Tentang Algoritma, Filter Bubble, Engagement Hingga Post Truth



Berterima kasihlah pada Eli Pariser, yang mendengungkan pertama kali algoritma internet yang mengekor pola interaksi kita di duni maya yang ia namai sebagai Filter Bubble. Yang dengannya membuat kita, atau sebagian dari kita tepatnya menjadi lebih berhati-hati dalam beraktifitas di dunia maya.


Filter bubble membuat kita terperangkap dalam dunia yang "tampak seragam" dalam habitat digital kita. Sehingga ketika ada orang yang berbeda pendapat dengan kita, tak cukup hanya dengan mengernyitkan dahi bahkan kita sangat mungkin menganggapnya "out of mind".


Filter bubble terbentuk dari riwayat engagement kita dengan konten-konten di internet. Riwayat klik, riwayat like, komentar, search, yang secara tak sadar membuat kita masuk dalam gelembung besar fiksi, memisahkan kita dengan realita keragaman ekspresi berpendapat.


Itu sebabnya wall facebook anda akan penuh berisi dukungan dan informasi tentang LGBT lengkap dengan dukungan emosional maupun "ilmiah" yang dengannya anda bisa menganggap "banyak kok yang menganggap LGBT itu hal yang wajar" dan menganggap mereka yang menentang LGBT sebagai orang-orang radikalis yang minoritas dibanding yang mendukung.


Itu sebabnya wall facebook anda akan penuh dengan sentimen toleransi, liberalisasi agama, dan tak ragu lagi menggugat sakralisasi agama ketika anda seringkali like konten-konten para liberalis, searching artikel-artikel mereka, dan aktif berkomentar dalam kolom komentarnya. Lalu jika ada orang yang menganggap agama adalah suatu yang layak dibela, anda akan menganggapnya terbelakang. Karena dalam bubble anda, semua orang tampak enteng-enteng saja membicarakan agama.


Atau anda yang hobi ngontel tiba tiba wall berisi dengan orang yang punya hobi sejenis, picture profil di atas sepeda, hingga iklan belanja online yang nongol di kolom ads sebelah kanan wall berisi gir dan rangka sepeda yang pernah anda cari si lapak online dan pernah di klik sebelumnya. 


Itu termasuk dengan headline "click bait" yang membuat netizen mengalami penyakit baru dalam berinteraksi dengan konten digital, dia like konten nya, dia capture judulnya, tapi tak pernah baca isinya.


Dari filter bubble effect inilah, (mungkin) kemudian kita akan perlahan mengalami apa yang disebut sebagai Post Truth. 


2016 lalu Oxford Dictionary, menobatkan "Post Truth" sebagai Word of The Year. Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana perasaan, keyakinan pribadi menjadi pertimbangan utama dibanding fakta fakta yang ada. 


Secara spesifik, salah satu kamus online berpengaruh ini mendeskripsikan Post Truth sebagai "istilah yang berhubungan dengan atau mewakili situasi-situasi dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibanding fakta-fakta yang obyektif."


Setelah di runut lebih jauh, istilah ini pernah digunakan dalam salah satu literatur di tahun 1992 yang menyikapi perang teluk saat itu. Meski istilah ini mendulang popularitas dan dibakukan setelah Donald Trump mengguncang US dalam gegap gempita pilpres. 


(Kita sama sama tahu, bagaimana skandal konsultan pemenangan Trump yang mengambil keuntungan dari pola interaksi netizen di dunia digital tadi, khususnya facebook hingga akhirnya menyeret Mark Zuckerberg.)


Dalam kondisi ini, seseorang sampai pada kondisi dimana fakta-fakta yang bahkan tak terbantahkan sekalipun jadi sesuatu yang tak relevan lagi baginya. Secara psikologis ia seperti "membatu" dengan pendiriannya, meski disodori bukti-bukti yang valid pun, dengan tegas ia akan menolak, menyangkal dan memilih pandangan pribadi dan sisi emosionalnya. 


Maka berhati-hatilah dalam berinteraksi, sesekali keluar lah dari gelembung itu, cari informasi-informasi penyeimbang, search berulang ulang lagi konten postingan meskipun itu hal yang sepele, apalagi ketika berniat repost. 


Karena saya sendiri pernah merasakan dituduh murtad, atau liberalis, bahkan tukang hoax, hanya karena saya meluruskan tentang foto-foto hoax pembantaian muslim rohingya yang banyak beredar dan meng-compile foto foto hoax itu jadi album foto hoax Rohingya di akun facebook saya.


Studi kasus foto yang pernah viral di tahun 2018 ini. Saat itu ada foto Sandiaga Uno mengulurkan tangannya hendak menyalami Jokowi, lalu dinarasikan bahwa Jokowi tidak mau menyambut uluran tangan itu. 


Jika mendapatkan hal seperti ini, jangan langsung percaya! Jangan terkena jebakan.

Lebih teliti lagi, cari sumber-sumber lain, dan hati-hati. Jangan sampai ketika diingatkan anda malah berbalik menuduh yang mengingatkan tukang hoax, sudahlah hidup dalam gelembung, mengidap post truth pulak.

Karena...





--------------------------------------------------------------------------


Andy Windarto

Posting Komentar

0 Komentar