Politik Halal Bihalal



Oleh: Subhan Triyatna, Humas PKS Kabupaten Cirebon


Halal Bi Halal bukan sekedar silaturahim saat atau pasca Idul Fitri, makan-makan dan maaf memaafkan antar sanak saudara atau sahabat. Lebih dari itu, Halal Bi Halal sebenarnya bernuansa sangat politis, setidaknya pada pertama kali istilah itu dibuat.


Tahun 1948 ketika masih dalam era Revolusi, Bung Karno menyadari bahwa adanya ketegangan antar elit politik kala itu. Adu ide dan gagasan antar elit terkadang sampai mengeraskan urat leher. Bung Karno merasa bahwa situasi ini kurang bagus untuk Negara yang baru berdiri. Perlu adanya pencairan suasana atas kondisi “panas” antar elit politik.


Bung Karno akhirnya memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) di pertengahan bulan Ramadhan tahun itu untuk dimintai pendapat tentang momen yang tepat mengumpulkan para elit guna meredakan situasi yang sedang panas tersebut. 


Kyai Wahab Chasbullah kemudian memberikan saran untuk membuat agenda silaturahim. Namun Bung Karno sangsi bahwa para elit politik tersebut mau hadir karena acaranya terlalu biasa.


Kyai Wahab Chasbullah kemudian mengusulkan untuk mengadakan silaturahim pada saat hari Raya Idul Fitri dengan menggunakan istilah Halal Bi Halal. Halal Bi Halal bermakna halal menghalalkan. Menurut Kiai Wahab Chasbullah, Elit politik ini tidak mau bersatu karena sering saling menyalahkan. Saling menyalahkan adalah dosa. Sedangkan dosa itu haram. Maka, agar kembali rukun, perbuatan haram itu harus dihalalkan dengan saling memaafkan. Bung Karno setuju dan kemudian lahirlah istilah Halal Bi Halal.


Halal Bi Halal ini bukanlah istilah asli dari literatur Islam. Namun, makna atau esensi kegiatan ini merupakan salah satu ajaran islam yang penting yaitu salin maaf-memaafkan. Halal Bi Halal kemudian menjadi tradisi yang melekat di masyarakat Indonesia sampai hari ini. Makna Halal Bi Halal meluas yang tadinya adalah momen rekonsiliasi elit politik menjadi agenda berkumpul masyarakat saat atau pasca idul fitri.


KEMBALI KE MAKNA AWAL


Makna Halal Bi Halal memang meluas namun justru kehilangan makna aslinya. Mulanya adalah untuk meredakan konflik politik khususnya di tataran elit. Padahal saat ini, aroma konflik bukan hanya di kalangan elit, namun hingga ke masyarakat umum. Terbelah akibat residu pemilu lalu dengan istilah yang populer: “Cebong vs Kampret”.


Hari ini kita sangat membutuhkan Halal Bi Halal yang dilakukan bukan hanya di keluarga atau golongannya saja, namun lintas kubu dan golongan. Seperti yang dilakukan Bung Karno dahulu, mendudukkan satu meja antar kubu elit yang bertikai. Bedanya, hari ini bukan hanya elit yang berseberangan yang perlu didudukkan satu meja, namun juga antar elemen masyarakat yang saling hujat karena berbeda pilihan.


DARI PERTANDINGAN KE PERLOMBAAN


Meskipun barangkali pertemuan itu tidak bisa menyatukan menjadi satu kubu antara elemen yang bertengkar, setidaknya Halal Bi Halal bisa merubah paradigma persaingan mereka. Dari sebelumnya Pertandingan menjadi sebuah Perlombaan.


Pertandingan merupakan ajang untuk saling menjatuhkan. Seseorang dianggap menang jika dia bisa mengalahkan lawannya atau menjatuhkannya. Seperti pertandingan Tinju, Petinju dianggap menang jika lebih banyak memukul lawannya atau membuatnya jatuh K.O. Paradigma inilah yang ada di masyarakat yang terbelah. Khususnya terlihat di media sosial. Mereka saling menjatuhkan lawan bicaranya dengan menyerang pribadi bukan lagi dengan argumen.


Sedangkan perlombaan adalah peserta bukan fokus menjatuhkan lawan namun fokus mencapai garis finish. Seperti lomba balap karung, peserta yang menang adalah yang terlebih dahulu mencapai garis finish, bukan yang terbanyak menjatuhkan lawannya. Paradigma inilah yang harapannya tertanam dalam hati elit politik atau masyarakat yang bertikai dengan adanya momentum pertemuan Halal Bi halal itu.


Perbedaan pandangan khususnya di medan politik harusnya menjadikan setiap kubu berlomba mewujudkan ide nya dengan bekerja untuk bersama-sama mencapai cita-cita pendirian Negara Indonesia: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.



Posting Komentar

0 Komentar