Tak Akan Lari Gunung Dikejar, Tak Akan Berkurang Rejeki di Latansa Akbar



Oleh: Yosi Pratiwi


"Mbak, njenengan dapet apa?" Tanyaku pada Fajar, temen satu reguku yang duduk di depan. 


"Nasi sayur. Nasi rameslah. Untungnya masih dibungkus rapat," Fajar memperlihatkan nasi bungkusnya. 


"Kalo enggak inget adab pada makanan, rasanya pengin komen macam-macam," Aku membalasnya sambil membuka nasi bakarku. 


Fajar tergelak sebentar. Menertawakan diri sendiri sambil mengingat makan siang yang kami bawa. Kardus merah dibungkus rapi dan berisi lauk sedap menggoda. Bhaaay! 


*


Beberapa hari sebelumnya, kami sibuk membuat list menu makan siang untuk agenda Latansa, Pelatihan Perempuan Siaga yang digelar DPW PKS Daerah Istimewa Yogyakarta. 


"Pilihan lauknya ada ikan nila, ayam, lele, tahu atau tempe. Silahkan dipilih," tulis teman satu  di Whatsapp grup. 



Sebagian penghuni grup merespon dengan menulis pilihan lauk. Yang lain menambah rikues menu tidak pedas. Sebagian lain terima beres. Tak masalah apa saja lauk yang diberikan. Ayam atau ikan sama enaknya. Ada ketering yang siap dipesan jam 3 dini hari saja kami sudah bersyukur. Sekarang, keteringnya membebaskan pilihan lauk lagi. Baik bener. 


Peserta Latansa diminta membawa makan siang terbaik dengan pembungkus ramah lingkungan. Wow. Peduli lingkungan nyatanya bukan sekedar isu di PKS.


Sebagai mamak rempong, tentu saja aku memilih ikut mengisi list pesan makan siang yang diadakan kolektif. Apalagi belakangan diketahui jatah makan siang kami gratis, disponsori DPC dan donatur. Gasskeunlah. 


Benar saja, jam 4 dini hari ketika rombongan peserta dari Ngaglik berangkat menuju lokasi Latansa Akbar di pantai Goa Cemara, 45 kotak makan duduk manis ikut diangkut. 


Agenda Latansa dimulai dengan senam sejak jam 6 pagi. Tak tanggung-tanggung, menurut  kak Septi, intruktur Latansa, kami senam tiga ronde. Yaitu senam Segar-senam terbaru PKS, senam Go PKS Go dan sedikit nyicipin senam Nusantara. Alamak. Pantas saja cacing dalam perutku mulai demo. Belum siang, aku mulai kelaparan.  


"Setelah ini, silakan teman-teman ambil makan siang dan snack. Lalu kembali ke barisan." Seorang intsruktur memberi komando dari depan. 



Aku tersenyum lebar. Waktu itu belum tengah hari. Belum adzan Dhuhur. Kami baru melewati talkshow kesehatan. Apa jadwal makan siang dimajuin? Batinku gembira. 


Namun ternyata makanan kami hanya ditumpuk dalam nampan tiap kelompok. Tak kunjung dibagikan sampai waktu salat. Padahal sudah kubayangkan menu ayam di kotak makanku. 


Dus makan berwarna merah jadi tanda bekal makan siang se DPC-ku. Isinya lauk pauk menggoda. Menambah nafsu makan yang menggelora. 


Tapi ternyata makanan itu bukan menjadi rejekiku.


Pasca salat, peserta kembali duduk rapi. Panitia lantas mengedarkan nampan berisi makanan entah milik siapa. 


"Silakan ambil makanan yang kalian terima di depan," suara panitia dari panggung mengejutkanku. 


What?!


1200 peserta sepertinya bertanya-tanya sepertiku. 

Beragam bisik-bisik dan komplain di sekelilingku.  


Eh, makanannya diputer


Wah, aku enggak dapat kotak makanku


Aku dapetnya nasi bungkus


Mbaak, ini makanannya udah sisa


Ini nasi doang


Ini lauk doang


Saya belum dapet apa-apa


Sebagian lain tertawa. Menertawakan nasibnya yang berbeda dengan harapan. Bawanya ayam, dapetnya tempe. Ada juga tawa senang. Beruntung dapat lauk favorit.


Ajaibnya, ada kelompok yang belum membawa makan siang. Mereka berencana pesan makan di lokasi atau memanfaatkan aplikasi makanan online. Dikiranya waktu makan siang fleksibel. Meski demikian, metode putar makanan ini memungkinkan mereka tetap dapat makan siang milik orang lain. Sebagian peserta lain yang udah bawa malah enggak kebagian.


"Yang belum dapat, yang masih kurang, atau mau tambah, silakan ambil prasmanan di belakang," panitia menambahkan. Tahu betul kondisi para peserta. 


Aku sendiri dapat nasi bakar. Tidak besar untuk disebut makan siang tapi cukup mengganjal kebutuhan perut yang lapar. Toppingnya suwiran ayam pedas dan daun kemangi. Sebagian daun pisang pembungkusnya berwarna kehitaman akibat proses pembakaran. Menyisakan bau khas yang enak. 


Aku teringat satu hadis Nabi tentang konsep rejeki. 


Diceritakan dari Abdullah bin Sikhir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Manusia selalu mengatakan, “Hartaku… hartaku…” Padahal hakikat dari hartamu –wahai manusia– hanyalah apa yang kamu makan sampai habis, apa yang kamu gunakan sampai rusak, dan apa yang kamu sedekahkan, sehingga tersisa di hari kiamat”. (HR. Ahmad)


Siapa sangka nasi bakar ini kelak akan jadi rejekiku. Jadi kekuatan menyelesaikan agenda Latansa. 


Dan kau nasi kotak kardus merah isi ayam, ternyata kamu bukan rejekiku. 


Bhaay!


*


Yosi Prastiwi

Posting Komentar

0 Komentar