Kini Mahasiswa, Esok Pemimpin



Oleh: Soenmandjaja Bin Roekmandis


Saudaraku, mahasiswa itu memang status mereka sekarang. Dengan segala penghormatan kepada angkatan muda yang bukan mahasiswa dari suatu Perguruan Tinggi.


Esok-lusa, mungkin saja di antara mereka ada yang menjadi guru, dosen, ulama, Kepala POLRI, Panglima TNI, menteri kabinet, anggota DPR/MPR RI, atau Presiden RI dan lain sebaginya.


Pada dasarnya mereka adalah calon pemimpin negara kita pada masa mendatang.


Teringat akan sejarah pergerakan mahasiswa. Mereka yang bergerak bersama ABRI dalam pergantian kekuasaan dari “Orde Lama” ke Orde Baru, tahun 1966.


Ada pergerakan mahasiswa dalam konteks kontrol sosial atas Pemerintah, seperti tahun 1974 dan 1978.


Pada awal 1974 saya sering “ikut-ikutan” menghadiri apel-apel mahasiswa, terutama di halaman Kampus IPB Baranangsiang, Bogor. Saya kagum atas semangat dan heroisme kakak-kakak mahasiswa.


Puncaknya adalah tragedi Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari) hari Selasa. Ketika itu bersamaan dengan kehadiran PM Jepang, Mr. Tanaka.


Konon hampir 1000 mobil buatan Jepang dan sekira 200 sepeda motor terbakar.


Saya menjadi mahasiswa tahun 1976. Pemilu tahun 1977 dan Sidang Umum MPR tahun 1978 pun marak dengan demonstrasi mahasiswa.


Sekira 1976-1977 saya sering menghadiri demonstrasi mahasiswa dengan orator para Ketua Dewan Mahasiswa.

Yang masih saya ingat antara lain Farid Fakih Rasyid, Indra Adil (IPB); Lukman Hakim (UI), Zulqarnain Djabar (IAIN Ciputat), Herry Achmadi (ITB), Iskadir Khotob (UNPAD), AR Noor (IKIP Bandung). 


Di kampus kami, UIKA Bogor, baru saja terjadi peralihan Ketum Dewan Mahasiswa dari SM Choirul Huda, yang kalem kepada Gandi Rivai, yang “progresif-revolusioner”. 


Tahun 1977 itu saya juga terpilih sebagai Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat UIKA-Cabang Bogor dan mendapat mandat dari Ketua umum DEMA UIKA sebagai Ketua Biro Masjid, menggantikan M. Surachmat (Kang Rachmat, Alm).


Puncak pergerakan kian eskalatif pada masa Sidang Umum MPR RI. Panggung-panggung orasi dan rangkaian demonstrasi semakin marak. Semakin sulit aktivis mahasiswa untuk sekadar berbincang dengan para petugas ABRI yg sedang melakukan tugas pengamanan di luar kampus. Terkadang sangkur sudah terpasang di moncong senapan.


Kamis, 23 Maret 1978 siang, di Jalan Abesin, ke luar dari warung gudeg usai makan, saya dipepet mobil jeep dinas CPM bermuatan empat anggota berpakaian dinas, memaksa menaikkan saya ke mobil jeep tersebut tanpa surat maupun kalimat kecuali, “Naik!!!”.


Saya anak tentara dan anggota Resimen Mahawarwan tidak merasa kaget, hanya tidak mengerti saja, tapi ya, saya patuh.


Saya sudah terbiasa membawa ransel hijau berisi pakaian dalam satu stel pakaian, handuk kecil, sikat gigi-odol, dan Alqur-an Terjemahan Depag.


Rupanya saya dibawa ke Markas DENPOM 061/Suryakancana, Jalan Juanda, persis di muka Istana, Kebun Raya Bogor.

Tiba langsung diterima oleh Mayor BL Singal (ketika itu saya mengenal beliau sebagai Dan Denpom).


Tentu saja beliau sudah membaca cv saya, seraya menyapa: “Ada apa kau, Soenman? Kau kan Menwa. Anak Tentara, pula?!"


Proses verbal langsung dilakukan oleh Serma Eddy Karyadi dan Serma Edi Djaelani.

Tuduhan makar dan menjurus kudeta. PNPS No. 11 Tahun 1963: “Subversif”!


Alhamdulillah saya tidak dimasukkan sel. Atas kemurahan komandan, saya disediakan kamar di sebelah ruang kerja beliau. Diperintahkannya staf beliau untuk memasang veltbed. “Kau ‘kan anak kolong, nanti tidur di situ, ya. Makanmu nanti datang ke warung kantin." 


Jumat, 24 Maret 1978 pagi usai senam dan sarapan saya dipanggil oleh Komandan: “Kau muslim? Kau Shalat Jumat?”

“Siap, Muslim,"

"Siap Shalat Jumat."


Berlima kami ke masjid yang terletak di Kampung Lebak Kantin. Bertiga berpakaian dinas, sedang satu mengenakan pakaian biasa. Kalau tak salah bernama Pelda HM Yasin.


Sekali-sekali datang seorang interogator dari Kepolisian, Kapten Suwardi, dari Intelpam Polresta 821/Kota Bogor.


Tgl 31 Maret 1978, saya diangkut sebuah truk dengan seorang pengawal berpangkat Kopda. Rupanya ke Makorem 061/Suryakancana, Jalan Merdeka, Bogor. Tanpa ada proses administrasi dan “ba, bi, bu” apapun saya langsung dimasukkan ke dalam sebuah sel. Brak!!! Digembok dan dipalang dari luar.


Sel sempit, kotor, tanpa penerangan, dan ternyata juga tanpa alas apapun.


Malam-malam di situ saya lalui dengan tidur tanpa alas, berganjal sepatu dan berbantal ransel.


Di daun pintu ada kotak tertutup, yang dibuka ketika meminta izin untuk ke wc atau saat jadwal makan untuk petugas memasukkan bungkusan nasi.


Shalat fardhu sebisa-bisa dilakukan di situ, terkadang terpaksa harus tayamum, karena pintu tak ada yang membukakan untuk saya berwudlu.


Dantim interogator ketika itu Mayor HM Djunaedi, tapi tak lama konon beliau sakit dan wafat. Wadantim-nya ialah Kapten Hartoyo.


Rangkaian interogasi, intimidasi psikis, hingga penyiksaan fisik, tidak diberi kesempatan untuk Shalat Jumat sama sekali.

Status saya sebagai tahanan titipan dari Laksus.


Saya mendengar “info tidak resmi” bahwa KH Sholeh Iskandar (Alm), Pak MA Mudjahid (Alm), Pak Achmad Djuwaeni (Alm) baru saja ditahan di Makodim 0606/SK.


Rupanya ada beberapa mahasiswa UIKA Bogor yang juga baru masuk tahanan Makodim: Wawan Sukmawan, Tazaruddin (Alm), An. Sudirman, dan beberapa rekan Pelajar Islam Indonesia (PII): Ade Machdizar, Dadun Supyatman, dan AK Basuni Masyarief (mahasiswa UIKA, Alm).


Saya berkenalan dengan petugas piket, Sertu Muh. Yusuf dan Kapten Mubarok (Kerohanian Islam, yang tak sengaja melihat sel saya).


Alhamdulillah diizinkan saya pel sebersih-bersihnya, seraya meminta lampu dan dikabulkan.


Bisa shalat fardlu dan sunnah di lantai bersih dan membaca Alquran pada malam hari meski dengan lampu temaram.


Saya pernah difoto-foto seperti layaknya tahanan oleh Kapten Mansjoer, Kasi I/Korem 061. Kalau tak salah Kolonel HR Komar D sebagai Danrem 061/Sk.


Saya lupa hari dan tanggalnya, tapi kira-kira setelah dua bulan disekap di sel dan Alquran pun dirampas, pada suatu pagi kami diangkut dengan sebuah mini bus.


Mengamati arah perjalanan setelah Tajur, Ciawi, Puncak, Cipanas, Cianjur, rupanya lanjut ke Bandung.

Dan, saya catat dalam ingatan, kami diturunkan di Balak Intel Kodam VI/Siliwangi, Jalan Sumatera 37, Bandung.


Saya dimasukkan kamar, bersih dan rapi. Di situ ada sebuah buku, terbaca berjudul Berpikir Positif oleh Dale Carnagie. Pada lembar pertama ada tulisan indah dan mungil: “Teruntuk Mas Herry Achmadi. Dari Adik-adik Mahasiswi ITB”.

Berdegup jantung seiring darah yang seakan mendesir di seluruh nadi, saat membaca nama Herry Achmadi, sang tokoh. Saya cari-cari informasi, konon Mas Herry dipindahkan ke Jalan Jawa, Bandung.


Di sini kami selalu shalat fardhu berjamaah, bisa Shalat Jumat, Qiyamul Lail atau Tahajjud hingga Shalat Shubuh berjamaah. Selalu sahur bersama untuk Shaum Sunnah terutama Senin dan Kamis.


Mereka rata-rata berusia jauh lebih tua dari saya. Rupanya tokoh-tokoh yang pada umumnya berlatar Gerakan Pemuda Islam (GPI) Indonesia. Usia saya ketika itu 20 tahun enam bulan.


Ada Pak (Mu’alim) Pepe Sjafii dan Pak Djadji, Cianjur; Kang Tatang Natsir, Kang Nunung Nurul Ichsan Pager Ageung (Badan Pembela Masjid Al-Aqsho), Kang Mamat, pemilik perusahaan Dodol Garut Picnic, dan banyak lagi.


Di sini tak ada penyiksaan maupun intimidasi.

Jauh...

Di sini sangat manusiawi.


Sekira satu semester, Ayahku (Roekmandis, Alm) datang membesuk. Alangkah bahagianya saya, bisa saling mendekap dan berciuman.

Kami minum bersama. Beliau menyampaikan salam dari Ibu dan keluarga. Duh, sangat sesuatu ...

Beliau berbisik, “Kamu hari ini boleh pulang!"

Kian berbinar dan serasa aku melompat tinggi.

Betul saja. Tak lama namaku dipanggil. Saya masuk dan diminta menandatangani surat perintah perubahan status menjadi TAHANAN RUMAH. Pejabat penandatangan di situ tertera Panglima Kodam VI/Siliwangi, Mayor Jenderal Himawan Sutanto.


Selanjutnya setiap hari Senin pukul 07.00 pagi saya wajib datang, lapor, dan teken di ruang Kasi 1 Korem 061/Sk.


Rentang 1978 - 1988, sekira 10 tahun saya tidak diizinkan mengajukan permohonan paspor, untuk alasan apapun.


Bahkan menjelang pelantikan sebagai Anggota DPR/MPR RI terpilih pada tahun 1999 saya tidak punya surat bebas.


Menjelang pelantikan, tanggal 1 Oktober 1999 saya bertemu Mas Herry Achmadi. Saya memperkenalkan diri kepada beliau serta rencana menyampaikan bukunya Berfikir Positif, “Udah, buat sampeyan saja!"


Ada beberapa mahasiswa ex “Angkatan 1978” yang menjadi Anggota DPR pada tahun 1999 itu. Demikian juga dengan mahasiswa “Angkatan Reformasi, 1998” yang saya kenal pada Periode 2009-2014. 


Mahasiswa yang kita hadapi sekarang, mungkin saja anak-anak kita sendiri. Namun, yang jelas mereka adalah “generasi penerus atau pengganti” generasi kita. Yang pasti, insya Allah mereka calon pemimpin Bangsa Indonesia dan NKRI 🇮🇩.


(Terhimpun dari sela-sela ingatan di belantara ingatan pribadi, lebih dari 40 tahun yang lalu. Sangat mungkin ada kesalahan. Mohon maaf dan koreksi.

16 September 2018


Keterangan foto dari kiri, atas, dan bawah: 1976, 1977, 1978.



Posting Komentar

0 Komentar