Oleh: Dr. Indra Kusumah | Presiden
GEMA Keadilan
Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Perguruan
Tinggi menjadi kontroversi akhir-akhir ini.
Kontroversi umumnya terjadi pada klausul yang tercantum seperti frasa
"tanpa persetujuan", tapi Saya melihat justru akar masalahnya ada pada sesuatu yang seharusnya ada
tapi tidak dicantumkan dalam Permendikbud tersebut. Apa yang tidak dicantumkan
justru menggambarkan isi pikiran para perumus Permendikbudristek tersebut tidak menganggap penting hal tersebut menjadi landasan
dalam Permendikbudristek yang merupakan bagian dari penyelenggaraan
sistem pendidikan nasional.
Perhatikan
baik-baik Permendikbudristek 30/2021, adakah
yang aneh? Saya terkaget-kaget,
ternyata Permendikbud tersebut tidak mencantumkan Pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Pada bagian MENGINGAT,
yang
tercantum hanya pasal 17 UUD 1945 tentang Kementerian Negara saja.
Pasal 31 UUD 1945 ayat 3 berbunyi Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu
sistem pendidikan nasional yang meningkatkan KEIMANAN dan KETAKWAAN
serta AKHLAK MULIA dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang
diatur dengan undang-undang. Sementara
ayat
ke-5 pasal 31 UUD 1945
berbunyi Pemerintah
memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi NILAI-NILAI
AGAMA dan PERSATUAN BANGSA untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Pasal 31
UUD 1945 tersebut tidak termasuk yang diingat oleh para perumus Permendikbudristek ini padahal di dalamnya memuat norma dan
nilai yang harus menjadi landasan utama setiap peraturan di Kemendikbud yaitu KEIMANAN,KETAKWAAN, AKHLAK MULIA dan PERSATUAN
BANGSA. Seharusnya pasal 31 tersebut
WAJIB menjadi landasan utama dalam setiap peraturan terkait penyelenggaraan
pendidikan di Kementerian yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan.
Permendikbudristek
30/2021 hanya mencantumkan pasal 17 dan tidak mencantumkan pasal 31 UUD 1945.Hal tersebut secara tak langsung lebih ke penegasankewenangan Mendikbudristek untuk membuat peraturan ini tapi perumus tidak menganggap penting, mengenyampingkan,
bahkan
melupakan norma-norma
yang harus jadi landasan isi
peraturan tersebut. Tidak digunakannya
Pasal 31 UUD 1945 sebagai dasar substansi pembentukan Permen secara tak
langsung mematikan mandat konstitusi. Ini FATAL!
Founding
fathers serta para negarawan yang
merumuskan konstitusi tidak memberikan cek kosong kepada Menteri yang membidangi
urusan pendidikan dan kebudayaan sehingga boleh seenaknya membuat norma baru
(seperti sexual consent) yang irrelevan dengan norma-norma yang
tercantum di konstitusi, terutama pasal 31 UUD 1945. Tidak demikian. Founding
fathers telah merumuskan nilai-nilai yang wajib jadi landasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, termasuk dalam pencegahan dan
penanganan kejahatan seksual di perguruan tinggi.
Mengapa
pasal 31 UUD 1945 tidak dicantumkan? Mustahil tidak tahu, kecuali tidak pernah
membaca konstitusi NKRI. Kalaupun lupa, itu pun keterlaluan dan berarti setelah
diingatkan wajib mencantumkan pasal tersebut serta menjadikannya rujukan utama
dalam setiap pasal dan ayat Permendikbudristek tersebut. Tapi kalau dengan
sengaja tidak mencantumkan dan menihilkan pasal 31 UUD 1945, maka bisa termasuk
kategori penyelewenganterhadap konstitusi dan pelanggaran terhadap sumpah
jabatan yang menyatakan akan setia terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Ketiadaan pasal
31 UUD 1945 dalam ingatan para perumus menjadikan Permendikbudristek 30/2021 HAMPA
dari nilai KEIMANAN, KETAKWAAN, AKHLAK MULIA, NILAI-NILAI AGAMA dan PERSATUAN
BANGSA. Kata-kata terkait nilai-nilai tersebut nyaris tidak ada. Bahkan ada
pasal yang maknanya bisa bertabrakan dengan nilai-nilai tersebut.
Sebagai
contoh. Jika ada dosen atau mahasiswa di kampus yang melakukan edukasi publik
sesuai agama bahwa homoseksual itu salah dan melanggar agama, maka ia bisa
dikategorikan melakukan kekerasan seksual karena dianggap menyampaikan ujaran
yang mendiskriminasi gender sesuai pasal 5 ayat 2 poin (a).
Memang ada
kata agama, tapi hanya muncul satu kali di frasa “pemuka agama” sebagai pihak
yang terlibat dalam pemulihan korban. Kata “rohani” muncul dua kali sebagai
rupa/bentuk pendampingan (pasal 11) dan pemulihan (pasal 20). Itu pun
disebutkan kata terakhir di poin paling akhir pula.Agama tidak dianggap penting dalam pencegahan dan
penanganan.Agama hanya solusi pinggiran yang berguna sebagai “pemadam
kebakaran” di akhir dan tidak menjadikannya sebagai hal penting dalam setiap
tahapan. Sejak awal pasal 31 UUD 1945 dianggap tidak terkait dengan
Permendikbudristek ini. Ini mengerikan.
Frasa
“persetujuan” yang merupakan istilah lain dari sexual consent menjadi
norma baru yang menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila dan agama. KH
Cholil Nafis menyatakan bahwa ada beberapa pihak yang menganggap sexual
consent sebagai pembeda seks baik dan buruk (A. Wertheimer, 2004), pembeda
seks menyenangkan dan tidak menyenangkan (H. Jones, 2003), hingga pembeda seks
bermoral dan tidak bermoral (H. M. Hurd, 1996).
Di
lapangan bermunculan yang mengkampanyekan sexual consent sebagai
parameter pembeda sah/legal atau tidaknya hubungan seksual sehingga mengandung
makna justifikasi seks bebas/perzinaan. Ini jelas bertentangan dengan
nilai-nilai perkawinan dalam UU Perkawinan yang menegaskan legalitas terkait
hal tersebut adalah pernikahan, bukan sexual consent.Sexual consent
di luar pernikahan termasuk kategori zina yang merupakan lawan dari nikah.
Sejatinya
setiap kita menyepakatidan mendukung pencegahan serta penanganan kejahatan
seksual di perguruan tinggi. Namun konsep dan praktiknya harus komprehensif dan
sesuai dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh konstitusi dalam dalam pasal 31
UUD 1945 sehingga persatuan bangsa tetap terjaga dan tidak menimbulkan gejolak
di masyarakat.
Jika pasal
31 UUD 1945 dicantumkan, maka nilai-nilai KEIMANAN, KETAKWAAN, AKHLAK MULIA,
NILAI-NILAI AGAMA dan PERSATUANBANGSA menjadi rujukan utama dalam
setiap tahapan dari pencegahan, penanganan, pendampingan dan pemulihan.
Dalam pencegahan
perlu ditegaskan urgensi mata kuliah agama, budi pekerti (akhlak mulia), etika
pergaulan, pendidikan seks yang benar dan pembinaan keluarga secara
komprehensif oleh institusi perguruan tinggi sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945.
Pasal 31
UUD 1945 harusnya menjadi titik temu semua pihak yang berkomitmen mencegah
terjadinya kejahatan seksual di kampus dan serius menjadikannya rujukan nilai
dalam semua peraturan yang dibuat oleh Kemendikbudristek.
Jadi,
tidak ada revisi Permendikbudristek kecuali di antaranya mencantumkan pasal 31
UUD 1945. Jika tidak, Kemendikbudristek berarti melupakan mandat konstitusi dan
bisa masuk kategori penyelewengan terhadap konstitusi dari penyelenggara negara
yang justru menganggap tidak penting konstitusi dijadikan landasan dalam
peraturan yang dibuat sesuai bidang urusannya.
Sejarah
akan menjadi saksi dan mencatat sejauh mana pembuktian kesetiaan para
penyelenggara negara terhadap pasal-pasal dalam konstitusi kita, yaitu
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks Permendikburistek 30/2021, evaluasi
peraturan ini menjadi momentum pembuktian kesetiaan Mas Menteri dan jajarannya
kepada mandat konstitusi dalam bidang pendidikan dan kebudayaan yang tercantum
dalam pasal 31 UUD 1945.
#
Tulisan ini sebelumnya dimuat di Republika dengan judul:
Permendikbudristek PPKS, Penyelewengan terhadap Konstitusi?
0 Komentar