[CERPEN]: Calon Suami

 


CALON SUAMI

Oleh: Sofi Sugito

 

Setelah Burhan, calon suamiku, dan kedua kakaknya pulang dengan mengendarai mobil MVP mewah mereka, kulihat ibu dan kakak pertamaku, Mbak Putri, sangat antusias membicarakan mereka.


Mbok Darsih dan anak perempuannya, Narsih, yang sudah dua tahun ini ikut bantu-bantu di rumah, masih sibuk membersihkan ruang tamu, tempat pertemuan keluarga dalam acara lamaran sederhanaku dan Burhan tadi.


Aku bangkit dari dudukku, mengerling sekilas Ibu dan Mbak Putri yang masih asyik membicarakan betapa hebatnya Burhan yang baru berusia 28 tahun, tetapi sudah menduduki jabatan tinggi di sebuah kantor pemerintah di luar Jawa sana.

Aku berjalan menuju kamar Fahri, kakak kembarku. Dia lahir sepuluh menit lebih awal dariku. Sejak kecil kami tak terpisahkan. Dia lebih seperti diriku dengan tubuh lelaki.

Kamar Fahri pintunya terbuka sedikit, kuintip ke dalam. Dia terlihat duduk di atas kasurnya, menatap pigura foto ayah kami yang sudah tiada 10 tahun lalu, saat kami masih berusia 24 tahun.

"Kangen Ayah, ya?" tanyaku, sambil masuk dan langsung duduk di samping Fahri.

Fahri yang terlihat agak terkejut dengan kehadiranku, langsung berusaha tersenyum. Namun, dia tak menjawab pertanyaan ku, dan justru kembali menatap foto Ayah.

"Kamu nggak banyak bicara tadi saat acara lamaran ku." Aku memainkan kedua tangan di pangkuan.

Fahri diam sejenak sebelum menjawab pelan, "Sudah kubilang, 'kan? Aku enggak nyaman dengan si Burhan itu."

Aku menatap Fahri. "Apa karena kami yang berkenalan lewat medsos?"

Fahri meletakkan foto Ayah kembali ke meja samping dipannya. "Enggak hanya itu. Tapi, karena alasan yang kusampaikan ke kamu, Mbak Putri, dan Ibu dua hari lalu." Fahri menggeleng lemah, sebelum kembali melanjutkan, "Kalian enggak nggubris sama sekali."

"Fahri." Aku mengelus bahu kakakku itu. "Aku tahu kekhawatiranmu. Tapi, bukankah kamu juga tahu bahwa sejauh ini Burhan dan keluarganya baik-baik saja? Bahkan, mereka membelikan Ibu, aku, dan Mbak Putri baju bagus-bagus. Kakaknya Burhan juga sudah bersedia memberimu rekomendasi kerja di perusahannya yang ada di Kalimantan, setelah aku dan Burhan menikah nanti. Jadi, kamu nggak akan lagi bingung mencari kerja dan bisa fokus untuk mencari calon istri."

Fahri tiba-tiba berdiri dan menatapku tajam. "Bahkan pun aku belum mengatakan setuju untuk kerja di perusahaan mereka, tapi Ibu dan Mbak Putri sudah asal menerima saja? Apa maksudnya itu, Farah?"

Aku menggigit bibir bawah. Tahu bahwa Fahri pasti tersinggung dengan perlakuan Ibu dan Mbak Putri akhir-akhir ini. Sudah dua tahun lebih Fahri yang menjadi kepala keluarga kami, menganggur sejak di PHK dari perusahaan yang sudah 8 tahun menjadi tempatnya bekerja.

Sementara Mbak Putri di rumah membantu Ibu di usaha katering keluarga kami. Sampai usianya 36 tahun ini, kakak pertamaku itu belum juga menikah. Meski beberapa tahun ini cukup pesimis, Mbak Putri akhirnya bisa bernapas lega, karena setelah aku dan Burhan menikah, kakak pertama Burhan akan mengenalkan Mbak Putri dengan temannya yang bekerja di perusahaan yang ada di Kalimantan itu.

Mbak Putri dan orang itu sudah beberapa kali bertukar pesan lewat WhatsApp dan saling berkirim foto. Rencananya, mereka akan bertemu di acara akad nikahku nanti.

Sementara Fahri, tawaran kakak pertama Burhan untuk dia dikenalkan dengan teman perempuannya, ditolak oleh saudara kembarku itu. Sejak awal, Fahri tak menunjukkan sikap cukup ramah pada Burhan.

Pernah, Ibu dan Mbak Putri memarahi Fahri habis-habisan karena sikapnya ke Burhan itu. Aku yang biasanya saling membela dengan Fahri, dalam kondisi apa pun jika salah satu dari kami dimarahi Ibu atau Mbak Putri, kali ini justru diam saja.

Entahlah. Dalam hati kecilku sedikit membenarkan kata-kata Mbak Putri, bahwa bisa jadi Fahri hanya iri, karena Burhan yang 6 tahun lebih muda dariku dan Fahri itu, jauh lebih sukses.

Atau juga setuju dengan kata-kata Ibu, bahwa bisa jadi Fahri tak rela aku yang lebih dulu menikah, dibanding dia atau bahkan Mbak Putri.

Tak biasanya aku begitu. Biasanya, aku selalu ada di sisi Fahri. Namun, entah kenapa, sejak sudah mantap menerima pinangan Burhan yang baru dua bulan kukenal lewat medsos itu, aku menjadi berada di sisi yang berseberangan dari Fahri.

"Hah!" Fahri mendengus, sambil kembali duduk di sampingku. "Apa kamu benar-benar yakin, dua bulan mengenalnya cukup untuk tahu bahwa dia benar-benar seperti apa yang dia katakan? Soalnya kalian ngobrol juga lewat medsos dan baru bertemu dua kali, itupun nggak pakai perantara orang yang dituakan, bukan?"

"Apa maksudmu?" Aku mengerutkan dahi sambil menatap Fahri. Fahri membalas tatapanku.

"Apakah dia benar-benar kaya raya seperti apa yang kamu, Mbak Putri, dan Ibu kira? Bisa saja, 'kan, kalau dia hanya membual dan membawa bukti asal-asalan untuk meyakinkan kita? Apa kamu yakin mobil yang sering dibawanya kemari benar-benar mobilnya? Dan, apa kamu yakin bahwa dua orang yang tadi menemaninya itu benar-benar kakaknya, atau hanya orang-orang yang dia akui sebagai kakak? Apa benar dia memiliki perusahaan keluarga di Kalimantan? Apa benar orang yang akan dijodohkan dengan Mbak Putri itu orang baik-baik? Apa kamu benar-benar sudah yakin, dan cukup tahu pasti bahwa itu semua tidak palsu, Farah?"

Hatiku terasa sakit mendengar semua pertanyaan Fahri itu. Aku meremas dada dan tak sadar meneteskan air mata.

"Apa kamu nggak seneng liat aku bahagia, Fahri?" tanyaku pelan.

Fahri yang kaget bercampur khawatir langsung menggeleng. Dia meraih kedua tanganku, sambil berkata lembut, "Maafkan aku, Farah. Aku ... aku ... aku hanya khawatir. Entah kenapa, aku merasa ada yang enggak beres dengan calon suamimu itu.  Seakan dia menyembunyikan sesuatu, dan memperlihatkan kemewahan dirinya untuk menarik simpatimu, Ibu, dan Mbak Putri."

Aku tak menjawab apa pun. Membuat suasana hening di antara kami berdua. Setelah agak lama terdiam, aku menghentikan tangis dan kembali menatap Fahri yang masih menggenggam kedua tanganku.

"Kalau kamu pengen aku bahagia, dan menyayangiku sebagai adikmu, maka tolong kabulkan permintaan terakhirku ini. Setelah ini, aku nggak akan meminta apa pun lagi padamu, dan terserahmu saja, masih mau mendengarkan omonganku, Mbak Putri, dan Ibu, atau nggak."

Aku menarik tanganku dari Fahri. Dengan tegas aku berkata lagi, "Tolong nikahkan aku dengan Burhan. Itu saja."

Kemudian aku bangkit, meninggalkan Fahri yang hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mendesah lemah.

Aku terus berjalan keluar dari kamar Fahri dengan emosi yang masih bergemuruh. Bisa-bisanya Fahri meragukan Burhan sejauh itu. Padahal, Burhan sudah begitu baik menawari dia pekerjaan, bahkan kakak Burhan menawari mengenalkan dengan perempuan yang kariernya sudah mapan. Apa, sih, yang Fahri lakukan itu? Kejam sekali dia pada calon suamiku!

Sambil menggerutu, aku berjalan menuju ruang makan, saat aku menemukan Mbak Putri dan Ibu yang duduk di kursi makan langsung berubah agak kikuk dan segera menyudahi obrolan mereka.

Aku mengernyitkan dahi. "Ada apa ini?" tanyaku bingung. Mereka berdua langsung berdiri dan tersenyum kikuk.


"Ah, nggak apa-apa, Farah. Hanya membicarakan tentang persiapan akad nikahmu dua minggu lagi itu. Ya, 'kan, Bu?" Mbak Putri mengerling Ibu, yang langsung mengangguk setuju.

Aku mengangkat bahu dengan malas. Sudah lelah bertanya lebih lanjut, karena masih emosi dengan Fahri. Aku lalu melanjutkan langkah melewati ruang makan, dan langsung menuju kamar.

 

***

 

Kulihat tamu-tamu sudah banyak dan menunggu dengan wajah berseri-seri. Aku sendiri merasakan jantung ku berdetak lebih kencang dari biasanya.

Ibu dan Mbak Putri tampil sangat cantik. Bahkan, Mbok Darsih dan Narsih juga merias wajah mereka, dan memakai kebaya yang manis.

Aku melirik Fahri yang sudah rapi dengan jas hitamnya di depanku. Wajahnya tak berubah, tetap tanpa senyum, dan terlihat masih ada ketidakrelaan untuk menikahkan aku pagi ini dengan Burhan.

Aku mendengus kesal. Dalam hati berkata, setelah ini aku tak akan merepotkan dia lagi, jadi tak harus melihatnya seakan tidak rela aku lebih bahagia darinya sekarang.

Mungkin benar apa kata Ibu dan Mbak Putri, bahwa Fahri sepertinya memang iri dengan aku yang lebih dulu menikah dan dengan orang yang meski lebih muda, tetapi lebih sukses dari dia. Sementara Fahri, masih lajang sampai usia di atas 30 tahun dan pengangguran.

Diam-diam aku kesal, kenapa Fahri yang selama ini selalu membelaku, berada di sisi yang sama denganku, bisa begitu kepadaku, ya?

Aku tak sadar menggerutu sendiri. Sampai aku lupa bahwa ini sudah 20 menit berlalu sejak jam akad nikah yang ditetapkan harusnya terlaksana.

"Ini pengantin pria dan keluarganya di mana, ya?" Penghulu yang duduk di samping Fahri bertanya. Baik aku dan Fahri saling pandang.

"Kamu udah hubungi Burhan?" Mbak Putri tiba-tiba berbisik dari belakangku.

"Tadi pagi aku sudah kirim pesan dan lewat WhatsApp juga, Mbak. Tapi, nggak di balas. Mungkin perjalanan," jawabku.

"Ini sudah hampir setengah jam. Dari tadi Ibu dan Putri telepon juga nggak bisa, nomornya nggak bisa sambung." Ibu terlihat mulai gelisah.

"Mas Damar juga nggak bisa dihubungi, kenapa ya?" Mbak Putri terlihat mulai berkeringat, saat tak bisa menghubungi calon suaminya yang dikenalkan keluarga Burhan itu, dengan cara apa pun.

Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa mual. Apalagi kulihat tamu-tamu mulai ribut, saling berbisik.

Waktu terus berjalan, tak terasa sudah hampir dua jam dan Burhan sekeluarga, bahkan kenalan atau orang-orang yang biasanya mengiring pengantin pria, belum terlihat batang hidungnya.

Air mataku mulai menggunung dan hampir jatuh. Apalagi melihat Ibu dan Mbak Putri sudah mulai sesenggukan. Beberapa tamu bahkan ada yang menggerutu.

Penghulu berbisik ke Fahri, mengatakan bahwa setengah jam lagi dia harus pergi ke acara akad nikah orang lain.

Apa Burhan dan keluarganya kecelakaan? Atau ada kendala di jalan?

Tiba-tiba pikiranku menjadi tak jelas. Aku semakin mual dan mata ini berkunang-kunang.

Fahri bangkit dari duduknya dan hendak menghampiriku, saat tiba-tiba tamu heboh. Beberapa orang berseragam polisi datang dan mencariku.

Aku bingung, ada apa ini?

Fahri segera menemui mereka. Bertanya ada apa. Begitupun Ibu dan Mbak Putri. Sementara aku tetap diam membisu. Apakah polisi-polisi itu datang mengabarkan kabar buruk tentang Burhan dan keluarganya?

Sebelum aku sempat sadar apa yang terjadi, kulihat Ibu dan Mbak Putri menjerit histeris. Ibu jatuh pingsan dan Mbak Putri terduduk lemas. Beberapa tamu menolong mereka berdua, termasuk Mbok Darsih dan Narsih.

Dengan penglihatanku yang mulai buram karena air mata, aku bisa melihat Fahri dengan wajah tegangnya datang tergopoh-gopoh.

Aku tak sanggup mengeluarkan suara untuk bertanya. Namun, Fahri lebih dulu berkata dengan suara serak padaku.

"Burhan ...." Fahri berlutut dan langsung meraihku dalam pelukannya. "Dia dan komplotannya adalah buronan penipu yang sedang dicari polisi. Dan ternyata, sudah membawa kabur uang Ibu dan Mbak Putri sebesar 200 juta. Uang itu dikirim Mbak Putri sehari sebelum lamaranmu, katanya untuk tambahan beli rumahmu dan Burhan seharga 1 Milyar di Kalimantan nanti ...."

Semua perkataan Fahri mulai terdengar samar-samar di telingaku. Bayangan wajah Burhan yang selalu meyakinkan di mataku, kedua kakaknya yang selalu terlihat kaya raya, mobilnya yang mentereng, serta janji-janji manisnya ... semua menari-nari di benakku.

Lalu, beberapa detik kemudian, di antara suara hiruk-pikuk tamu dan keluargaku yang hadir, aku bisa mendengar suara Fahri yang berteriak cemas memanggil-manggil namaku.

Aku menguatkan pelukanku ke Fahri saat pandangan mataku mulai semakin buram dan berubah gelap.

"Maafkan aku, Fahri ...."

Hanya itu yang bisa kuucapkan dengan lirih, sebelum tubuhku lemas dan terjatuh di pelukan kakak kembar tercintaku itu.

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar