Kalau mendengar kata Papua, atau
Jayapura, apa sih yang ada di benak dan pikiran kalian?
Don’t tell me that, Papua is a
unique place yang banyak orang dengan karakteristik fisik tertentu dan punya
tempramen tinggi alias kalau bahasa kami anak Papua adalah, sumbu pendek.
Well, nggak bisa dibilang salah
juga, tapi tidak bisa kami benarkan sepenuhnya.
Sebagai kader PKS yang belajar
banyak di Jayapura, sudah nggak asing melihat respon orang kalau kami bilang
“hai, saya dari Jayapura!” Mereka akan memperhatikan dari atas sampai bawah,
heran bukan kepalang, kok ada modelan begini dari Jayapura.
Faktanya, memang ada, kalau mau
diklaim, Papua memiliki keberagaman paling seimbang di antara daerah yang lain,
semua suku berkumpul jadi satu didaerah ini. Sampai-sampai, harapan wajah baru
PKS diharapkan akan muncul dari Papua di 2024, karena diversity yang
dimilikinya.
Buktinya apa? saking banyaknya
suku di Papua, nggak ada pelajaran muatan local (mulok) alias bahasa daerah,
melainkan bahasa indonesia, sehingga kami dengan sangat fleksibel berbincang
tanpa “aksen”
Anyway, ini bukan curhatan
tentang betapa weird pandangan masyarakat awam tentang Papua. Melainkan,
kekhawatiran apakah Presiden PKS akan betah dengan suhu yang panas dan
kelembaban yang tinggi ataukah shock setelah berinteraksi dengan orang-orang
Papua.
Dengan keberagaman yang sangat
besar di Papua, tidak menjadikan Papua sebagai salah satu daerah percontohan
dengan pemahaman demokrasi yang matang. Kita, tidak sedang membicarakan mereka
yang membangkang kepada NKRI, tetapi apatisme masyarakat alias antipati
terhadap demokrasi di NKRI .
Ternyata nggak cuma Papua, tapi
hampir semua masyarakat di seluruh wilayah di Indonesia mengalami perubahan
ini. Banyak faktor yang menyebabkan, dan yang memperparahnya adalah lingkungan
yang memanjakan apatisme kita, salah satunya pembatasan dalam mengungkapkan
pendapat. Ehem.
Inilah yang kami pikirkan, adanya
kegiatan sosialisasi empat pilar MPR RI ini membahas tentang undang-undang,
gimana ya supaya masyarakat banyak hadir di kondisi Covid 19 gini, plus dari
PKS lagi. Nanti kalau peserta yang datang sedikit bagaimana? Kalau yang datang
orang-orang tua saja gimana?
Intinya kalau sampai zonk acara
ini gimana? Bagaimana supaya kegiatan ini dapat diterima dengan tangan terbuka
oleh masyarakat umum. Karena memang, tujuan kegiatan ini adalah sebagai
pengingat kalau kita berada dalam satu entitas bangsa yang didasari oleh
pilar-pilar penting. Bukan semakin menjauhkan kita pada nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai berbangsa dan bernegara.
Nggak bisa bohong, kalau banyak
yang mengira PKS sebagai partai yang eksklusif dan punya nilai-nilai yang kaku
untuk diterapkan di masyarakat. Nyatanya, dalam pembahasan singkat selama dua
jam setengah oleh Presiden PKS Ahmad Syaikhu dan wakil ketua MPR RI Hidayat Nur
Wahid memaparkan nilai-nilai yang PKS bawa tidak ada yang overlap dengan nilai
yang dibawa oleh negara kita tercinta.
Tidak hanya itu, di momen singkat
ini Presiden PKS mengingatkan kalau
demokrasi nggak lengkap tanpa ada perangkat yang bernama partai politik. Jadi,
tidak perlu alergi dengan parpol. Namun pertanyaannya gimana kita tau kalau partai
yang saya dukung legit alias genuine atau pure atau baik?
Kalau mau jadi orang yang
menyebalkan, saya akan bilang, jadilah masyrakat cerdas, jangan hp aja yang
pintar, tapi penggunanya nggak. Benar begitu, kisanak?
Bisa searching aja performa
partai politik di Indonesia melalui lembaga-lembaga survey terkait.
Untunglah yang berdiri di depan
bukan saya, tetapi Presiden. Dengan logis beliau memaparkan cara-cara memilih
partai jagoan gimana biar nggak zonk di masa depan.
Nggak cuma itu, banyak
nilai-nilai yang biasa negara kita kembangkan dan itu selaras dengan pribadi
bangsa kita, difitnah sebagai bentuk penyelewengan terhadap nilai-nilai
kebangsaan. Contohnya, yang viral saat ini adalah penggunaan Bahasa Arab yang
diduga sebagai sarana penyebaran radikalisme.
Kalau kata HNW, “ini isu using!”
kalau kata saya sih lebih, “jangan ngadi ngadi”. Faktanya hampir semua dokumen
kenegaraan yang terdiri dari undang-undang, Pancasila, ADRT dll banyak
menggunakan serapan bahasa Arab. Apakah ini islamisasi? Disitulah letak logika
dan imajinasi diuji.
Namun, tentu saja penejelasan
mengenai hal ini dapat diterima oleh para peserta karena anggapan tersebut
tidak masuk akal dan penejlasan HNW dengan dasar empat pilar cukup clear
mengenai sikap-sikap tersebut.
Secara keseluruhan, kegiatan ini
sangat tidak terbuka. Target kami, 200 peserta dengan prokes tapi diluar dugaan
yang menghadiri sosialisai ini lebih dari 300 peserta dan pelaksanaan tetap
prokes.
Kewalahan? Tentu saja. Tapi rasa
bahagia yang mendominasi tidak bisa terdeskripsikan dengan kata-kata karena hampir
lebih dari setengah yang hadir adalah anak-anak muda.
Diluar dugaan, Presiden PKS
benar-benar terkesima dengan keberagaman peserta yang hadir, karena nggak cuma
dari komunitas pemuda saja yang hadir, tetapi Persatuan Disabilitas Indonesia
cabang Jayapura, plus respon positif mereka.
Tidak ada yang kami harapkan,
selain kesan menyenangkan dan positif dari Presiden. Tepat di hari terakhir
kunjungan beliau, tim kami mengajak gowes ke garis pantai Jayapura yang
berjarak 30 menit dari tempat menginap, dibarengi masyarakat setempat.
(Bat)
0 Komentar