...



Oleh : Drs. Gufron Azis Fuadi

 

Dalam sebuah pidato di GBK beberapa waktu yang lalu seorang tokoh berbaju putih menyebutkan agar pilpres dan pemilu 2024 harus jauh dari politik identitas. Politik identitas dalam konteks ini tentu adalah politik dengan membawa bawa agama. Dengan demikian setiap entitas politik yang membawa agama disebut menjual agama atau mempolitisasi agama dan karenanya dikategorikan oleh mereka sebagai jualan politik identitas.

 

Identitas disini tentunya adalah identitas asli, seperti misalnya PKS yang secara resmi menyatakan dirinya sebagai Partai Islam. Tetapi tidak bagi mereka (partai atau orang) yang beridentitas palsu. Yakni partai yang jelas-jelas sekuler atau bahkan politisi yang jelas bukan muslim tetapi mendadak islami (bersorban atau berjilbab seperti kadrun) saat menjelang pemilu, pilpres atau pilkada. Mungkin bagi mereka, identitas palsu itu hanyalah permainan seperti trik sulap yang hanya menipu mata. Karena memang dalam dunia politik sekuler, trik palsu atau tipu tipu itu tidak dosa. Karena dosa itu urusan agama sedang dalam politik yang ada hanya menang atau kalah. Menang adalah pahala, kalah adalah dosa.

 

Dalam ilmu sosial, politik identitas dimaknai sebagai alat atau wadah yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik. Ia menstimulasi dan menggerakkan aksi-aksi untuk meraih tujuan politik tertentu. Politik identitas biasanya mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama sebagai mereknya. Politik identitas umumnya dilakukan oleh kelompok minoritas dan atau marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem.

 

Dalam menyuarakan aspirasi kelompok, pengusung politik identitas, distingsi atau perbedaan seperti kesukuan, gender dan agama ditunjukkan secara eksplisit dan intensif. Diantara contoh politik identitas melalui gerakan sosial politik adalah gerakan Afro-Amerika yang menuntut persamaan ras, gerakan LGBT yang menuntut legalitas same sex marriage di sejumlah negara, gerakan kelompok adat yang memperjuangkan hak pengelolaan tanah ulayat, gerakan gender yang memperjuangkan kesetaraan dalam politik dan karir, dan lain lain. Bahwa kemudian tuduhan politik identitas hanya disematkan kepada identitas agama, khususnya Islam, tentu hanya anomali atau ketidaknormalan atau pandangan menyimpang yang tidak punya landasan ilmiah. Tetapi bukankah sesuatu yang menyimpang dan salah bila disuarakan terus menerus akan diterima oleh publik sebagai sesuatu yang dianggap benar? Jawabannya tentu, ya. Dalam arti, ya begitulah dalam politik tanpa moral agama. Tuhan, karena Maha Suci maka Dia harus diletakkan di rumah atau di tempat ibadah. Jangan dibawa ke ranah politik yang kotor. Mungkin dalam pikiran mereka, Tuhan itu seperti boneka yang akan kotor bila dibawa ke tempat yang kotor. Padahal logika normal mengatakan bahwa bukankah dengan membawa Tuhan ke dalam dunia politik yang kotor akan membuatnya menjadi dunia yang bersih? Jangan-jangan, mereka tidak mau membawa Tuhan dalam politik hanya untuk membiarkan dunia itu tetap terus kotor...

 

Identitas adalah tanda, ciri atau jati diri yang melekat pada suatu individu, kelompok atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Identitas juga adalah refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Islam dari sejak awal sangat menekankan pentingnya identitas. Dari mulai identitas gender, keturunan apalagi agama. Tidak boleh dipalsukan apalagi diubah.

 

Seseorang muslim harus menunjukkan identitasnya secara jelas, tidak boleh abu-abu karena Allah berfirman: Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah’. Jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: Isyhadu bi ana muslimun,‘"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)" (Ali ‘Imraan: 64) Ungkapan, isyhadu bi ana muslimun adalah perintah untuk memperjelas identitas dan posisi seorang muslim. Identitas ini sepatutnya selalu melekat pada diri muslim setiap waktu dan keadaan. Bukan hanya saat di masjid saja.

 

Hal ini pernah ditampilkan oleh Shkodran Mustafi, pesepakbola timnas Jerman yang kaya raya, yang nilai transfernya 25 juta poundsterling (atau setara dengan Rp 605 Miliar) tanpa ‘malu’ bahkan berani menunjukkan bahwa ia muslim dan ia terlarang untuk berurusan dengan khamr (bir, wine, dan sejenisnya yang memabukkan) sehingga menyingkirkan benda dan logo miras saat akan melakukan sesi wawancara. Padahal produk miras tersebut adalah sponsor klub dan liga. Berat memang! Wallahua'lam bi shahab

Posting Komentar

0 Komentar