Oleh: Gufron Azis Fuadi
Tak jarang kita melihat di belakang bak truk gambar pak Harto dengan tulisan, "Piye kabar le, enak jamanku to...?"
Dalam senyum, kita berpikir membayangkan kalau di zaman Pak Harto istri kita masih segar dan kencang dan di zaman Jokowi istri kita semakin matang dan menawan.
Atau kisah di zaman Imam Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah saat ada rakyatnya yang bertanya, "wahai Imam, mengapa saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah negara kita hidup lebih damai dan tentram, tidak saat Anda menjadi khalifah?"
Pertanyaan ini juga bentuk perbandingan.
Dan Imam Ali menjawab, "Dulu saat Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, rakyatnya seperti saya. Sekarang saat giliran saya yang menjadi khalifah rakyatnya seperti kamu!"
Dalam riwayat ini tidak dijelaskan bagaimana performa rakyatnya, apakah seperti cebong dan kampret atau banyak yang jadi buzzerRp, kita nggak tahu.
Waktu kuliah dulu, ada mata kuliah yang berjudul Perbandingan Sistem Politik, juga Perbandingan Sistem Pemerintahan dan yang lainnya.
Jadi ilmu perbandingan itu perlu, karena untuk mengambil keputusan pun diperlukan kemampuan ini. Itulah mengapa dalam kondisi keuangan yang sedang tidak baik sekalipun banyak Pemda dan DPRD tetap melakukan perjalanan dinas untuk studi banding ke daerah lain.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata membandingkan adalah memadukan (menyamakan) dua benda (hal dan sebagainya) untuk mengetahui persamaan atau selisihnya.
Sulit rasanya bagi kita untuk tidak membanding bandingkan, bahkan sekaliber istri kesayangan nabi, Aisyah ra, masih tergoda untuk melakukannya. Tetapi bukan membandingkan nabi dengan orang lain tentunya. Melainkan membandingkan dirinya sebagai satu satunya istri perawan yang dinikahi nabi. Karena cemburu kepada istri dan cinta pertama nabi, Khadijatul kubro, suatu hari Aisyah berkata pada Rasulullah, “Ya Rasulullah, jika engkau punya kambing, lalu ada dua taman, satu taman masih hijau rumputnya dan belum pernah dimakan oleh kambing mana pun. Satunya lagi taman yang sudah pernah diinjak-injak oleh kambing lain, kemana engkau akan menggembalakan kambing-kambingmu?”
Atas pertanyaan ini Rasulullah menjawab, "Tentu aku akan memilih taman yang rumput yang belum pernah dimakan kambing lain."
Dalam pertanyaan ini sebenarnya Rasulullah tahu bahwa Aisyah sedang cemburu kepada Khadijah.
Tetapi ketika Aisyah menegaskan kecemburuannya dengan membandingkan dirinya dengan Khadijah, Rasulullah menunjukkan ketidaksukaannya bukan kemarahannya.
Kata Aisyah, "Alangkah sering engkau mengingat perempuan yang ujung bibirnya telah memerah (mungkin maksudnya, sudah tua), padahal Allah telah menggantikan untuk engkau yang lebih baik darinya."
Marah Rasulullah mendengar ucapan Aisyah tersebut. Raut wajah beliau seketika memerah. Ditegurnya Aisyah dan ditunjukkannya seperti apa Khadijah.
“Tidak. Demi Allah aku tidak diberi ganti yang lebih baik daripada Khadijah."
"Ia beriman padaku ketika yang lain mengingkari, ia membenarkanku ketika semua orang mendustakanku, ia melimpahkan hartanya padaku ketika semua orang menyembunyikan tangannya, dan darinya Allah memberiku keturunan ketika dari istriku yang lain tidak.” (HR Muslim).
Setelah itu Aisyah tidak berani lagi membandingkan dirinya dengan Khadijah, beliau tahu betapa kuatnya kecintaan Nabi kepada Khadijah dihatinya.
Adapun Rasulullah, beliau tidak membanding bandingkan diantara istrinya, tetapi dihadapan masing-masing menjelaskan kelebihannya.
Begitupun para ulama, mereka tidak membandingkan antara Khadijah dengan Aisyah, tetapi lebih senang menonjolkan kebaikannya masing-masing. Ketika ditanyakan, Aisyah atau Khadijah yang lebih berjasa bagi umat?
Keduanya memiliki jasa besar bagi umat. Khadijah berjasa mendukung dakwah suaminya di awal Islam, yang ketika itu umat Islam masih sangat lemah keberadaannya.
Sementara Aisyah berjasa menyebarkan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para generasi setelahnya.
Dalam Bada’i al-Fawaid, Ibnul Qoyim menjelaskan,
Ada yang bertanya tentang Khadijah dan Aisyah – dua ummul mukminin, mana yang lebih afdhal? Jawabannya, perjuangan Khadijah lebih awal dan jasa beliau di awal Islam, serta pembelaan beliau terhadap agama, yang itu tidak dialami Aisyah atau para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya.
Kemudian Ibnul Qoyim melanjutkan,
Sementara jasa Aisyah di akhir dakwah islam (akhir hidup Nabi). Beliau memahami agama dan menyampaikannya kepada umat manusia. Serta pemahaman beliau terhadap ilmu sunah, yang ini tidak terjadi pada Khadijah atau istri Nabi lainnya, yang ini menjadi kekhususan bagi Aisyah. (Bada’i al-Fawaid, 3/684).
Betapa nabi tidak pernah membanding-bandingkan istri-istrinya, apa lagi membandingkan dengan wanita lain tentu menjadi pelajaran berharga untuk para suami. Karena, kata para ahli, wanita itu memiliki kemampuan menyimpan perasaan, baik rasa cinta maupun sakit hati (karena dibandingkan), selama lebih dari 40 tahun.
Jadi kalau kita punya istri saat ini berumur 50 tahun, boleh jadi ketika meninggal umur 70 tahun, dia belum melupakan perasaan itu.
Wong ko ngene kok dibanding-bandingke,
Saing-saingke, yo mesti kalah
Tak oyak'o, aku yo ora mampu
Mung sak kuatku mencintaimu
Ku berharap engkau mengerti, di hati ini
Hanya ada kamu (istriku)
Wallahua'lam bi shawab,
0 Komentar