PKSFoto/Lela Nur |
Detti Febrina
Kalau sudah bahas tema jilbab, biasanya gak saya tanggapi atau kalaupun perlu ditanggapi saya akan bilang: kita ini kadang gak adil ya dengan anak-anak kita sendiri, padahal kita mudah memaklumi anak-anak orang lain..
Demikian Ustadzah Yuliani Idrusi menanggapi otokritik tentang "kelakuan" anak-anak kader yang dianggap tak berbekas pasca lulus/keluar dari pesantren boarding. Indikatornya antara lain dari jilbab yang - bahasa para kritikus: makin naik-naik ke puncak gunung. Maksudnya si jilbab cenderung mengecil, tak lagi lebar sebagaimana waktu masih mondok.
Saya sendiri punya 2 anak gadis. Dulu juga sempat berhusnuzhon mengapa jilbab yang dipakai di Al Kahfi - pesantrennya Tsabita dan Tsaqifa - harus 12 cm di bawah sikut lengan. Padahal syarat menutup dada ya ga harus 12 cm di bawah sikut tho.
Sederhana pikiran husnuzhon saya. Karena ini lembaga pendidikan. Pesantren/sekolah. Wajar kalau ada penyeragaman outfit yang dipakai peserta didik. Standar pesantren/sekolah tentu saja berbeda dengan standar di luar pesantren/sekolah. Keduanya punya standar berbeda, namun sama membawa kebenaran, bukan?
Tapi pasca pesantren, begitu jilbab anak-anak kita 'mengecil', tembakan kritik aneka bentuk datang dari berbagai arah. Bak lepas dari kerangkeng-lah, macam bukan anak ustadz-lah, dan semacamnya 😩.
Padahal anak-anak ini sejak dalam kandunganpun sudah diajak ngaji, sudah diajak berdakwah, sudah dibekali nilai-nilai kehidupan yang baik. Masih ga yakin juga rupanya kita bahwa nilai-nilai baik itu tertanam jadi karakter.
"Memangnya kenapa ya, Mi kalo aku suka pake blazer dan sepatu boot? Secara syar'i ga salah, kan?" - parafrase seorang umi tentang anak gadisnya.
Atau sebaliknya remaja shalihat yang memang gak suka fashion ya gak perlu juga dipaksa kudu modis sadar fashion.
Keduanya tak butuh orang tua yang konsisten judging parenting, ortu yang hadir hanya untuk selalu menghakimi. Jilbab mengecil, tapi masih menutup dada, kan? Tidak menerawang, rambut ga keliatan? Kalaupun iya, tegur dengan lembut. Jangan macam PJ kedisiplinan pesantren 😶
Prinsipnya selama mereka masih paham bingkai, temani, beri support. Coba tanya semua pembina yang mengelola kelompok anak kader, berapa banyak mutiara yang sering mereka dapati dari putra-putri ideologis sekaligus biologis ini, dibanding dari kelompok lain?
Banyak sekali. Karena mereka memang se-istimewa, seberharga, dan seunik itu. Saya pernah diberi kehormatan serupa, dan membina anak-anak kita ini - dengan segala keunikannya - jadi salah satu pengalaman tak terlupakan yang sekaligus dirindukan.
Rasa-rasanya masih berat bicara transformasi dan kolaborasi jika kita para orang tua lupa merenung.
Bukan cuma wajib mendoakan dan mendidik anak salih salihah, tapi juga mendoakan dan mendidik diri kita sendiri - sebagai orang tua - agar jadi ortu salih salihah, antara lain dalam arti tak meletakkan ekspektasi melebihi kapasitas anak.
Bagaimana agar sekuat tenaga menanamkan nilai tanpa jadi ortu toxic.
Makin tinggi ekspektasi, makin menjauh mereka pergi. Kita melangkah karena harapan, tapi yang pertama mereka butuhkan dari orang tua adalah perhatian tulus dan kasih sayang tanpa syarat. Dan coba diingat-ingat lagi, waktu seumur mereka dulu kita bandelnya seperti apa?
#pesandiri
Wallahu alam bishshawab
Bandar Lampung, 22022022
*jilbab hanya salah satu indikator yang bukan kebetulan paling mudah dilihat. Buat anak lanang mungkin indikatornya berbeda, tapi semoga pesan mortal tulisan ini bisa diterima. Sekian, terima gaji.
0 Komentar