Alex, Pemuda yang Nyaman Dalam Pelukan Banser dan PKS



Nama saya Alex. Bukan nama asli tentunya. Nama sengaja saya samarkan bukan karena saya malu jika orang lain tahu saya yang membuat tulisan tak seberapa ini. Bukan pula karena nama pemberian orangtua saya tidak sekeren nama Alex. Hanya saja, saya tak ingin pembaca terfokus pada siapa sosok yang diceritakan. Silahkan ambil hikmah dari perjalanan hidup seorang muslim bernama Alex ini. Perjalanannya mencari ketenangan, hingga Ia terbenam dalam pelukan organisasi partai politik bernama PKS. 


Saya lahir dan besar dalam keluarga Nahdliyin tulen. Saya memang sudah NU sejak sebelum lahir. Kenapa demikian? Karena sejak dalam kandungan, kedua orang tua sudah sering membacakan Yasin dan Tahlil. Saat lahirpun dibacakan marhaban atau Albarjanzi. Ayah saya seorang tokoh Nahdatul Ulama di kampung halaman. Sang Ayah yang juga pengikut aliran Toreqoh Naksabandiyah itu dipercaya sebagai imam tetap salah satu masjid di sebuah daerah di Sumatera. 


Latar belakang Ayah itulah yang membuat saya memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang keyanikan yang dianut, Islam Rahmatan Lil Alamin. Ayah membekali saya dengan banyak ilmu dan nilai-nilai religiusitas. Meski begitu, pengetahuan tak selalu berbanding lurus dengan pemahaman. Karena tahu hanya sekedar tahu, belum merasuk hingga ke kalbu, apalagi mengamalkannya secara sempurna. Maklum, laki-laki itu hanyalah seorang anak muda yang sedang mencari jati diri.


Ayah begitu menginginkan anaknya menjadi seorang mualim besar. Meski waktu itu saya tidak memiliki keinginan yang sama dengan harapan Sang Ayah, namun tetap berusaha mewujudkan mimpi Ayah tercinta. Untuk itu, selesai mengenyam pendidikan dasar dan menengah, Saya pergi meninggalkan kampung halaman menuju sebuah kota.  Setibanya di Kota itu, saya nyantri di sebuah Pondok Pesantren yang cukup terkenal dan memiliki ratusan santri dan alumninya sudah mencapai puluhan ribu orang.  Pesantren ini bercorak NU.  


Ditempat yang diberkahi itu, saya belajar banyak hal. Mulai dari Bahasa Arab, Kitab Kuning, akidah, akhlak, hingga belajar bercocok tanam. Lokasi pesantren memang cocok untuk bercocok tanam, disekelilingnya membentang sawah luas. Saya dan beberapa santri lain biasa membantu pengasuh pesantren, Abah Kiyai untuk menggarap sawahnya setiap akhir pekan.


Di luar jam belajar, Saya aktif dalam kegiatan ekstra. Darah NU yang diwariskan membuat saya tertarik dan akhirnya bergabung dalam salah satu organisasi bernama Barisan Ansor Serbaguna (Banser). Selain darah NU, postur tubuh tegap menjadi modal untuk bergabung dalam barisan pemuda tersebut, sebagai garda terdepan pengamanan para kiyai dan tamu-tamu besar. Setelah mengikuti pendidikan dan latihan dasar yang cukup menguras tenaga, akhirnya saya berhasil memperoleh sertifikat sebagai anggota Banser berikut dengan seragam loreng mirip tentara. Tak ayal, itu membuat saya bangga. Sebagai anggota Banser, Saya tak hanya dibekali pemahaman tetapi juga ilmu bela diri.


Setelah dua tahun menimba ilmu di pesantren, saya mulai berpikir, Ilmu yang dikuasai saat itu tidak akan cukup mengejar kesuksesan dan dibanggakan orangtua. Kemudian saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi. Jarak kampus dan pesantren yang cukup jauh, membuat saya memutuskan untuk berhenti dari pesantren. 


Namun saya tidak memiliki kerabat dekat disana. Solusi terbaik yang ditemukan waktu itu adalah dengan menjadi marbot masjid yang terletak tidak jauh dari kampus. Setidaknya ada dua keuntungan yang diperoleh dengan menjadi tukang bersih-bersih masjid. Pertama memperoleh pahala, Insyaallah. Kedua memiliki tempat tinggal gratis yang dekat dekat kampus. Menetap di rumah Allah membuat saya lebih relijius (setidaknya itu yang dirasakan). Menjadi muadzin tetap pada setiap panggilan sholat dan sesekali menjadi imam saat imam tetap tidak solat di masjid tersebut.


Jika di lingkungan pesantren dulu saya masih sering melakukan aktivitas merokok, kali ini tidak bisa. Bahkan untuk sekedar melepas kerinduan melinting tembakau pun sulit dilakoni. Maklum saja, aktivitas merokok memang tidak diperbolehkan di masjid itu. Setidaknya itu memang yang menjadi kontrak ‘politik’ antara pengurus masjid dengan calon marbot sebelum saya masuk . Ditambah rekan-rekan satu tempat tinggal juga tidak merokok. Meski begitu, saya masih bisa curi-curi kesempatan, dengan cara mengunci kamar saat sedang sepi atau saat di kamar mandi.


Masjid yang saya diami itu ternyata menjadi  markas para mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Dakwah Kampus. Awalnya saya tidak begitu penasaran dengan apa yang mereka lalukan. Mungkin mereka hanya berkumpul dan berdiskusi di masjid, tidak ada yang istimewa. 


Setiap selepas dzuhur, saya mulai mengamati ‘lingkaran-lingkaran’ kecil yang dibentuk para anggota kelompok diskusi itu. Dari hasil pengamatan, saya menyimpulkan diskusi itu dipimpin oleh salah seorang yang lebih senior dari yang lainnya. Para junior terlihat serius memperhatikan Sang Senior menjelaskan teori-teorinya di papan tulis putih kecil. Entah apa yang senior tuliskan di atas papan. Rasa penasaran saya semakin besar ketika mendapati keramahan para aktivis kampus itu. Sesekali mereka mengajak berdiskusi atau sekedar ngobrol santai bersama.


Intensitas pertemuan yang semakin sering membuat saya bergabung dengan mereka. Keramahan dan kebaikan hati kakak-kakak tingkatnya itu lah yang membuat saya mau bergabung. Mungkin itulah yang disebut, “Apa yang disampaikan dengan hati, akan sampai ke hati pula!”

Setelah bergabung, amanah yang diberikan adalah menyampaikan kebaikan dimanapun kami berada. Sebetulnya menyampaikan kebaikan itu bukan hanya tugas aktivis, setiap manusia memiliki amanah yang sama untuk urusan satu ini. Karena pada prinsipnya setiap insan adalah pendakwah, setidaknya untuk diri dan keluarganya. 


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. ( QS : At-Tahrim : 6)

 

Makin Merasa Nyaman 

Semakin lama, saya semakin merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam kegiatan yang disebut tarbiyah oleh teman-teman PKS itu. Perlahan kebiasaan buruk seperti merokok mulai hilang sama sekali. Kenyamanan itu berbuah totalitas dalam melaksanakan amanah yang diemban. Satu hal lain yang menarik dalam tarbiyah, terdapat proses transfer ilmu antara orang yang lebih dulu mengaji kepada mereka yang lebih baru. Transfer ilmu itulah yang saya yakini sebagai sarana belajar paling efektif. Karena esensi belajar itu sendiri adalah mengajarkan. Saya mulai belajar menjadi guru untuk anak sekolah maupun mahasiswa adik angkatan. Tidak banyak yang diajarkan, yakni mengajak mahasiswa untuk maju dan hal-hal positif lainnya. Seiring berjalannya waktu, ternyata salah satu murid saya tumbuh besar dan menjadi orang luar biasa dan pada akhirnya juga menjadi penerus dan memimpin sebuah organisasi.


Setelah lulus kuliah, saya diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta. Nah pasca kampus ini komitmen konsistensi dalam dakwah diuji. Saya tinggal di salah satu kabupaten yang cukup jauh dari ibu kota provinsi. Konsekuensi pekerjaan yang diperoleh itu, jarak 50 kilometer harus ditempuh setiap pekan menuju sebuah kecamatan, untuk sekedar mengaji dan melepas rindu dengan teman-teman PKS. Jika pertemuan dimulai ba’da magrib, saya biasanya jam empat sore sudah berangkat dan pulangnya pukul sepuluh malam. Saya melintasi jalan yang gelap dan dikenal rawan begal dan rawan kecelakaan di Sumatera itu.

Meski kadang terlontar keluhan bahkan sempat terhenti beberapa pekan tidak hadir pengajian karena didera lelah, saya selalu punya cara untuk kembali bangkit. Kecelakaan yang sempat saya alami saat perjalanan mengaji tidak membuat jengah untuk kembali menemukan semangat. Satu hal yang saya pahami. Karakteristik keimanan kadang meningkat, kadang melemah. Dalam pengajian selalu diingatkan tujuan hidup seorang manusia tak lain hanya mengumpulkan bekal menuju hari yang kekal setelah kematian. Satu sama lain saling mengingatkan ketika lengah. Saling menguatkan ketika lemah. Di daerah itu, kecintaan terhadap dakwah Islam juga ditunjukkannya dengan membina kelompok pelajar dan orang dewasa. Kelompok pelajar adalah anak-anak SMA. Sedangkan kelompok dewasa adalah karyawan sebuah rumah makan yang cukup terkenal. Seluruh pegawai yang ada ditempat itu diwajibkan untuk mengaji oleh pemiliknya. Alhamdulillah.


Setelah sekian lama bekerja dan mencari jati diri, saya pun menikah dan melanjutkan kuliah program magister. Kemudian memutuskan untuk pindah kerja dan menetap di kota. Kini saya terus berupaya konsisten di jalan dakwah ini. Meski tak menjadi mualim besar seperti yang diharapkan ayahnya, saya berharap apa yang dilakukan saat ini juga menjadi catatan amal baik untuk kedua orang tua yang menjadikan saya seorang muslim. Nilai dan pemahaman yang didapatkan juga telah tersampaikan kepada keluarga kecil. Saya berharap anak-anak kelak menjadi orang yang soleh dan berguna bagi nusa dan bangsanya.


Sekarang, dimanapun ditempatkan dan berdiam diri, seperti pesan-pesan Kyai NU, semoga terus bisa bermanfaat dan ikut berperan untuk kemaslahatan. Kini saya menjadi guru dan tetap NU. Bersama teman-teman yang lain, saya bertekad untuk terus memperbaiki diri dan ikut serta dalam mensukseskan program-program kebaikan untuk kejayaan Islam dan Indonesia melalui PKS. 


Terima kasih NU 

Terima kasih PKS 



Alex, Sumatera, Januari 2022

Posting Komentar

0 Komentar