Sudjiwo Tedjo ngedalang di Raker Fraksi PKS DPR RI tahun 2015 |
Akhirnya tak kuat menahan jari untuk tidak nduleki qwerty HP. Meski tak sedikit orang yang menyebut saya sebagai dalang, sama sekali saya merasa jauh dari sebutan itu. Sebab, bagi saya, dalang adalah sebuah sebutan yang menunjuk nyaris pada kesempurnaan jiwa manusia. Mengapa? Ya... seorang dalang yang identik dengan kecakapan bercerita, cakap pula ia menempatkan empatinya pada tokoh yang dihidupkan. Pada empati pada keluhuran manusia, ia pintar menempatkan diri sebagai ksatria, prajurit, raja bahkan sampai seorang resi yang mumpuni. Saya jauh dari kecakapan itu semua.
Tetapi sebagai pecinta wayang, saya berani berkata sebagai pecinta sejati. Dari kecil, saya sudah bersama wayang dari sekedar bermain-main wayang kardus hingga menjadi seorang perajin wayang kulit sungguhan. Saya bersekolah dari SMP sampai kuliah, menyambung hidup dengan membuat wayang. Ketika sampai pada titik lain fase kehidupan, saya ingin punya perangkat gamelan lengkap dan sekotak wayang lengkap sebelum genap usia 50 tahun. Atas ijin Allah, itu tercapai.
Kemudian, saya tidak sekedar kumpul dengan komunitas dalang. Bahkan oleh sebagian besar teman-teman dalang, saya pun dipercaya terlibat dalam wadah Pepadi Kabupaten. Ya! saya bukan dalang, tetapi saya pecinta wayang dan mencintai seniman wayang.
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid bersama budayawan Kirun dalam pagelaran wayang di DPP PKS tahun 2019 |
Tapi, akhir-akhir ini saya gegrebegen dengan kemarahan sebagian para dalang atas ketersinggungan mereka atas pernyataan musnah tentang wayang. Dalam hidup, sanjung dan penghinaan itu biasa. Dan dalam komunitas, apapun itu, disanjung dan dihina itu biasa. Tapi, dunia punya kearifan sendiri selama sesuatu itu adalah kewajaran, yang menghina itu selalu lebih sedikit orang. Bahkan hanya segelintir orang. Kalaulah yang menghina itu digolongkan bagian ulama, tentu ia hanyalah sedikit ulama diantara banyak ulama yang menaruh hormat terhadap wayang dan para senimannya.
Ada wewarah luhur yang selalu diajarkan para dalang saat ia berperan sebagai seorang pendita. Misalanya Ngalah tan hanggunggung diri, yang sering disandarkan sebagai hambeg kapanditan. Ngalah itu bukan kalah. Tetapi kebesaran jiwa untuk membuat orang lain sekedar merasa senang atas kemenangan. Karena, perasaan menang itu bagian kesenangan manusia. Tetapi tentu lebih luhur dengan jiwa membuat orang lain senang, dan itu diberikan dengan ngalah yang disertai tak menepuk diri sebagai besar, mulia dan lebih segalanya (tan hanggunggung diri). Lebih lengkap lagi, jika dalang mengupas hastabrata, yaitu delapan kearifan alamiah yang diambil dari watak delapan wujud semesta dari matahari, bumi, laut, bulan, bintang, api, langit dan mendung. Ada juga yang menyebut gunung. Dari semua itu, dalang adalah pribadi teduh yang tidak mudah terbakar oleh api penghinaan. Karena dalang pernah pula menyayangkan sikap berlebihan kaum agamawan yang berlebihan karena merasa seseorang bersikap yang ditafsiri sebagai sikap arogansi seseorang menghina agama.
Nah, sekarang dhalang diuji dengan perkataan yang sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kemusnahan wayang. Dhalang yang menjadi motor toleransi, bahkan sebagian ditempatkan sebagai agen toleransi, mestinya lebih paham dari saya tentang makna paham terhadap toleransi. Dalam rangkum makna toleransi, ia sering dipahami sebagai perbedaan. Dan tentu, sebagai seorang yang berjiwa toleran (tasamuh dalam bahasa agama), menyikapi perbedaan cukup dengan senyum. Yang dengan itu lebih memancarkan kebijaksanaan daripada dengan marah yang lebih banyak memancarkan kekanak-kanakan.
Ya...! lestari dan musnahnya wayang bukan tergantung pada ucapan seseorang yang dipredikatkan ulama dengan gelar doktornya. Masih banyak jutaan ulama yang bukan saja punya fatwa membolehkan wayang, bahkan mereka turut melestarikan dengan cara mereka. Kemusnahan wayang bukan terletak pada kebencian sedikit orang, tetapi bisa jadi malah para seniman wayang pun menjadi dosa atas kemusnahan wayang jika mereka kurang memperhatikan pendidikan apresiasi tentang wayang pada khalayak. Sebaik apa pun para dalang mendalang, tetapi jika nalar dan apresiasi khalayak tidak terbangun, tak ubahnya dalang kondang yang memainkan wayang pada masyarakat di bumi lain yang sama sekali tak mengerti wayang.
Ada wewarah yang sederhana, yang pantas direnungkan. Lihatlah apa yang tersembunyi, dan dengarlah apa yang tidak bersuara. Gaduh tentang isu musnah wayang itu sebenarnya adakah ancas kang sinandi? Jangan sampai malah Dalang dan seniman wayang lain yang terbakar oleh api yang dinyalakan orang. Padahal, akan bijak jika api itu untuk mematangkan jiwa dan keluasan hati para dalang.
Tulisan ini tentu juga tidak serta merta disetujui banyak orang. Jika pun lebih banyak yang tidak sependapat, setidaknya memberikan saya tentang memahami perbedaan.
Ki Wignya
0 Komentar