Belajar dari Keteguhan Keluarga Nabi Ibrahim AS

https://pixabay.com/id/images/search/gurun%20arab%20saudi%20/
Foto: pixabay 


Oleh: Eka Wardana*


Setiap hari raya Idul Adha, ribuan kenangan tentang Makkah, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail kembali menyergap jiwa yang bergetar. Kenangan itu datang tiba-tiba melalui pakaian ihram, wukuf di Arafah dan rangkain ibadah haji yang sakral. Memesona siapa saja yang terpanggil ketika takbir, tahlil dan tahmid berkumandang. Atau kalimat talbiyah yang terus terucap dari jamaah haji, tiada henti. Panggilan suci menggaung sepanjang bulan Dzulhijjah. 


Manusia beriman memaknai rangkaian ibadah haji bukan sekadar ritual. Tetapi panggilan jiwa yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang terpilih. Sebagaimana Nabi Ibrahim yang diperintahkan oleh Allah menuju tempat yang tandus. Kering kerontang, tanaman dan hewan enggan singgah di sana. Yang nyatanya, setiap tahun lebih dari lima juta orang berziarah ke sana. Napak tilas manusia suci, bapak para nabi, Ibrahim Alaihissalam. Yang sepanjang seorang muslim salat terlantun salawat kepadanya. 


Jika terpanggil, seorang tukang becak rela menyisihkan penghasilan hariannya untuk makan dan minum yang kurang itu untuk memenuhi undangan suci ke Baitullah. Seorang buruh tani bertahun-tahun mengumpulkan uang hingga mampu membayar ongkos berangkat haji. Yang bagi berpunya sama dengan penghasilannya beberapa bulan. Namun, namanya saja panggilan suci. Hanya yang tertera dalam lubuk keimanan yang benar-benar mendapatkan tiket. 


Datanglah dengan mengendari unta yang kurus, itu perumpamaan yang sangat tepat betapa dengan susah payah ibadah ini dijalankan. Bukan dengan unta gemuk berwarna merah yang mahal harganya. Tetapi datanglah dari tempat yang jauh menggunakan unta kurus. Bahkan dengan berjalan kaki. Dan tentunya sekarang ini jauh lebih memadai untuk menunaikan ibadah haji. 


Nabi Ibrahim tak pernah bertanya kepada Allah, untuk apa datang ke padang tandus kering tanpa pepohonan dan hewan yang menghuni. Namun padang tandus, dua tempat paling berkah di muka dunia ini menyimpan segala kebaikan. Doa dikabulkan, dosa digugurkan. Jutaan manusia memohon ampunan dan memanjatkan doa.


Sebab itu Abrahah bernafsu melenyapkan Baitullah. Obsesinya kandas oleh hujan batu burung Ababil. Pasukan kebanggaannya luluh lantak seperti daun dimakan ulat. Dan hingga kini upaya untuk melenyapkannya tak pernah berhasil. Allah menjaganya sepanjang waktu, pagi, siang, malam selamanya. Setiap peziarah takjub memandang Baitullah, bangunan yang sederhana namun segala kebaikan ada di dalamnya.


Kenangan juga soal, Safa Marwa, sumur Zamzam yang aliran airnya tiada berputus. Keteguhan seorang ibu yang kasih sayangnya melampaui Safa Marwa, dan air yang mengalir sepanjang zaman. Tak merengek kepada suami karena butuh ini dan itu, tetapi memohon tak kenal lelah kepada Allah. Dengan keyakinan penuh pasti dikabulkan. Dan seorang suami yang mampu mendidik istrinya pantang menyerah pasrah kepada Allah. Keteguhannya diabadikan sebagai bagian integral ibadah haji. Safa-Marwa soal keyakinan dikabulkannya doa, saksi mata betapa Allah tidak akan meninggalkan hambanya.


Wukuf di Arafah, sepanjang hari memanjatkan doa, memohon pengabulan doa dan berguguran dosa. Mengenakan pakaian ihram yang putih tanpa embel-embel apapun. Sebagaimana berkumpulnya manusia di padang Mahsyar. Tempat berkumpul paling akhir sebagai manusia. Hanya berbekal amal semata, tak bisa koneksi apalagi harta dan tahta. Hanya tenda sederhana, semua atribut dunia ditinggalkan. Tunduk, pasrah kepada Allah 


Melempar Jumrah di Akabah. Menjadikan syaitan dan sekutu sebagai musuh yang nyata. Bukan sebagai sekutu yang diturut. Sejak seorang mendeklarasikan dirinya sebagai muslim, sejak itu ia memiliki musuh selamanya. Yakni syaitan. Hanya ada dua pilihan, kalah mengikuti jalannya atau menjadi musuh selamanya. Dalam kehidupan nyata, banyak yang keliru menjadikan syaitan sebagai kawan karib dan memperlakukan orang beriman sebagai musuh yang nyata. Sebab itu, haji menjadikan itu semua menjadi jelas. Nabi Ibrahim menunjukan bagaimana bersikap terhadap musuh manusia beriman. Dan sekali lagi, langkah ini menjadi bagian yang menyatu dalam ibadah haji. 


Rangkaian ibadah haji tidak bisa dilaksanakan disembarang tempat dan waktu sebagaimana usulan orang-orang yang iseng. Wukuf di Arafah, lempar Jumroh di Akabah, Tawaf di Baitullah, Sai di Safa-Marwa dan seterusnya. Mereka menjalankan bersama, tertib tidak ada yang mengomando, hanya iman yang membimbing. Jutaan manusia melakukan ritual yang sama, tertib, khusyu dan tenang. Melahirkan solidaritas keimanan tanpa batas ruang dan waktu. Sepanjang takbir, tahlil dan tahmid berkumandang itulah saudara seiman. 


Pemerintah Hindia Belanda memberi embel-embel kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji dengan gelar Haji. Mereka tahu, tempaan keimanan selama melakukan ibadah haji berpengaruh nyata dalam kehidupan sekembali ke tanah air. Mendapatkan ruh keimanan sebagaimana Nabi Ibrahim menjalankan perintah Allah. Menjadi orang-orang yang merdeka karena terbebas dari belenggu musuh yang nyata, yakni syaitan dan sekutunya. Menggantungkan sepenuhnya kepada Allah, dan menyerahkan jiwa raganya hanya untuk Allah. Sebab itu, ibadah haji bukan semata menjalankan ritual, namun perjalanan memaknai hakikat keimanan dan kemanusiaan. Semoga menjadi haji mabrur, begitu ucapan yang disampaikan kepada tamu Allah itu. 


Pakansari, 1 September 2017

* Guru PKn dan IPS, pegiat literasi.

Posting Komentar

0 Komentar